You are on page 1of 24

MAKALAH

ELEMEN – ELEMEN PENDIDIKAN INKLUSI


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pendidikan Inklusi
Dosen Pengampu
M. Dani Wahyudi, S. Pd. 1., M. Pd

Disusun Oleh :
KELAS 5B PGSD
KELOMPOK 3

Nurlaila Jum’ah 1910125120032


Rahma Dewi Astuti 1910125120022
Wulan Maulidasari 1910125220052
Esty Fahlupi Yurinda 1910125320027
Muhammad Sugiyannor 1910125310064

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS LAMBUNG LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BANJARMASIN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT serta
sholawat dan salam tak lupa senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang mana atas karunia-Nya dan syafaat beliau kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.

Terima kasih kepada Bapak M. Dani Wahyudi, S. Pd 1., M. Pd selaku dosen


pengampu yang sudah memberikan tugas makalah ini sehingga kami bisa mendapatkan
ilmu yang bermanfaat. Terima kasih juga kepada teman-teman yang telah bekerja sama
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah yaitu
Pendidikan Inklusi. Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat membantu pembaca
mengetahui “Elemen-elemen Pendidikan Inklusi” yang kami buat berdasarkan
pengambilan dari berbagai sumber.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan guna menjadikan
makalah ini menjadi lebih sempurna. Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Aamiin Yarobbal Aalamiin.

Banjarmasin, 23 Agustus 2021

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3
A. Pengertian welcoming school dan welcoming teacher.........................................3
B. Menekankan kerjasama daripada persaingan sebagai elemen pendidikan
inklusi....................................................................................................................5
C. Kurikulum yang fleksibel sebagai elemen pendidikan inklusi..............................6
D. Layanan individual sebagai elemen pendidikan inklusi........................................10
E. Mengakomodir perbedaan sebagai elemen pendidikan inklusi.............................11
F. Kerjasama dengan berbagai pihak sebagai elemen pendidikan inklusi................13
G. Bekerja tim sebagai elemen pendidikan inklusi....................................................14
H. Perlunya guru pendamping khusus sebagai elemen pendidikan inklusi...............15
BAB III PENUTUP...........................................................................................................18
A. Kesimpulan............................................................................................................18
B. Saran......................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam kehidupan, kita tidak pernah lepas dari yang namanya “belajar”.
Menurut Slavin (2008), belajar merupakan suatu proses di mana adanya
perubahan yang disengaja dalam diri seseorang yang disebabkan oleh
pengalaman. Aspek-aspek yang dikembangkan dalam proses belajar diantaranya
seperti pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Pemerataan kesempatan belajar
yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak hanya
berlaku bagi anak normal, tetapi juga mencakup anak dengan kebutuhan khusus.
Pelayanan pendidikan tidak hanya untuk sekedar memenuhi HAM dan hak anak,
namun juga harus dilakukan demi kemaslahatan anak di kehidupan mendatang.
Hal ini mengakibatkan munculnya pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi
ditujukan terutama ditujukan untuk semua anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Pendidikan Inklusi merupakan proses menciptakan lingkungan yang
ramah terhadap pembelajaran, dengan memanfaatkan semua sumber yang ada
untuk memberikan kesempatan belajar dalam mempersiapkan mereka untuk dapat
menjalani hidup dan kehidupan. Pendidikan inklusif akan dapat dimengerti secara
keseluruhan jika setiap orang yang handak menerapkan pendidikan inklusif serta
memahami setiap elemen di dalamnya. Elemen-elemen dalam pendidikan inklusif
akan menciptakan sekolah yang ramah, terbuka, serta siaga atau yang dikenal
dengan istilah “welcoming school”.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas
materi dalam karya tulis ini yaitu “Elemen-elemen pendidikan inklusif”, terutama
pada poin pembahasan welcoming teacher dan pembelajaran yang ramah,
menekankan kerjasama daripada persaingan, dan kurikulum yang fleksibel.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian welcoming school dan welcoming teacher ?
2. Bagaimana menekankan kerjasama daripada persaingan sebagai elemen
pendidikan inklusi ?
3. Bagaimana kurikulum yang fleksibel sebagai elemen pendidikan inklusi ?
4. Apa itu pelayanan individual sebagai elemen pendidikan inklusi ?
1
5. Bagaimana mengakomodir perbedaan sebagai elemen pendidikan inklusi ?
6. Bagaimana kerjasama dengan berbagai pihak sebagai elemen pendidikan
inklusi ?
7. Bagaimana bekerja tim sebagai elemen pendidikan inklusi ?
8. Apa perlunya guru pendamping khusus sebagai elemen pendidikan inklusi ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa pengertian welcoming school dan welcoming teacher.
2. Untuk mengetahui bagaimana menekankan kerjasama daripada persaingan
sebagai elemen pendidikan inklusi.
3. Untuk mengetahui bagaimana kurikulum yang fleksibel sebagai elemen
pendidikan inklusi.
4. Untuk mengetahui apa itu pelayanan individual sebagai elemen pendidikan
inklusi.
5. Untuk mengetahui bagaimana mengakomodir perbedaan sebagai elemen
pendidikan inklusi.
6. Untuk mengetahui bagaimana kerjasama dengan berbagai pihak sebagai
elemen pendidikan inklusi.
7. Untuk mengetahui bagaimana bekerja tim sebagai elemen pendidikan inklusi
8. Untuk mengetahui apa perlunya guru pendamping khusus sebagai elemen
pendidikan inklusi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Welcoming School dan Welcoming Teacher


