You are on page 1of 3

3/27/22, 2:50 PM Dunia dan Kehidupanmu Berubah Mengikuti Hatimu, Bukan Karena Kerja Kerasmu

Thanks for trying out Immersive Reader. Share your feedback with us.

Dunia dan Kehidupanmu Berubah Mengikuti Hatimu, Bukan Karena Kerja Kerasmu
Di kalangan peminat studi kesadaran (consciousness) dan spiritualtas, nama Prof. David R. Hawkins boleh jadi tidak asing lagi.

"We change the world not by what we say or do, but as a consequence of what we have become" 

"Kita mengubah dunia tidak dengan apa yang kita ucapkan atau lakukan, (perubahan) merupakan konsekuensi dari kemenjadian kita"  ~David  R. Hawkins

TRIBUN-BALI.COM -Kutipan tersebut di atas berasal dari David R. Hawkins. Saya tidak tahu persis dari buku dia yang mana, karena Hawkins menulis banyak buku. Tetapi, kutipan itu
cukup populer di kalangan para peminat studi atau kajian kesadaran.

Membahas tentang arti kutipan itu, saya mencoba menjelaskannya dengan format tulisan seakan-akan saya sedang diwawancarai. Saya tambahkan pula penjelasan-penjelasan yang relevan,
termasuk dari sumber-sumber di luar Hawkins.

Namun, secara keseluruhan poin-poin jawaban dalam "wawancara" di bawah ini tentu bukanlah jawaban Hawkins. Itu adalah interpretasi saya sendiri mengenai pandangan Hawkins, baik
berdasarkan bacaan saya atas buku-bukunya maupun buku-buku yang lain, serta dari refleksi atas pengalaman pribadi.

Di bawah ini "wawancara" yang dimaksud:  

Tanya: Bisa Anda jelaskan maksud kutipan dari David R. Hawkins, yang sepertinya cukup banyak ditemukan di internet jika orang membaca artikel-artikel atau topik-topik tentang
kesadaran?

Jawab: Pertama, perlu diungkapkan dulu sekilas tentang siapa David R. Hawkins dan karyanya.

Di kalangan peminat studi kesadaran (consciousness) dan spiritualitas, nama Prof. David R. Hawkins boleh jadi tidak asing lagi.

Hawkins memiliki latar belakang yang unik. Ia berangkat sebagai seorang psikiater, seorang dokter medis di bidang kejiwaan. Namun, Hawkins kemudian masuk lebih jauh ke dalam urusan
kejiwaan dengan menginvestigasi isu-isu mengenai spiritualitas, sehingga dia dikenal luas pula sebagai periset kesadaran, pengajar tentang spiritualitas bahkan akhirnya seorang mistikus.

Disebut-sebut bahwa buku fenomenal Hawkins ialah yang berjudul “Power vs Force: The Hidden Determinants of Human Behaviour”, yang diterbitkan pertama kali pada 1995.

Buku itu telah diterjemahkan ke dalam lebih 26 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, meskipun buku terjemahan “Power vs Force” dalam Bahasa Indonesia kurang bagus.

David R. Hawkins berupaya memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan esensial yang mengemuka selama ini, seperti “apa itu Kebenaran?” serta “adakah patokan atau tolok ukur
yang sama untuk Kebenaran?” 

Bekerjasama dengan para pakar dunia dari lintas keilmuan (salah-satunya dengan penerima Nobel, ahli kimia Linus Pauling), Hawkins telah membuat terobosan dalam kajian tentang
kesadaran dan spiritualitas, karena ia melakukannya secara ilmiah dan bisa diukur (kuantitatif).

Sebelumnya, pembahasan tentang kesadaran dan spiritualitas lebih banyak abstrak, tak terukur atau kualitatif, dan didominasi oleh cara pandang versi agama-agama, sehingga tampak
tersekat-sekat. Sumbangan terpenting Hawkins, menurut saya, adalah berupa wawasan dan metode baru dalam mengantarkan orang untuk memahami kesadaran (consciousness) secara
melintas-batas, universal, melampaui sekat-sekat.

