You are on page 1of 15

PENGARUH PELATIHAN DAN FASILITASI QUALITY ASSURANCE

TERHADAP MUTU PELAYANAN KESEHATAN DASAR


DI KABUPATEN KUPANG

Naskah Publikasi
Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana S-2

Minat Utama Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan


Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurusan Ilmu-Ilmu Kesehatan

Diajukan oleh:
ROSALINA KASE
19099/III-2/3537/02

KEPADA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2004
1

PENGARUH PELATIHAN DAN FASILITASI QUALITY ASSURANCE


TERHADAP MUTU PELAYANAN KESEHATAN DASAR
DI KABUPATEN KUPANG

THE INFLUENCE OF QUALITY ASSURANCE TRAINING AND


SUPERVISION TO IMPROVE COMPLIANCE IN USING STANDARDS IN
KUPANG DISTRICT

Rosalina Kase1, Adi Utarini2, Ali Ghufron Mukti3

Background: Healthcare providers need to continuously improve


services given to patients. One strategy is to adopt quality assurance (QA)
in the health centre. The aim of this study was to measure the effect of
Quality Assurance training and supervision in health centres to improve
compliance in using standards in Kupang district.
Methods: This research applied a quasi experimental study design
with a control group. The groups received training and supervision
(intervention group) or training only (control group). The measurements
used were pre and post test after the training, and compliance toward
Diarrhea and acute respiratory infection diseases. A number of 15
healthcare providers and 210 patients were involved in this study. Mann-
Whitney test was used to differentiate between the intervention and control
groups.
Results: The research showed that QA training was effective to
increase the understanding of the concept and to improve compliance in
using standards. However, supervision was only effective to increase
compliance toward ISPA’s standard.
Conclusion: Supervision in combination with training did not prove
to improve compliance towards standard in a significant manner.

Keywords: Quality Assurance, Health Center, compliance, supervision

1. Balai Pelatihan Kesehatan Kabupaten Kupang


2. Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK-UGM, Yogyakarta
3. Minat utama Kebijakan pembiayaan dan manajemen asuransi kesehatan,
FK-UGM Yogyakarta
2

PENGANTAR
Pembiayaan kesehatan yang sangat kecil ini sulit menghantarkan
masyarakat Indonesia untuk dapat menikmati dan menjamin pemeliharaan
kesehatannya, serta sulit untuk mengatasi akses dan mutu pelayanan
kesehatan disamping meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Salah
satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah pembiayaan kesehatan
di atas yaitu dengan dikeluarkannya suatu program jaminan pemeliharaan
kesehatan masyarakat (JPKM) sebagai model jaminan kesehatan yang
efektif dan efisien.
Evaluasi keberhasilan pelayanan kesehatan dasar selama ini
hanya difokuskan kepada jangkauan pelayanan, cakupan pelayanan, dan
peran serta masyarakat dalam pelayanan kesehatan, sedangkan mutu
pelayanan tidak pernah dievaluasi atau dinilai. Hal ini disebabkan karena
fokus pelayanan kesehatan masih ditujukan untuk mencapai pemerataan
pelayanan yang menjangkau banyaknya penduduk yang dapat dilayani
(aspek equity).
Berbagai penelitian terhadap beberapa jenis jasa, dan berhasil
mengidentifikasi lima dimensi karakteristik yang digunakan oleh para
pelanggan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan, yaitu: Tangibles (bukti
langsung), Reliability (kehandalan), Responsiveness (daya tangkap),
Assurance (jaminan), dan Empaty 1.
Untuk menghindari banyaknya keluhan dari pelanggan terhadap
pelayanan kesehatan maka banyak sekali dilaksanakan program
penjagaan mutu. salah satunya adalah Quality Assurance. Di Propinsi
Nusa Tenggara Timur telah dibentuk Tim Quality Assurance (Quality
Assurance) propinsi sejak tahun 1998, dan telah disosialisasikan ke
beberapa daerah kabupaten, yakni di beberapa puskesmas terpilih
Kabupaten Kupang terdiri dari ± 100 buah pulau, dengan 3 pulau
besar yaitu Timor, Sabu, dan Semau. Kabupaten Kupang memiliki 24
puskesmas, 11 dokter, di antaranya 6 dokter PNS dan 5 dokter PTT, serta
5 dokter gigi. Artinya 13 puskesmas yang tidak memiliki dokter umum,
3