1. Welcoming School
Sekolah Ramah Anak (welcoming school) dalam hal ini diartikan sekolah yang
bukan hanya tempat untuk memperoleh pengetahuan atau informasi sebanyakbanyaknya
tapi jauh lebih penting dari semua itu adalah sebagai wadah bagi guru dan siswa untuk
bersamasama belajar, samasama mengamati apa yang terjadi di sekelilingnya dan
terlebih lagi pengamatan terhadap diri masingmasing. belajar dapat berlangsung dengan
sempurna pada saat batin tenang tanpa tekanan.
Sekolah yang ramah anak merupakan institusi yang mengenal dan menghargai
hak anak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan bermain dan
bersenang, melindungi dari kekerasan dan pelecehan, dapat mengungkapkan pandangan
secara bebas, dan berperan serta dalam mengambil keputusan sesuai dengan kapasitas
mereka. Sekolah juga menanamkan tanggung jawab untuk menghormati hakhak orang
lain, kemajemukan dan menyelesaikan masalah perbedaan tanpa melakukan kekerasan.
didalam konsep sekolah ramah anak murid selalu dilibatkan didalam menciptakan
lingkungan sekolah yang menarik dan ideal seperti :
a. Siswa dilibatkan dalam mengungkapkan ide, gagasannya mendesain sekolah
dengan media belajar (kotak saran, jam diri, kotak soal, majalah dinding, taman,
kebun sekolah, penataan bangku, dekorasi kelas sehingga menarik).
b. Siswa dilibatkan dalam berbagai aktifitas yang mengembangkan kompetensi
dengan menekankan proses belajar melalui berbuat sesuatu.
Dalam Sekolah Ramah Anak (welcoming schools) senantiasa terdapat akses fisik
yang baik dan para gurunya mempersiapkan diri lebih awal. Persiapan untuk pelajaran
melibatkan pemikiran tentang bagaimana memastikan bahwa semua murid
berpartisipasi dalam proses belajar dan bagaimana kebutuhan kurikulum dibedakan
berdasarkan kebutuhan individu. Guru senantiasa memikirkan, bagaimana
mengelompokkan kelas, dan materi apa yang diperlukan oleh anak didiknya. Semua ini
tergantung pada konteks sekolah, ruang kelas, dan kebutuhan anak. Tindakan guru
3
seperti ini sudah menunjukkan sikap inklusi. Kinerja guru yang inklusi salah satu
indikasinya selalu berupaya untuk memperbaiki cara mengajar dan menyesuaikan
dengan kebutuhan siswa.
Pada sekolah yang ramah, guruguru menggunakan beragam metode pengajaran
dan gaya presentasi untuk menjamin bahwa semua murid memperoleh keuntungan
maksimal dari sekolah. Mereka sadar bahwa dengan kebutuhan pendidikan khusus,
maka membutuhkan penyesuaian dan modifikasi kurikulum yang berbeda.
Memanfaatkan teknologi yang ada (use available technology) dapat membantu
pemahaman anak.
Di sekolah yang ramah anak, guru bekerja untuk mengembangkan lingkungan
belajar yang suportif (supportive school environtments) di dalam kelas, di sekolah dan
sekitar sekolah dalam komunitasnya. Guru senantiasa membimbing suatu generasi yang
dapat menerima dan toleran terhadap siapapun yang mempunyai kebutuhan yang
berbeda.
2. Welcoming Teacher
Sampai saat ini profesi pendidik masih mendapat tempat yang mulia di tengah-
tengah masyarakat, walaupun diyakini tidak sebaik pada zaman dahulu. Perkembangan
zaman, termasuk perkembangan teknologi membuat pergeseran cara pandang
masyarakat terhadap guru. Apapun pergeseran yang ada, profesi guru tetap harus ada,
sebab guru menjadi jembatan peralihan generasi ke generasi selanjutnya. Oleh karena
itu, guru tetap dituntut kompetensinya. Setidaknya ada empat kompetensi yang banyak
dituntut oleh masyarakat, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi profesional,
kompetensi pendagogik, dan kompetensi sosial.
Munculnya pardigma pendidikan inklusi, selain memiliki kompetensi guru juga
diharuskan mempunyai predikat welcoming teacher. Welcoming teacher dimaknai
menjadi guru yang ramah. Cakupannya tidak hanya lemah lembut dan santun tetapi arti
luas yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik dalam 3 ranah yaitu kognitif, afektif
dan psikomotorik. Pendidikan seringkali mengabaikan kebutuhan afektif dan lebih
mengutamakan kebutuhan kognitif.

4
Hal-hal yang bisa dilakukan untuk menjadi welcoming teacher adalah sebagai
berikut :
1. Guru harus mengetahui kondisi fisik maupun psikis peserta didik, termasuk
kesehatan, intelegensi anak, sifat/karakter anak, dsb.
2. Guru yang penolong, bukan guru yang mudah memberikan hukuman atau
panisment.
3. Guru yang tidak mempermalukan anak.
4. Guru yang dapat mengatasi jika ada anak yang dipermalukan oleh anak lain.
5. Guru yang empati terhadap hambatan belajar siswa.
6. Guru yang segera mungkin berusaha mengatasi hambatan belajar siswa.
7. Guru yang selalu memperhatikan perkembangan anak.
8. Guru yang dapat menjalin hubungan baik dengan orang tua anak dan pihak lainnya.

B. Menekankan Kerjasama daripada Persaingan sebagai Elemen Pendidikan


Inklusi

Sifat kompetensi (bersaing) memang ada pada diri manusia. Hal ini sudah menjadi
kodrati. Namun, jika sifat tersebut tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan
dampak yang tidak baik bagi diri seseorang maupun bagi orang lain. Sebagian orang
mengatakan bahwa persaingan berpotensi menimbulkan sesuatu yang menyakitkan.
Berbagai fenomena persaingan terbukti membuat kondisi yang sering tidak kondusif,
misalnya dalam pertandingan sepak bola. Para pemain bisa saja suportif, namun
terkadang para suporter yang sering tidak bisa menerima kekalahan, sehingga justru
membuat kegaduhan bahkan tidak jarang berujung kerusakan dan beberapa orang
menjadi korban kematian.Nuansa kompetensi juga selalu ada di lembaga pendidikan
disebut sekolah. Kompetensi sering dijadikan cara oleh sekolah maupun orang tua untuk
memotivasi belajar siswa. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kompetensi cukup
efektif untuk bisa meningkatkan motivasi belajar, bahkan prestasi belajar siswa.
Motivasi bisa dimunculkan dengan cara yang lebih ramah yaitu pendidikan inklusif yaitu
bagaimana menekankan kerja sama daripada persaingan. Elemen ini sebenarnya tidaklah