Karena hasil kajiannya yang terukur dan akademik-saintifik tentang kesadaran seperti yang ditunjukkan dalam Peta Kesadaran (Map of Consciousness/MoC) dan Level Kesadaran (Level of
Consciousness/LoC), maka diklaim bahwa wawasan dan metode menuju kesadaran yang ditawarkan Hawkins ini bebas dogma atau non-dogmatis. 

Tentang MoC dan LoC, yang dihasilkan setelah Hawkins melakukan penelitian sekitar 29 tahun, dijelaskan dalam buku “Power vs Force”.

Tanya: Oke, saya kini jadi agak tahu tentang siapa David R. Hawkins. Kembali ke kutipan di awal tulisan di atas. Apa sih yang dimaksud dengan kemenjadian itu?

Jawab: Dalam buku-bukunya, Hawkins menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kemenjadian pada dasarnya adalah tingkat kesadaran (level of consciousness).

Meskipun mungkin ini menyederhanakan konsep consciousness, namun untuk lebih mudahnya, khususnya bagi publik Indonesia, saya sebut saja bahwa kemenjadian ialah kualitas hati.

Nah, menafsirkan kutipan tersebut, maka bisa dikatakan bahwa ucapan dan perbuatan semata dari seseorang tidak akan mengubah dunianya atau kehidupannya. Perubahan kehidupannya
terjadi hanya jika menyertakan atau sebagai akibat dari berubahnya kualitas hati orang itu.

Mungkin ini terdengar masih sulit dicerna oleh orang kebanyakan. Apalagi ada ungkapan populer “berilah contoh dengan tindakan” dan juga “action speaks louder than words”, yang
menyiratkan bahwa peran tindakan lebih sentral untuk membuat suatu perubahan.

Tanya: Mengapa Anda sebut “mungkin sulit dicerna”?

Jawab: Ada yang luput dari ungkapan-ungkapan tersebut. Pertanyaan yang lebih penting: tindakan bagaimana yang memberi efek mengubah, atau seperti apa kualitas tindakan yang
membawa perubahan?

So, bukan semata dan sekadar tindakan/perbuatan, tetapi muatan dan bobot kesadaran dalam tindakan/perbuatan, itulah kuncinya. 

Dengan kalimat lain, kualitas tindakan tidak ditentukan oleh apa yang terlihat di luar saja (tangible), tetapi lebih banyak oleh apa yang ada di dalam, oleh motifnya, oleh muatan kesadarannya.
Dan motif itu intangible alias tidak terlihat.

Urusan yang tak terlihat atau urusan batin inilah yang terlewatkan dalam beberapa buku yang menyajikan tips and tricks tentang perubahan. Mereka baru bicara tentang lapisan luar, belum
menyentuh yang dalam dan paling dalam.

Nah, dalam konteks perubahan, buku-buku Hawkins, dan ada juga beberapa buku lainnya, lebih banyak mendiskusikan lapisan dalam ketimbang lapisan luar.   

Jadi, pernyataan Hawkins di atas bisa dibunyikan dengan kalimat lain, seperti berikut: semata-mata ucapan dan tindakan seseorang tidak akan mengubah kualitas dunianya (kehidupannya).

read://https_bali.tribunnews.com/?url=https%3A%2F%2Fbali.tribunnews.com%2F2021%2F04%2F29%2Fdunia-dan-kehidupanmu-berubah-meng… 1/3
3/27/22, 2:50 PM Dunia dan Kehidupanmu Berubah Mengikuti Hatimu, Bukan Karena Kerja Kerasmu

Lisan dan tindakan yang tidak berangkat dari kualitas hati yang baik, tidak membawa efek transformatif. Bisa memang ucapan dan tindakan membawa perubahan. Namun, hasil yang
diakibatkannya tidak akan banyak membawa peningkatan kualitatif bagi kehidupan jika perbuatan dan ucapan yang dianggapnya mengubah itu tidak berangkat dari kualitas kesadaran, atau

tidak disertai kualitas hati.

Tanya: Jawaban Anda terdengar logis, tetapi bagi saya tidak realistis. Sulit untuk mengetahui kualitas hati seseorang itu baik atau tidak, sehingga yang lebih mungkin adalah mengetahuinya
dari ucapan dan perbuatannya kan? Anda mau membantahnya?