dan 19 puskesmas yang tidak memiliki dokter gigi. Sedikitnya dokter,


maka yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan dasar di
puskesmas adalah perawat dan bidan serta tenaga kesehatan lainnya.
Padahal di Kabupaten Kupang masih banyak masalah kesehatan cukup
berat, terutama TB Paru, ISPA, Malaria dan penyakit yang dapat dicegah
dengan pemberian imunisasi.
Rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah
Bagaimana pengaruh efektivitas pelatihan Quality Assurance terhadap
mutu pelayanan kesehatan Puskesmas di Kabupaten Kupang dan
Bagaimana perbedaan mutu pelayanan di Kabupaten Kupang antara
Puskesmas yang dilatih dengan Puskesmas yang belum dilatih?
Manfaat Penelitian yang diangkat dalam penelitian ini adalah untuk
masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten terhadap keberadaan
program Quality Assurance. Bagi Puskesmas hasil penelitian berguna
untuk memperbaiki mutu pelayanan kesehatan kepada pelanggan.
Sedangkan untuk peneliti penelitian ini merupakan pengaplikasian ilmu
yang didapat serta telaah untuk penelitian lebih lanjut dengan materi yang
berkaitan dengan Quality Assurance. Terakhir bagi Bapelkes hasil
penelitian ini bisa digunakan untuk dijadikan suatu program pelatihan
yang tetap untuk mensosialisasikan program jaga mutu ke kabupaten-
kabupaten.
Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan penelitian adalah
untuk mengukur pelatihan Quality Assurance terhadap mutu pelayanan
kesehatan Puskesmas di Kabupaten Kupang.

TINJAUAN PUSTAKA
Pelatihan (training) adalah proses sistematik perubahan perilaku
para karyawan guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasioal, dimana
dalam pelatihan diciptakan suatu lingkungan bagi para karyawan untuk
dapat memperoleh atau mempelajari sikap, kemamuan, keahlian,
pengetahuan dan perilaku spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan 2.
4

Evaluasi membutuhkan adanya penilaian terhadap dampak


program pada perilaku dan sikap dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Pengukuran efektifitas pelatihan meliputi penilaian reaksi, belajar
perilaku dan hasil.
Protokol adalah suatu pernyataan tertulis yang disusun secara
sistematis yang dipakai sebagai pedoman oleh para pelaksana dalam
mengambil keputusan dan atau tindakan dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan3.
Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan
fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat
yang juga membangun peran serta masyarakat, di samping memberikan
pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah
kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok4.
Pandangan lain mengenai mutu tergantung pada nilai-nilai dan
pengalaman dari pelanggan. Kualitas dapat didefinisikan secara luas
adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa
manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan 5.
Sedangakan dimensi mutu dalam pelayanan kesehatan yaitu Technical
Competence (kompetensi teknik), Access to Service (akses terhadap
pelayanan), Effectiveness (efektivitas), Interpersonal relation (hubungan
antar individu), Efficiency (kemangkusan), Continuity (kesinambungan),
Safety (keamanan), Amienities (kenyamanan),
Quality Assurance adalah upaya mengkaji secara periodik pelbagai
kondisi yang mempengaruhi pelayanan melakukan pemantauan terhadap
pelayanan dan pelbagai kekurangan dan penyebab kekurangan dapat
diketahui, kesemuanya untuk lebih menyempurnakan taraf kesehatan dan
kesejahteraan.6