5
sulit untuk dilakukan. Sebab secara kodrati manusia juga dituntut untuk kerja sama.
Dalam ilmu social, manusia disebut sebagai makhluk social yang maknanya manusia
tidak bisa hidup sendiri, aktivitas kerja sama dalam belajar menjadi unsur yang penting
dalam mengimplementasikan paradigma pendidikan inklusif.Kerja sama akansiswa
menjadi manusia yang santun, berlatih empati dan tentu untuk mengasah kepedulian
sosial. Kerja sama juga akan membuat siswa untuk saling melengkapi dan menerima.
Kerja sama membuat semua siswa tidak ada yang berperan. Manusia berbudaya,
berkarakter, saling menghargai, saling menyayangi sesama. Jika seseorang mempunyai
kelebihan, hidup akan bermakna jika saling berbagi. Jika manusia ada sesuatu yang
kurang, tentu membutuhkan uluran/bantuan orang lain. (Yuwono&Imam, 2021: 38-39)

C. Kurikulum yang Fleksibel sebagai Elemen Pendidikan Inklusi

Sekolah inklusi terdapat keragaman antar peserta didik dengan berbagai macam
latar belakang, kemampuan, abilitas, dan kapasitas. Dari tingkatan kemampuan dan
kapasitas yang luar biasa sampai peserta didik berkebutuhan khusus. Pelayanan
pendidikan yang diberikan secara bersamaan menyebabkan hubungan antara semua
peserta didik dapat berlangsung secara interaktif untuk saling memahami, mengerti,
menerima perbedaan dalam rangka meningkatkan empati, simpati, toleransi, dan
kerjasama di antara mereka. Anak berkebutuhan khusus bisa belajar di kelas regular
dengan penyediaan guru pendamping bersamanya selain guru kelas.(Qomarudin &
Safarudin, 2021)Guru mengumpulkan informasi dasar tentang metode yang digunakan
saat pembelajaran, penilaian dan bahan ajar, serta pemahaman tentang keberagaman
siswa di kelas. Hal ini perlu diketahui bahwa guru tidak hanya berfokus kepada seorang
siswa ketika merancang pembelajaran, melainkan memahami bahwa setiap kelas
terdapat berbagai macam karakteristik. Untuk indikatornya yaitu:

1. Mengidentifikasi beberapa yang saat ini digunakan metode, bahan ajar, dan
penilaian dan bahan lainnya untuk mencapai tujuan pembelajaran;
2. Mengidentifikasi hambatan siswa dikelas;
3. Mengidentifikasi hambatan dalam kurikulum yang mencegah akses, partisipasi, dan
kemajuan hambatan kurikulum. (Novianti, 2021)
6
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan atau peraturan pelaksanaan
pembelajaran yang mencakup pengaturan tentang tujuan, isi, proses dan evaluasi.
Kurikulum yang digunakan harus fleksibel dan responsif terhadap keberagaman
kebutuhan semua anak yang ada penyesuaian terhadap tingkat dan irama perkembangan
individu. (Kurniawati., dkk. 2021). Kurikulum yang digunakan pada sekolah reguler
adalah kurikulum 2013 tidak terkecuali bagi sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
seperti yang disampaikan oleh Mudjito dkk. Kurikulum yang digunakan pada kelas
inklusif pada dasarnya adalah menggunakan kurikulum pada kurikulum sekolah umum,
namun bagi peserta didik berkebutuhan khusus, kurikulum yang ada perlu di sesuaikan
atau dimodifikasi mengikuti kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus. Kelas
inklusif memiliki ciri khas keberagaman yang sangat dominan, dengan demikian prinsip
fleksibilitas kurikulum akan terlihat. Kurikulum pada sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif adalah kurikulum yang adaptif atau fleksibel untuk dapat disesuikan dengan
kebutuhan PDBK. Pemahaman adaptif dan modifikasi dalam pendidikan atau kurikulum
seperti disampaikan oleh Valentin menyatakan “adaption are things used to help a
student better engage in her or his environment and surroundings, while modifications
are changes made to enhance the curriculum-both are used to help the student process
information and learn”, hal senada dikemukakan juga oleh Friend dan Bursuck
menyebutkan bahwa sifat pembelajaran yang akomodatif dan modifikatif merupakan
hak bagi PDBK memperoleh pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
mereka. Kurikulum yang akomodatif adalah kurikulum yang mampu menyesuaikan
dengan kemampuan PDBK, contohnya adalah PDBK mengikuti pembelajaran yang
sama di kelas reguler serta menerima materi yang sama, namun pada saat melakukan
pengerjaan soal bagi PDBK jumlah soal dikurangi atau mengurangi kedalaman maupun
keluasan suatu materi dikarenakan memiliki hambatan kecerdasan. Sedangkan
pembelajaran yang dimodifikasi suatu pembelajaran yang diubah sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan peserta didik seperti suatu materi dihilangkan karena PDBK
memiliki hambatan pendengaran yang tidak memungkinkan untuk mempelajari materi
tersebut (Sukirman, 2018).Idealnya, setiap individu siswa memerlukan kurikulum yang
berbeda, karena setiap manusia adalah unik/berbeda. Salah satu keunikan menurut teori

7
multipel intelegensi (MI) yang dicetuskan oleh Prof. Dr. Howard Gawerd seorang
psikolog dan ahli pendidik dari Hardvard University. Teori ini tidak hanya
mengunggulkan kecerdasan IQ semata, namun sebenarnya setiap individu memiliki
banyak kecerdasan. Setiap individu memiliki satu atau lebih kecerdasan yang menonjol
dalam dirinya. Semua kecerdasan kerja sama secara unik dalam mengelola dan
mereproduksi kembali informasi yang dibutuhkan. Menurut MI ada sembilan jenis
kecerdasan yang telah ditemukan. Kesembilan jenis kecerdasan adalah verbal-linguistik,
logika-matematika, spasial, kinestetik-jasmani, music intrapersonal, interpersonal,
natural, dan spiritual.