Jawab: Memang tidak mudah mengukur kualitas hati, kecuali Anda memiliki kesaktian yang bisa membaca pikiran dan hati seseorang.

Namun, apa yang ditulis Hawkins dalam bukunya “Power vs Force” dan buku-buku dia yang lain yang terkait, bisa membantu untuk menginterogasi dan menginvestigasi kualitas hati itu,
sehingga seseorang bisa konklusif tentang (berada dimana) level kesadarannya.

Hawkins membuat Peta Kesadaran (Map of Consciusness/MoC) dan Level Kesadaran (Level of Consciousness/LoC) beserta uraiannya.

Maaf, saya sebut saja itu dengan Peta Kualitas Hati dan Level Kualitas Hati untuk lebih mendekatkan kepada pemahaman populer orang Indonesia.

Peta yang menjelaskan kesadaran dalam berbagai tingkatan itu secara garis besar membagi kesadaran ke dalam Kesadaran Rendah (disebut Force) dan Kesadaran Tinggi (disebut Power).

Pada intinya, kualitas kesadaran erat terkait dan ditentukan oleh seberapa kuat kepentingan ego dalam membelenggu kehidupan seseorang.

Semakin kecil keterlibatan/kepentingan ego, maka semakin tinggi kualitas hati. Level kualitas hati seseorang terlihat pada derajat  ketulusannya.

Jadi, iya memang Anda tidak sepenuhnya salah bahwa mengetahui kualitas hati tidaklah mudah, apalagi mengetahui kualitas hati diri sendiri. Membutuhkan ilmu, bahkan pada tingkat
tertentu, membutuhkan guru atau pembimbing.

Tetapi, ada indikator fisiologis (fisik) yang bisa dipakai untuk mendeteksi kualitas hati, meskipun indikator tidak bisa membuat gambarannya secara menyeluruh. Paling tidak, indikator itu
bisa mendeteksinya secara temporer pada momen kejadian.  

Tanya: Berarti Anda mau mengatakan bahwa harus ada satu-kesatuan antara alam batin dan alam lahir? Harus ada keselarasan antara niat dalam hati, ucapan dan tindakan, begitukah?

Jawab: Persis. Perselisihan atau ketidaksinkronan antara ketiga unsur itu memunculkan ketidakseimbangan. Disequilibrium. Terjadi ketidakselarasan antara hati, ucapan dan tindakan.

Bahasa umumnya adalah munafik. Sebutan lainnya: tidak berintegritas.

Ada yang mengatakan, satunya hati dan ucapan, itulah jujur/kejujuran. Sedangkan satunya ucapan dan perbuatan disebut komitmen. Dan keselarasan hati dengan ucapan dan perbuatan, itulah
integritas.

Hawkins menyebut ketidaksinkronan antara hati, ucapan dan perbuatan itu sebagai non-true atau kepalsuan.

Disequilibrium merupakan masalah. Sebab, sekali lagi, alam semesta, termasuk di dalamnya makhluk hidup (pun manusia), didesain oleh Sang Maha Pencipta antara lain dalam keseimbangan
(equilibrium).

Ketidakseimbangan atau disequilibrium inilah sumber kegelisahan, yang  rentetannya adalah disebut penderitaan.

Tatkala seseorang mulai gelisah, itu bisa diartikan bahwa ada yang kurang atau tidak sesuai antara tiga unsur tersebut.

Ucapan dan tindakan semestinya merupakan pantulan dari “suara” hati yang terdalam. Kalimat kuncinya: apakah suara batin sesuai dengan yang terucap oleh lisan dan terwujud dalam
tindakan?

Oleh karena itu, niat atau gerak hati menempati posisi yang penting dalam suatu perbuatan.

Bisa saja, dari luar perbuatan seseorang tampak baik; tetapi belum tentu yang di dalam (niatnya) juga sama baik.

Sebaliknya, dari luar bisa tampak sebagai perbuatan biasa-biasa saja, namun perbuatan itu justru memiliki kedudukan mulia atau bernilai tinggi jika dilandasi dengan niat yang tulus dan
bersih. Tanpa tercemar kepentingan ego.