Bahan dan Cara Penelitian


Jenis penelitian ini adalah Penelitian Kuasi Eksperimen,
menggunakan rancangan pretest dan post test. Rancangan pre test
5

diberikan untuk mengetahui tingkat pemahaman terhadap Quality


Assurance. Sedangkan post tes diberikan untuk mengetahui tingkat
pemahaman responden akan Quality Assurance setelah diberikan
pelatihan Quality Assurance. Selanjutnya salah satu Puskesmas diberikan
intervensi terhadap pelaksanaan Quality Assurance dan Puskesmas yang
lainnya dijadikan sebagai kontrol.
Populasi dalam penelitian ini adalah petugas penyedia pelayanan
kesehatan yang ada di Puskesmas intervensi dan di Puskesmas kontrol.
Unit analisis yang diberlakukan dalam penelitian ini adalah seluruh
penyedia pelayanan kesehatan yang ada di Puskesmas intervensi
(Puskesmas Baumata) dan yang ada di Puskesmas kontrol (Puskesmas
Tarus dan Puskesmas Batakte). Sedangkan variabel yang terdapat dalam
penelitian ini adalah Variabel pelatihan Quality Assurance dan variabel
hasil pengukuran kepatuhan terhadap standar tiga bulan setelah
penelitian.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Nilai pre test pada Puskesmas intervensi sebesar 44 dan nilai pre
test Puskesmas kontrol sebesar 46.2. Selisih nilai pre test pada
Puskesmas intervensi dan nilai pre test pada Puskesmas kontrol secara
statistik tidak bermakna (p>0.05). Sedangkan nilai Post test pada
Puskesmas Intervensi sebesar 72,2 dan pada Puskesmas kontrol sebesar
71,3 atau terdapat selisih nilai sebesar 0,9. Perbedaan nilai post test pada
Puskesmas intervensi dan Puskesmas kontrol tersebut tidak bermakna (p
> 0.05).
Total pasien dalam penelitian ini berjumlah 210 yang terbagi 70
pasien pada Puskesmas intervensi dan 140 pasien pada Puskesmas
kontrol. Kategori pasien adalah penderita diare dan ISPA. Untuk
Puskesmas intervensi terdapat 30 pasien diare dan 40 pasien ISPA.
Sedangkan pada Puskesmas kontrol terdapat 60 pasien diare dan 80
pasien ISPA. Usia pasien maka pada Puskesmas intervensi rata-rata usia
6

pasien adalah 26,2 bulan dan pada Puskesmas kontrol usia pasien rata-
rata berusia 28,3 bulan. Jenis kelamin pasien sebagian besar laki-laki
yaitu sebanyak 122 pasien (58,09%) dan wanita 88 pasien (41,91%).
Kepatuhan responden terhadap standar pelayanan penyakit diare
terjadi peningkatan 29,3% pada Puskesmas intervensi. Kenaikan ini cukup
bermakna, dengan ditunjukkannya nilai probabilitas sebesar (p = 0,002).
Demikian juga pada Puskesmas kontrol terjadi kenaikan 25,83 %.
Perbedaan sebelum dan sesudah pelatihan Quality Assurance pada
Puskesmas kontrol dan intervensi adalah bermakna (p , 0.05).
Perubahan Skor (%)

80
70
60
Puskesmas
50
Intervensi
40
Puskesmas Kontrol
30
20
10
0
Sebelum Sesudah

Pelatihan Quality
Assurance

Tingkat kepatuhan responden terhadap standar pelayanan penyakit


diare pada Puskesmas kontrol dan Puskesmas intervensi. Dapat dilihat di
tabel berikut ini.
Selisih di Puskesmas Selisih di Puskesmas
Jenis Penyakit P
Kontrol Intervensi
Diare 25,83 29,30 0,62
ISPA 10,02 41,64 0,01

Selisih kepatuhan responden terhadap standar pelayanan penyakit


diare antara Puskesmas kontrol dan Puskesmas intervensi sebesar 3,47
dan secara statistik tingkat kepatuhan terhadap standar pelayanan
penyakit diare antara Puskesmas kontrol dengan Puskesmas intervensi
menunjukkan perbedaan tidak bermakna (p>0,05). Pada penyakit ISPA
selisih antara Puskesmas kontrol dan intervensi sebesar 41,64, yang
secara statistik perbedaan tersebut bermakna.
7