Sekolah tidak harus membuat kurikulum tersendiri. Kurikulum yang dipakai


adalah kurikulum yang berlaku di sekolah tersebut. Namun kurikulum yang dipakai
harus berpeluang untuk dimodofikasi, manakala ada siswa yang mengalami hambatan
untuk diterapkannya kurikulum yang ada siswa yang justru melampaui kurikulum yang
ada. Kurikulum yang demikian disebut kurikulum yang fleksibel. Modifikasi kurikulum
perlu dilakukan agar setiap siswa mendapatkan pembelajaran yang sesuai dengan
kondisi individu siswa. Penetapan siswa yang memerlukan modifikasi kurikulum
ditentukan dari hasil identifikasi dan asesmen.Dedi Supriadi, mengemukakan:
sesungguhnya, kehendak untuk membangun pendidikan yang lebih inklusif dan populasi
merupakan keinginan lama di Indonesia. Jauh sejak Negara ini memulai pelaksanaan
wajib belajar pendidikan 6 tahun pada tahun 1984, kemudian wajib belajar 9 tahun mulai
1994, telah dirasakan perlunya perubahan perspektif dalam menempatkan peserta didik.
Perspektif yang elitis, eksklusif, segregatif, dan hanya memperhatikan kelompok
mayoritas yang masih berlaku pada saat ini tidak bisa lagi dipertahankan tatkala
pendidikan juga harus dapat menjangkau kelompok anak-anak kurang beruntung,
termasuk anak-anak berkelainan. Filosofinya pun berubah dari “mengubah anak agar
sesuai dengan tuntutan sekolah” menjadi “mengubah sekolah atau sistem agar sesuai
dengan anak” dengan kata lain, “adapting the system, not the children”, tanpa ada
perubahan ini, niscaya sasaran wajib belajar tidak akan pernah tercapai karena ada
pagar-pagar yang menghalangi akses anak kependidikan.

8
Pendapat di atas mengisyaratkan bahwa salah satu elemen pendidikan inklusif
yaitu kurikulum yang fleksibel menjadi sebuah persyaratan utama jika sekolah (dalam
hal ini guru) mengetahui kondisi dan kemampuan (potensi) yang dimiliki oleh peserta
didik oleh peserta didik dan hambatan yang dimiliki anak. Kemampuan guru di bidang
identifikasi dan asesmen menjadi hal yang penting untuk bisa mengimplementasikan
fleksibilitas kurikulum. Identifikasi berarti menemukenali. Asesmen berarti segala upaya
untuk mengumpulkan informasi tentang diri anak, misalnya seseorang yang mempunyai
bakat dan minat music, maka anak dibuatkan kurikulum yang dapat mengembangkan
potensi musiknya. Masih banyak potensi-potensi lainnya (tidak hanya bakat dan minat
saja) seperti cara belajar anak, fisik anak, dsb.

Hambatan belajar anak tidak kalah pentingnya untuk diketahui. Proses identifikasi
dan asesmen untuk menemukan hambatan belajar anak juga menjadi prioritas sebelum
menangani anak. Jika hambatan belajar anak tidak terdeteksi oleh guru hal ini sangat
berpotensi terhadap buruknya perkembangan belajar anak dan menyebabkan siswa tidak
termotivasi belajar, karena kesulitan demi kesulitan menghimpit anak. Hambatan belajar
anak perlu diketahui sebagai bahan pertimbangan untuk penanganan yang diwujudkan
dalam program pembelajaran. Beberapa jenis modifikasi yang dapat dilakukan antara
lain:

1. Modifikasi Proses
Modifikasi proses sebisa mungkin menjadi alternatif pertama jika menurut
hasil identifikasi dan asesmen, siswa sebenarnya mampu mengikuti kurikulum yang
ada. Modifikasi proses diperlukan dengan alasan siswa akan mengalami hambatan
jika kurikulum yang ada dilaksanakan /diajarkan sama seperti anak-anak pada
umumnya. Kurikulum dapat diikuti oleh siswa jika dimodifikasi dalam prosesnya.
Modifikasi proses terdiri dari modifikasi dalam prosesnya. Modifikasi proses terdiri
dari modifikasi alat peraga, seting ruang, metode/cara mengajar, toleransi terhadap
cara belajar siswa yang berbeda.
2. Modifikasi Konten/isi kurikulum
Modifikasi ini terdiri dari:

9
a. Modifikasi menurunkan tingkatan kesulitan pelajaran
b. Modifikasi substitusi, yaitu materi yang diajarkan kepada ABK diganti dengan
materinya bukan kepada mata pelajarannya. Pengganti mata pelajaran harus
didukung oleh argumentasi yang benar.
c. Modifikasi omisi, penghilang materi/mata pelajaran
d. Modifikasi ini diterapkan jika sudah tidak memungkinkan lagi ada pengganti
materi/ mata pelajaran yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak

Perencanaan pembelajaran bagi anak-anak yang mengalami hambatan (lebih


spesifik bagi peserta didik yang masuk dalam kategori ABK) diwujudkan dalam IEP/PPI
(Program Pembelajaran Individual)(Yuwono & Utomo, 2021: 39-42)

D. Layanan Individual sebagai Elemen Pendidikan Inklusi


Teori ini tentang layanan individual dalam setting Pendidikan inklusif,
dimaksudkan jika ada siswa yang tidak bias mengikuti pembelajaran secara klasikal.
Siswa yang tidak bias mengikuti pembelajaran secara klasikal tersebut maka dilayani
kebutuhan pendidikannya dengan layanan individual (layanan Pendidikan yang berbeda
dengan anak-anak pada umumnya). Anak-anak yang termasuk kategori ABK.
Sebenarnya layanan individual tidak hanya diberlakukan bagi anak berkebutuhan
khusus (ABK permanen) saja, namun bias jadi bagi anak yang sebenarnya tidak
berkebutuhan khusus permanen (ABK temporer). ABK temporer adalah anak yang
mengalami hambatan belajar namun sifatnya sementara dan jika ditangani dengan benar
maka anak akan bias mengikuti pembelajaran layaknya anak-anak pada umumnya (anak
regular). Jika anak sudah kembali seperti layaknya anak-anak pada umumnya maka anak
tersebut tidak lagi disebut ABK lagi.
Bagaimana implementasi layanan individual di sekolah penyelenggara
Pendidikan inklusif? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diawali pemahaman
bahwa sekolah yang menyelenggarakan paradigma Pendidikan inklusif tidak
diperkenankan untuk mehomogenkan siswa dan juga sebisa mungkin anak-anak dalam
keadaan apapun tetap dilayani kebutuhan pendidikannya dalam satu kelas. Menurut
Sapon Shevin (2004), anak-anak akan belajar denganny aman jika belajar dengan teman

10
sebaya. Berdasarkan hal tersebut maka sebisa mungkin layanan individual tetap
dilakukan di dalam kelas dimana teman-teman lainnya belajar secara klasikal. Jika
memang ada anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan lainnya belajar
tersebut bias mengganggu anak-anak lainnya (misalnya ada anak yang autis tantrum),
maka diperkenankan untuk sementara layanan individual dilakukan diluar kelasnya yaitu
dengan cara ditarik dari kelasnya dan jika telah selasai maka anak tersebut dikembalikan
ke kelasnya.
Beberapa contoh layanan individual yang dilakukan dikelas regular yaitu:
1. Jika salah satu peserta didik ada yang tunanetra dan sedang belajar tentang peta,
maka anak-anak yang lain belajar menggunakan peta gambar seperti biasanya,
maka tunanetra belajar dengan menggunakan peta raba (petatimbul) yaitu peta
yang jika diraba dan tangannya akan mendapatkan informasi tentang gambaran
suatudaerah/negara
2. Di salah satu sekolah dasar (SD) penyelengara Pendidikan inklusi terdapat anak
tuna grahita. Guru sedang mengajar matematika sampai bilangan 100. Ternyata
anak tuna ghrahita tersebut sulit untuk diajari sampai angka 100, maka anak
tuna ghrahita tersebut diajari hanya sampai puluhan dan belajarnya tetap dikelas
sebaiknya ada GPK (guru Pendidikan khusus) yang mendampinginya.

E. Mengakomodir Perbedaan sebagai Elemen Pendidikan Inklusi


Sesuai dengan filosofi pendidikan inklusif, bahwa pada dasarnya setiap manusia
yang satu dengan manusia yang lain pasti berbeda. Beberapa diantaranya ada yang
mirip. Mirip bukan berarti sama. Perbedaan merupakan sesuatu yang kodrati. Secara
garis besar perbedaan dibagi menjadi dua, yaitu perbedaan yang “wajar” dan perbedaan
yang “ekstrim”.
Perbedaan yang wajar maksudnya perbedaan yang biasa dan sebagian besar
menjadi cirri pembeda untuk mengenal seseorang. Beberapa contoh yang termasuk
kategori perbedaan yang wajar antara lain: warna kulit, tinggi badan, bentuk wajah, latar
belakang ekonomi, agama, dan lain-lain. Selama ini perbedaan kategori wajar sudah
tidak menjadi masalah di sekolah, terutama di sekolah umum. Misalnya siswa yang

11
berasal berasal dari latar belakang ekonomi ekonomi yang miskin yang miskin sudah
dapat bersekolah. bersekolah. Begitu juga di sekolah-sekolah umum sudah terbiasa
dengan siswa yang berbeda-beda warna kulit.
Perbedaan yang ekstrim dimaknai sebagai sebuah perbedaan yang mencolok.
Seseorang yang termasuk kategori perbedaan yang ekstrim bisa jadi hanya orang
tersebut tersebut yang mengalami/memiliki. Contohnya ada satu anak yang hanya
mempunyai kaki satu, sedangkan anak-anak lainnya kakinya lengkap. Contoh lainnya
ada anak yang mempunyai IQ di bawah 70 (tunagrahita), sedangkan anak-anaklainnya
ber-IQ rata-rata (90-110). Perbedaan yang ekstrim paling banyak berasal dari mereka
yang termasuk ABK (anak berkebutuhan khusus). Perbedaan yang ekstrim masih sering
dipermasalahkan di sekolah umum. Mereka yang berbeda ekstrim (ABK) masih banyak
yang bersekolah di SLB. Di era pendidikan inklusif ini, bagaimana mereka bias
ditangani di sekolah umum.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang siswa-siswanya heterogen bukan
homogen. Beberapa sekolah yang berusaha berusaha untuk menghomogenkan siswanya
tetap saja tidak bias seratus persen homogeny. Contohnya sekolah hanya menerima
anak-anak yang mempunyai rangking 10 besar, ada juga sekolah yang hanya menerima
anak-anak yang gifted. Kedua contoh fenomena tersebut bias jadi homogeny dalam IQ,
namun tetap saja masih terdapat keunikan pada masing-masing individu. Kesimpulannya
manusia ternyata tidak bias dihomogenkan. Kehidupan yang normal adalah kehidupan
yang heterogen.
Kondisi sekolah (lebih spesifik kondisi kelas) yang heterogen, sangat
memungkinkan berbagai strategi/metode pembelajaran yang mengarah kepada
pendewasaan social bagi peserta didik akan bias diterapkan. Salah satu contohnya yaitu
metode belajar dengan teman sebaya/tutor. Jika seluruh siswanya mempunyai
kemampuan yang tinggi, sangat sulit untuk menerapkan metode belajar teman sebaya,
sebab mereka tidak perlu kawan lain mengajarinya. Sebaliknya jika seluruh siswa satu
kelas kemampuannya rendah, maka tidak ada yang mampu untuk mengajarinya.
Fenomena tersebut sering terjadi di sekolah umum.