Sedangkan untuk kepatuhan responden terhadap standar penyakit


ISPA pada Puskesmas intervensi dan Puskesmas kontrol sebelum dan
sesudah dilakukan pelatihan terlihat bahwa kenaikan ini cukup bermakna,
dengan ditunjukkannya nilai signifikansi sebesar (p = 0,008). Di
Puskesmas kontrol, terlihat bahwa tingkat kepatuhan responden terhadap
standar penyakit ISPA setelah pelatihan Quality Assurance secara statistik
menunjukkan perbedaan yang bermakna (p < 0.05).
Perubahan Skor (%)

90
80
70
60 Puskesmas
50 Intervensi
40 Puskesmas Kontrol
30
20
10
0
Sebelum Sesudah

Pelatihan Quality
Assurance

Standar langkah pelayanan pasien penyakit diare terdiri atas


langkah anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, tindakan dan penyuluhan.
Kepatuhan responden pada standar pelayanan penyakit diare sebelum
dan sesudah pelatihan di Puskesmas kontrol dan intervensi semua
menunjukkan perbedaan yang bermakna kecuali pada langkah
anamnesis.
Puskesmas Intervensi Puskesmas Kontrol
Langkah
Sebelum Sesudah Selisih p Sebelum Sesudah Selisih p
Anamnesis 70.45 74.26 3.81 0,110 72.35 83.79 11.44 0,618
Pemeriksaan 43.33 67.67 24.33 0,009 41.33 68.00 26.67 0,000
Diagnosis 40.00 90.00 50.00 0,011 40.00 86.67 46.67 0,000
Tindakan 48.33 66.67 18.34 0,009 51.59 76.65 25.07 0,000
Penyuluhan 26.67 59.33 32.67 0,009 27.33 64.00 36.67 0,000

Tingkat kepatuhan terhadap langkah standar pelayanan pada


Puskesmas kontrol dan intervensi.
8

Puskesmas Kontrol Puskesmas Intervensi


Langkah p
Sblm Lat Q.A Sesdh Lat Q.A Selisih Sblm Lat Q.A Sesdh Lat Q.A Selisih
Anamnese 70.45 74.26 3.81 72.35 83.79 11.44 0.37
Pemeriksaan 43.33 67.67 24.33 41.33 68.00 26.67 0.68
Diagnosa 40.00 90.00 50.00 40.00 86.67 46.67 0.95
Tindakan 48.33 66.67 18.34 51.59 76.65 25.07 0.37
Penyuluhan 26.67 59.33 32.67 27.33 64.00 36.67 0.59

Kepatuhan responden terhadap standar langkah pelayanan yang


terdiri atas langkah anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, tindakan dan
penyuluhan antara Puskesmas kontrol dan Puskesmas tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
p>0,05 pada semua langkah.
Standar langkah pelayanan pasien penyakit ISPA juga terdiri atas
langkah anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, tindakan dan penyuluhan.
Kepatuhan pada tiap langkah pelayanan sebelum dilakukan pelatihan
Quality Assurance dapat dilihat pada tabel berikut.
Puskesmas Intervensi Puskesmas Kontrol
Langkah
Sebelum Sesudah Selisih p Sebelum Sesudah Selisih p
Anamnesis 54,41 83,56 27.15 0,008 52,84 66,79 13.96 0,014
Pemeriksaan 34,17 80,00 45.83 0,008 34,16 68,33 34.17 0,000
Diagnosis 35,00 95,00 60.00 0,009 34,37 64,37 30.00 0,008
Tindakan 49,29 82,50 33.22 0,012 45,89 72,50 26.61 0,002
Penyuluhan 42,00 84,00 42.00 0,008 42,00 69,50 27.50 0,000

Pada penyakit ISPA ini terdapat perbedaan selisih yang bermakna


pada semua langkah baik di Puskesmas kontrol maupun intervensi.
Tingkat kepatuhan terhadap langkah standar pada Puskesmas
kontrol dan intervensi dapat dilihat pada tabel berikut.
Puskesmas Kontrol Puskesmas Intervensi
Langkah Sblm Lat Q.A Sesdh Lat Q.A Selisih Sblm Lat Q.A Sesdh Lat Q.A Selisih p