12
F. Kerjasama dengan Berbagai Pihak sebagai Elemen Pendidikan Inklusi
Tidak ada sebuah lembaga, termasuk lembaga Pendidikan bias berdiri sendiri
tanpa ada peran dari pihak lain. Kesempurnaan sebuah lembaga justru ada peran
lembaga/pihak lain untuk melengkapi keprofesionalan. Kerjasama dilakukan, terutama
pada saat sebuah pekerjaan tidak bias ditangani sendiri karena memerlukan ahli lain
yang diperlukan. Kerjasama juga dilakukan untuk memperkuat sebuah
pekerjaan/penanganan.
Implementasi pendidikan inklusif disetiap sekolah perlu didukung oleh sebuah
lembaga supporting. Salah satu lembaga yang diharapkan muncul adalah resource center
(pusat sumber penanganan ABK). Penanganan anak-anak pada umumnya dalam setting
pendidikan inklusif, bisa jadi cukup ditangani oleh sekolah regular penyelenggara
pendidikan inklusif. Namun jika di sekolah penyelenggara inklusif tersebut ada ABK,
maka penanganannya perlu mendapatkan dukungan dari pihak lain, salah satunya yaitu
lembaga pusat sumber.
Pusat sumber sebaiknya dibentuk oleh pemerintah, agar bias menjangkau lebih
banyak sekolah-sekolah reguler. Setidaknya setiap kabupaten/kota (distrik) terdapat satu
lembaga pemerintah dibawah dinas pendidikan (setingkat UPT). Gagasan berdirinya
pusat sumber sudah dirintis setidaknya tahun 2000-an. Gagasan pusat sumber akan
memanfaatkan sekolah-sekolah luarbiasa. Beberapa sekolah luar biasa ada yang ditunjuk
sebagai “senter”, ada yang ditunjuk sebagai “pendukung” dan ada yang ditunjuk sebagai
“imbas”.
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak hanya bergantung pada lembaga
pusat sumber. Maka sekolah penyelenggara Pendidikan inklusi (ada atau belum
ada pusat sumber) tetap harus menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain yang
memang mendukung terselenggaranya layanan yang prima
terhadap perkembangan peserta didik. Misalnya dengan PUSKESMAS, Perguruan
Tinggi, Psikolog, tokoh-tokoh masyarakat, lembaga keberbakatan (misalnya ada anak
didik yang mempunyai potensi/bakat musik), dan lain sebagainya.

13
G. Bekerja Tim sebagai Elemen Pendidikan Inklusi
Paradigma pendidikan inklusif sangat menyadari bahwa manusia merupakan
makhluk yang mempunyai keterbatasan. Seorang manusia tidak mungkin mempunyai
semua keahlian dan kemampuan yang diperlukan dalam menyelesaikan berbagai
masalah. Kebutuhan keahlian yang diperlukan dalam paradigma pendidikan inklusi tidak
mungkin oleh satu orang guru. Oleh karena itu setiap orang yang terlibat dalam
pendidikan itu harus bekerja sama atau bekerja tim dan sangat mustahil bisa bekerja
sendiri. Semua keberhasilan merupakan hasil karya bersama sesuai dengan kapasitas dan
kemampuan masing-masing.
Pendidikan inklusif akan berjalan dengan baik jika prinsip piramida inklusif
terpenuhi dengan baik. Ketiga dimensi dalam piramida inklusi harus berjalan seiring dan
tidak bisa hanya sebagian saja dilaksanakan.

KEBIJAKAN INKLUSIF PRAKTIK SECARA NYATA

BUDAYA INKLUSIF

1. Kebijakan Inklusif
Paradigma pendidikan inklusif akan berjalan dengan baik jika didukung oleh
pengambil kebijakan seperti pejabat yang berwenang menentukan arah kebijakan
pendidikan, pengawas, kepala sekolah dan pihak-pihak lain penentu kebijakan
pendidikan.
2. Budaya inklusi
Paradigma pendidikan inklusi harus mengakar di setiap orang yang terlibat
dalam pelaksanaan pendidikan. Sekolah dapat memprogramkan sosialisasi tentang
seluk-beluk pendidikan inklusi secara berkelanjutan bagi setiap guru, komite, staf,

14
dan orang lain. Budaya inklusif terwujud dengan dukungan dan sebuah komitmen
yang selalu mengatasi hambatan.
3. Praktik yang nyata
Paradigma pendidikan inklusif hanya akan menjadi sebuah wacana saja jika
tidak diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan di sekolah. Setiap program
sekolah harus bernuansa inklusif. Praktik nyata merupakan wujud keberhasilan
tertinggi dalam hierarki pelaksanaan pendidikan inklusif. Jangan hanya teori saja,
namun paradigma pendidikan inklusif nyata ada di sekolah.

H. Perlunya Guru Pembimbing Khusus (GPK) sebagai Elemen Pendidikan Inklusi


Teori tentang paradigma pendidikan inklusi sebenarnya terdapat profesi yang
disebut itinerant teacher dan special teacher. Itinerant teacher adalah guru yang sudah
dianggap profesional dalam menangani ABK. Iterant teacher lebih banyak bertugas
sebagai konsultan dan berkedudukan di kantor di pusat sumber. Sedangkan special
teacher adalah guru khusus yang mempunyai kualifikasi penangana ABK yang
ditugaskan dikantor sekolah regular/umum. Special teacher direkrut dari sarjana PLB
atau dari guru regular yang spesifik mendapatkan training tentang penanganan ABK.
Konsep tentang adanya GPK terbilang masih baru di Indonesia. Sebenarnya
paradigma pendidikan inklusif mengisyaratkan adanya profesi-profesi pendidik
diberbagai bidang. Selain profesi sebagai guru kelas, Guru Bimbingan Konseling, dan
guru bidang studi, maka muncul adanya tuntutan profesi GPK. GPK lebih banyak
bertugas menangani hambatan belajar terutama hambatan belajar yang disebabkan
karena anak didik tergolong ABK.
Guru khusus tersebut langsung secara praktis bekerjasama dengan guru kelas
untuk menangani hambatan anak belajar anak termasuk hambatan belajar dari anak-anak
yang tergolong ABK. Jabatan iteneran teacher berasal dari guru-guru yang mempunyai
prestasi sebagai special teacher. Di Indonesia sepertinya yang bekembang adalah GPK
yang lebih mirip itenerant teacher sepertinya masih jauh.
Bagi sekolah umum dan sekolah kejuruan yang menyelenggarakan pendidikan
inklusi dan belum memiliki guru pembimbing khusus perlu bekerja sama dengan Dinas

15
Pendidikan Provinsi dan atau Lembaga pendukung pendidikan untuk pengadaan guru
pembimbing khusus.Hal ini perlu dilakukan terobosan terobosan dan upaya
upayakoordinasi dengan berbagai pihak yang memiliki kewenangan di bidang itu karena
pemerintah dan pemerintah provinsi perlu membantu penyedian tenaga
pembimbingkhusus bagi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang
memerlukansesuai dengan kewenangannya.
Mengenai guru pembimbing khusus pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan PengawasSatuan
Pendidikan di jelaskan bahwa beban mengajar Guru Pembimbing Khusus padasatuan
pendidikan yang menyelengarakan Pendidikan Inklusif paling sedikit 6 (enam) jam tatap
muka dalam 1 (satu) minggu. Ketika kegiatan tatap muka hanya 6 jam dalamsatu
minggu , makatugas pokok dan fungsi sebagai guru pembimbing khusus harus jelas,
programnya juga harus jelas dan dilaksanakan dengan baik dan benar oleh
guruPembimbing Khusus.
Guru pembimbing khusus adalah guru yang memliki kualifikasi akademik
dankompetensi pendidikan khusus yang di beri tugas oleh Kepala
Sekolah/KepalaDinas/Kepala Pusat Sumber (Resource Center) untuk memberikan
bimbingan/advokasi/konsultasi kepada pendidik dan tenaga kependidikan di
sekolahumum dan sekolah kejuruan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Tugas Guru Pembimbing Khusus antara lain:
a. Menyusun program pembimbingan bagi guru kelas dan guru mata pelajaran.
b. Melakasanakan program pembimbingan bagi guru kelas dan guru mata
pelajaran.
c. Memonitor dan mengavaluasi program pembimbingan bagi gurur kelas dan
guru mata pelajaran.
d. Memberikan bantuan profesional dalam penerimaan , identifikasi , asesmen,
prevensi, intervensi, kompensatoris dan layanan advokasi peserta didik.
e. Memberikan bantuan profesional dalam melakukan pengembangan kurikulum,
program pendidikan individual, pembelajaran, penilaian, media dan sumber
belajar serta sarana dan prasarana yang aksesibel.

16
f. Menyususn laporan program pembimbingan bagi guru kelas dan guru mata
pelajaran.
g. Melaporkan hasil pembimbingan bagi guru kelas dan guru mata
pelajarankepada kepala sekolah, dinas pendidikan kabupaten/Kota/Provinsi dan
pihakterkait lainnya.
h. Menindaklanjuti hasi pembimbingan bagi guru kelas dan guru mata pelajaran.

Peningkatan kompetensi bagi para pendidik dana tenaga kependidikan dapat


dilakukanmelalui pusat pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga
kependidikan(P4TK), lembaga penjaminan mutu pendidikan (LPMP), perguruan tinggi
(PT), lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya dilingkungan pemerintah daerah,
kementerian pendidikan dan kebudayaan dan/atau kementerian agama, kelompok
kerjaguru/kepala sekolah(KKG/KKS), kelompok kerja pengawas sekolah (KKPS),
musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), musyawarah kerja kepala sekolah
(MKKS),musyawarah kerja pengawas sekolah (MKPS), kelompok kerja pendidikan
inklusif dan sejenisnya.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sekolah Ramah Anak (welcoming school) dalam hal ini diartikan sekolah yang
bukan hanya tempat untuk memperoleh pengetahuan atau informasi sebanyak-
banyaknya tapi jauh lebih penting dari semua itu adalah sebagai wadah bagi guru dan
siswa untuk bersamasama belajar, samasama mengamati apa yang terjadi di
sekelilingnya dan terlebih lagi pengamatan terhadap diri masingmasing. belajar dapat
berlangsung dengan sempurna pada saat batin tenang tanpa tekanan.
Sekolah yang ramah anak merupakan institusi yang mengenal dan menghargai hak
anak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan bermain dan bersenang,
melindungi dari kekerasan dan pelecehan, dapat mengungkapkan pandangan secara
bebas, dan berperan serta dalam mengambil keputusan sesuai dengan kapasitas mereka.
Munculnya pardigma pendidikan inklusi, selain memiliki kompetensi guru juga
diharuskan mempunyai predikat welcoming teacher. Welcoming teacher dimaknai
menjadi guru yang ramah. Cakupannya tidak hanya lemah lembut dan santun tetapi arti
luas yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik dalam 3 ranah yaitu kognitif,
afektif dan psikomotorik. Pendidikan seringkali mengabaikan kebutuhan afektif dan
lebih mengutamakan kebutuhan kognitif.
Sifat kompetensi (bersaing) memang ada pada diri manusia. Hal ini sudah menjadi
kodrati. Namun, jika sifat tersebut tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan
dampak yang tidak baik bagi diri seseorang maupun bagi orang lain. Sebagian orang
mengatakan bahwa persaingan berpotensi menimbulkan sesuatu yang menyakitkan.
Sekolah inklusi terdapat keragaman antar peserta didik dengan berbagai macam
latar belakang, kemampuan, abilitas, dan kapasitas. Dari tingkatan kemampuan dan
kapasitas yang luar biasa sampai peserta didik berkebutuhan khusus. Pelayanan
pendidikan yang diberikan secara bersamaan menyebabkan hubungan antara semua
peserta didik dapat berlangsung secara interaktif untuk saling memahami, mengerti,