Anamnese 56.41 83.56 27.15 52.84 66.79 13.96 0.10


Pemeriksaan 34.17 80.00 45.83 34.16 68.33 34.17 0.31
Diagnosa 35.00 95.00 60.00 27.50 57.50 30.00 0.17
Tindakan 49.29 82.50 33.22 45.89 72.50 26.61 0.59
Penyuluhan 42.00 84.00 42.00 42.00 69.50 27.50 0.10
9

Perbedaan tingkat kepatuhan responden terhadap standar


pelayanan penyakit ISPA antara Puskesmas intervensi dan Puskesmas
kontrol menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p > 0,05).
Tingginya nilai pre test di Puskesmas kontrol, dikarenakan
penguasaan terhadap Quality Assurance lebih tinggi. Hal tersebut
dikarenakan dokter di Puskesmas kontrol ini pernah menjadi fasilitator
pada MTBS tingkat propinsi. Selian itu di Puskesmas kontrol juga terdapat
Poliklinik MTBS. Hal yang turut mempengaruhi pemahaman Quality
Assurance. Sehingga saat diberikan test berupa pre-test maka pada
Puskesmas kontrol bisa menghasilkan nilai yang tinggi.
Hasil post-test ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
pemahaman tentang konsep Quality Assurance baik di Puskesmas kontrol
maupun di Puskesmas intervensi. Bahkan peningkatan ini secara uji
statistik, cukup bermakna (p<0,05). Peningkatan ini disebabkan semakin
meningkatnya pemahaman responden. Bila dibandingkan hasil nilai post-
test Puskesmas intervensi dan Puskesmas kontrol ternyata tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Pengaplikasian Quality Assurance pada standar penyakit diare
meningkat secara bermakna (p<0,05) sesudah mengikuti pelatihan. Hal ini
berarti dapat disimpulkan bahwa adanya pelatihan telah terjadi
peningkatan pemahaman yang bermakna terhadap Quality Assurance
pada responden. Materi suatu bidang studi tak mungkin dimiliki tanpa
dipelajari terlebih dahulu. Dalam pengajaran tersebut timbul tujuan
instruksional, yakni tujuan yang menggambarkan kemampuan,
keterampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa sebagai akibat hasil
pengajaran yang dinyatakan dalam tingkah laku7.
Proses fasilitasi yang dilaksanakan di Puskesmas intervensi
menunjukkan tingkat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat
kepatuhan yang ada pada Puskesmas kontrol. Meskipun secara skor
tingkat kepatuhan mengalami peningkatan, namun secara statistik tidak
10

bermakna (p>0,05). Ketidakbermaknaan ini menunjukkan belum


berhasilnya proses fasilitasi yang dilaksanakan di Puskesmas intervensi.
Penilaian terhadap kualitas harus ditentukan dengan menggunakan
indikator yang bisa diukur 8. Untuk itu mutu pelayanan pasien penderita
diare dapat diukur dengan menentukan tingkat kepatuhan responden
terhadap standar langkah pelayanan penyakit diare yang terdiri atas
langkah anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, tindakan dan penyuluhan.
Hasilnya menunjukkan bahwa pada semua langkah kecuali pada langkah
anamnesisi menunjukkan peningkatan yang bermakna setelah ikut
pelatihan. Perbandingan antara Puskesmas kontrol dan intervensi
menunjukkan bahwa pada semua langkah tidak menunjukkan langkah
yang bermakna.
Keadaan itu disebabkan adanya kebosanan (masturasi), kurang
adanya dukungan dari atasan, banyaknya pekerjaan serta hubungan
rekan yang tidak harmonis serta rendahnya motivasi. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang yang mengungkapkan bahwa motivasi petugas
mempengaruhi kepatuhan pada standar pelayanan9.
Kondisi di lapang menunjukkan bahwa petugas pelayanan
kesehatan dalam penanganan pasien penderita diare kurang
mengkomunikasikan secara rinci prosedur pelayanan yang telah
distandarkan. Memang penerapan Quality Assurance di Puskesmas masih
kalah jika dibandingkan dengan di rumah sakit10.
Aplikasi Quality Assurance pada standar penyakit ISPA dapat
dilihat dari kepatuhan responden terhadap standar pelayanan penyakit
ISPA. Setelah dilakukan pelatihan Quality Assurance maka kepatuhan
responden terhadap standar penyakit ISPA di Puskesmas intervensi
menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi yakni sebesar 41,64%. Hal
ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa melalui pendidikan dan
latihan, maka anggota menjadi dapat diandalkan 11. Ishikawa juga
menyatakan bahwa kendali mutu dimulai dengan pendidikan dan berakhir
dengan pendidikan. Semakin baik tingkat pendidikan anggota maka
11

semakin mudah memahami perangkat alat-alat pemecahan masalah


dalam pengendalian mutu.
Perbandingan kepatuhan terhadap standar pelayanan penyakit
ISPA di Puskesmas kontrol dan Puskesmas intervensi, dihitung dengan
memperbandingkan selisih kepatuhan responden sebelum pelatihan dan
sesudah pelatihan. Hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa tingkat
kepatuhan pada standar pelayanan penyakit ISPA di Puskesmas kontrol
dan Puskesmas intervensi menunjukkan perbedaan yang bermakna
(p=0,01). Ini menunjukkan bahwa proses fasilitasi yang dilakukan di
Puskesmas intervensi dalam pelayanan terhadap pasien ISPA secara
umum sudah efektif. Hal ini disebabkan perhitungan yang dilakukan
secara umum memberikan nilai akumulasi dari tiap langkah, dimana pada
langkah anamnesis, diagnosis dan penyuluhan menunjukkan angka yang
mendekati bermakna. Sehingga secara komulatif berpengaruh terhadap
kebermaknaan pada kepatuhan terhadap standar pelayanan penyakit
ISPA.
Sudah selayaknya pada proses fasilitasi, seorang fasilitator harus
mampu membantu dan memberikan saran atau pendapat kepada petugas
pelayanan kesehatan agar dapat mengatasi masalah yang dihadapi.
Selain itu juga wajib mendukung kemajuan dan peningkatan prestasi,
12
sehingga dapat mencapai target yang ditetapkan . Maka aplikasi Quality
Assurance pada standar pelayanan penyakit ISPA juga dilihat dengan 5
langkah standar pelayanan yang terdiri atas langkah anamnesis,
pemeriksaan, diagnosis, tindakan dan penyuluhan.
Setelah dilakukan pelatihan maka terlihat peningkatan pemahaman
pada semua langkah baik di Puskesmas kontrol maupun di Puskesmas
intervensi. Pelatihan dan umpan balik yang efektif merupakan aspek yang
penting dalam setiap proses belajar yang mencakup perubahan perilaku 13.
Sedangkan bila dibandingkan antara Puskesmas intervensi dan
Puskesmas kontrol menunjukkan bahwa semua langkah menunjukkan
perbedaan yang yang tidak bermakna. Kurang bermaknanya tingkat
12

kepatuhan terhadap standar langkah pelayanan pada Puskesmas


intervensi, perlu dikaji hambatan yang dialami oleh fasilitator. Dimana
fasilitator merupakan seorang yang memungkinkan para individu yang
bekerja dalam kelompok untuk mencapai tujuan kelompok. Untuk
mencapai tujuan kelompok tersebut fasilitator perlu memperbaiki proses-
proses dalam kelompok dan membentuk tim yang dinamis. Perhatian
pokok fasilitator bukan pada isi standar, melainkan pada kemampuan
kelompok tersebut untuk membentuk standar, dan untuk mencapai hal itu
14
fasilitator perlu menghindari keterlibatan dalam usaha kelompok .
Implikasi hasil penelitian terhadap kebijakan mutu dan sistem
pembiayaan perlu penambahan waktu yang lebih lama agar semua materi
pelatihan ini bisa terakomodir secara lebih menyeluruh. Selain itu materi
pelatihan yang terkesan sulit bagi para petugas pelayan kesehatan, maka
perlu diperkirkan untuk lebih menyederhanakan materi pelatihan yang
diberikan. Misalkan dengan menyampaikan materi pelatihan dengan
bahasa yang lebih sederhana dan aplikatif. Hal yang tidak bisa
dipinggirkan adalah adanya evaluasi secara berkala agar pelaksanaan
program peningkatan mutu ini bisa berlangsung sebagaimana mestinya.
Program Quality Assurance ini perlu diberlakukan melalui proses panjang
dan mengkaitkan beberapa pihak. Sementara implementasi program
Quality Assurance ini merupakan kegiatan yang yang sangat berguna.
Sehingga integrasi program dengan sistem promosi insentif harus
dilakukan15.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
a. Pelatihan Quality Assurance mampu meningkatkan pemahaman
responden terhadap konsep Quality Assurance dan efektif
meningkatkan kepatuhan responden terhadap standar pelayanan
penyakit diare dan ISPA.
b. Proses fasilitasi yang dilakukan pada Puskesmas Intervensi hanya
bisa berjalan secara efektif pada pelayanan penyakit ISPA. Sedangkan
13