18
menerima perbedaan dalam rangka meningkatkan empati, simpati, toleransi, dan
kerjasama di antara mereka.
Layanan individual dalam setting Pendidikan inklusif, dimaksudkan jika ada siswa
yang tidak bias mengikuti pembelajaran secara klasikal. Siswa yang tidak bias
mengikuti pembelajaran secara klasikal tersebut maka dilayani kebutuhan
pendidikannya dengan layanan individual (layanan Pendidikan yang berbeda dengan
anak-anak pada umumnya). Anak-anak yang termasuk kategori ABK.
Sesuai dengan filosofi pendidikan inklusif, bahwa pada dasarnya setiap manusia
yang satu dengan manusia yang lain pasti berbeda. Beberapa diantaranya ada yang
mirip. Mirip bukan berarti sama. Perbedaan merupakan sesuatu yang kodrati. Secara
garis besar perbedaan dibagi menjadi dua, yaitu perbedaan yang “wajar” dan perbedaan
yang “ekstrim”.
Lembaga Pendidikan bias berdiri sendiri tanpa ada peran dari pihak lain.
Kesempurnaan sebuah lembaga justru ada peran lembaga/pihak lain untuk melengkapi
keprofesionalan. Kerjasama dilakukan, terutama pada saat sebuah pekerjaan tidak bias
ditangani sendiri karena memerlukan ahli lain yang diperlukan. Kerjasama juga
dilakukan untuk memperkuat sebuah pekerjaan/penanganan.
Paradigma pendidikan inklusif sangat menyadari bahwa manusia merupakan
makhluk yang mempunyai keterbatasan. Seorang manusia tidak mungkin mempunyai
semua keahlian dan kemampuan yang diperlukan dalam menyelesaikan berbagai
masalah. Kebutuhan keahlian yang diperlukan dalam paradigma pendidikan inklusi
tidak mungkin oleh satu orang guru.
Teori tentang paradigma pendidikan inklusi sebenarnya terdapat profesi yang
disebut itinerant teacher dan special teacher. Itinerant teacher adalah guru yang sudah
dianggap profesional dalam menangani ABK. Iterant teacher lebih banyak bertugas
sebagai konsultan dan berkedudukan di kantor di pusat sumber. Sedangkan special
teacher adalah guru khusus yang mempunyai kualifikasi penangana ABK yang
ditugaskan dikantor sekolah regular/umum. Special teacher direkrut dari sarjana PLB
atau dari guru regular yang spesifik mendapatkan training tentang penanganan ABK.

19
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari banyak kekurangan dan masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan dari semua pihak untuk
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan dijadikan sebagai sarana yang dapat mendorong mahasiswa untuk bisa
berfikir aktif dan kreatif.

20
DAFTAR PUSTAKA

Dra. Wiji Hidayati, M.Ag & Sri Purnami, S.Psi, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta:
TERAS, 2008, H134135
Kurniawati, H., Satyaninrum, IR, & Astutik, FA (2021). Desain Pendidikan Inklusif di Masa
Pandemi Covid-19. Jurnal Dirosah Islamiyah , 3 (2), 246-261. (Online) Tersedia di:
http://journal.laaroiba.ac.id/index.php/jdi/article/view/394 (Diakses pada tanggal 19
Agustus 2021)
Mudjito,dkk. 2014. Pendidikan LayananKhusus Model-Model dan Implementasi. Jakarta:
Badouse Media
Novianti, R. (2021). Pembelajaran Berbasis Universal Design For Learning Di Kelas Sekolah
Dasar InklusifUniversal Design For Learning Based Learning In Inclusive Elementary
School Class. Media Nusantara, 18(2), 145-154. (Online) Tersedia di:
http://ojs.uninus.ac.id/index.php/MediaNusantara/article/view/1256 (Diakses pada
tanggal 19 Agustus 2021)
Qomarudin, A., & Safrudin, S. (2021). Pendidikan Inklusif di SD Fastabiqul Khairat Kota
Samarinda. NUSANTARA, 3(2), 121-138. (Online) Tersedia di:
https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/nusantara/article/view/1223 (Diakses pada
tanggal 19 Agustus 2021)
Sukirman, D. (2018). Profil kemandirian belajar mahasiswa bimbingan dan konseling. Jurnal
Penelitian Ilmu Pendidikan, 11(2), 98-116. (Online) Tersedia di:
https://journal.uny.ac.id/index.php/jpip/article/view/19748 (Diakses pada tanggal 19
Agustus 2021)
Sunardi, Yusuf, Gunarhadi, & J. L. Yeager, 2011.The Implementation of Inclusive Education
for Students with Special Needs inIndonesia, Excellence in Highereducation, Vol. 2,
No. 1,(http://ehe.pitt.edu, diakses 12 September 2019).
Syaiful Yusuf L.N, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja cet. Ke9, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2008, h. 181
Yuwono & Utomo. 2021. Pendidikan Inklusi. Yogyakarta: CV Budi Utama
Yuwono, Imam & Utomo. 2016. Pendidikan Inklusif : Paradigma Pendidikan Ramah Anak.
Banjarmasin : Pustaka Banua
Zainal Aqib, Sekolah Ramah Anak mencegah kekerasan dalam sekolah,Bandung: YRAMA
WIDYA, 2008, hal 31

21

You might also like