untuk pelayanan penyakit diare proses fasilitasi belum bisa berjalan


secra efektif.
Saran
a. Untuk dapat meningkatkan program Quality Assurance ini, Kepala
Puskesmas disarankan untuk mampu memotivasi petugas, agar tetap
melaksanakan prosedur tetap dalam melaksanakan Quality
Assurance.
b. Untuk mempertahankan program Quality Assurance di Puskesmas,
disarankan kepada Dinas Kesehatan bersama dengan Puskesmas
untuk menyusun rencana anggaran yang diajukan kepada pihak terkait
misalnya Pemerintah Daerah (Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD).
c. Agar tindak lanjut pelatihan Quality Assurance dapat berjalan baik dan
berkesinambungan, Puskesmas selayaknya membuat rencana tindak
lanjut dengan beberapa pokok kegiatan termasuk minitoring dan
evaluasi.
d. Bagi peneliti lain, yang tertarik dalam penelitian Quality Assurance
maka penelitian penelitian sebaiknya diarahkan pada pemberian
imbalan atau penghargaan untuk bisa menambah khasanah
pengembangan Quality Assurance.
14

KEPUSTAKAAN

1. Parasuraman. 1985. A Conceptual Model of Service Quality and Its


Implications for Future Research. Journal of Marketing
2. Sinamora. (1997). Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta:
STIE YKPN.
3. Azwar. B (1996). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
4. Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang. (2003). Laporan Tahunan
Puskesmas Batakte. Kupang :Puskesmas Batakte
5. Tjiptono. Fandy . (2003). Total Quality Service. Yogyakarta: Andi
Offset
6. Donabedien. (1980). Exploration in Quality Assesment and Monitoring.
Health Administration. Michigan:Health Administration Press Ann
Arbon.
7. Arikunto. Suharsimi. (2001). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara
8. Rubin. HR. 2001. Methodology Matters From a Process of Care to a
Measurement: The Development and Testing of Quality Indicator.
9. Haryanti. S. (1999). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kepatuhan Bidan Pada Standar Pelayanan Antenatal Dengan
Berpedoman Pada Buku KIA di Kotamadya Salatiga. Tesis S2.
Program Pascasarjana MMPK-UGM. Yogyakarta
10. Bapelkes Gombong. (1999). Laporan Evaluasi Pasca Pelatihan Quality
Assurance. Gombong : Bapelkes Gombong
11. Ishikawa. (1992). What is Total Quality Control? The Japanese Way.
USA: Prentice-Hall. Engelwood Cliffs.
12. Tjiptono. Fandy . (2003). Total Quality Service. Yogyakarta: Andi
Offset
13. Mc. Gregor. (1988). Aspek Manusia dalam Dunia Usaha. Jakarta:
Erlangga.
14. Giebing. H dan Marr. Heather. (1994). Penjaminan Kualitas dalam
Keperawatan Konsep. Metode dan Studi Kasus. Jakarta : EGC
15. Mukti AG. (2000). Quality Assurance Program: Its Development and
Implementation in Primary Health Care Setting. Indon J Clin Epidemiol
Biostat. Vol 7. No 2 August 2000

You might also like