Oleh karena itu, seseorang bisa saja menganggap dirinya melakukan banyak perbuatan baik (karena secara kasat mata memang terlihat demikian), namun perbuatannya itu boleh jadi justru
bernilai rendah bahkan tak memiliki nilai transformatif apa-apa, apabila sekian banyak perbuatan baiknya itu tidak disertai keikhlasan atau ketulusan.

Kebaikannya itu berpamrih atau bersyarat. Ada udang di balik batu.

Perbuatan semacam itu justru hanya akan menorehkan noda-noda  hitam pada hati.

Tanya: Jadi, perubahan itu sifatnya inside out (dari dalam diri ke luar), bukan from outside in (dari luar ke dalam diri)?

Jawab: Persis. Karena di “dalam” berubah, maka yang “di luar” merupakan konsekuensinya. Perubahan yang sejati berasal dari dalam. Oleh sebab itu, dalam transformasi diri, jangan
berharap pada perubahan eksternal atau pihak luar yang memulainya dulu.  

Perubahan yang transformatif itu dimulai dari inti, di ruang batin. Perubahan pada inti inilah yang kemudian mengimbas atau mempengaruhi lapisan-lapisan berikutnya hingga bagian luar dan
fisikal (physical).

Itu pada dasarnya seperti yang juga dijelaskan oleh buku “The Biology of Belief” dari Bruce H. Lipton.

Disebutkan bahwa gen dan DNA tidak mengontrol biologi (fisik) kita. Sebaliknya, DNA dikendalikan oleh sinyal dari luar sel, termasuk pesan-pesan energetik yang berasal dari kesadaran
kita.

Jadi, bermula dari adanya kesadaran atau menyadari, kemudian terbentuk keyakinan. Keyakinan atau belief yang merupakan aspek dalam atau batin akan mempengaruhi kimiawi dan biologi
fisik.

Oleh sebab itu, perubahan itu harus tersadari dan malah sebaiknya kemudian terprogram. Tidak mungkin refleks, spontan atau otomatis. 

Spontanitas itu berada di alam bawah sadar. Sedangkan perubahan itu terjadi melalui atau dari alam sadar.

Ada istilah yang pas, yang dikenal umum sebagai insyaf dan keinsyafan. Nah, sebelum berubah, seseorang harus insyaf atau menginsyafi. Menginsyafi dulu keadaannya, mengapa menjadi
seperti kini.

Ada juga istilah tobat, meskipun tobat berbeda dengan insyaf. Insyaf itu mendahului tobat.

Dalam konteks perubahan yang transformatif, insyaf atau keinsyafan merupakan kesadaran baru dalam bentuk benih. Bibit menuju level kesadaran atau kualitas hati yang lebih tinggi.

Dari situ kemudian dikatakan mengapa kesadaran atau kualitas hati lebih membawa dampak pada kehidupan dan dunia seseorang.

Tanya: Anda sebelumnya bilang ada indikator dari kualitas hati. Bisa dijelaskan lebih lanjut?

Jawab: Meskipun kualitas hati intangible dan sulit diukur kondisi keseluruhannya secara persis, namun kualitas hati bisa dideteksi melalui rasa/perasaan. Setidaknya kondisi temporernya
pada momen kejadian.

Bahkan ada teknologi yang bisa membaca atau mendeteksi kualitas momentary   hati kendati tidak sepenuhnya akurat. Yakni lie detector atau detektor kebohongan, yang dipakai dalam proses
interogasi oleh aparat penegak hukum.

Yang diukur oleh detektor kebohongan adalah indikator-indikator fisiologis seperti degup jantung dan tensi darah, pernapasan, serta daya konduksi kulit (tingkat kemampuannya dalam
menghantarkan listrik).

Kita ambil satu bagian saja, yakni kaitan antara perasaan dan detak jantung. Jantung adalah organ yang sangat sensitif terhadap dinamika perasaan; dan dinamika perasaan tergantung pada
dinamika pikiran sadar (PS) dan pikiran bawah sadar (PBS).

read://https_bali.tribunnews.com/?url=https%3A%2F%2Fbali.tribunnews.com%2F2021%2F04%2F29%2Fdunia-dan-kehidupanmu-berubah-meng… 2/3
3/27/22, 2:50 PM Dunia dan Kehidupanmu Berubah Mengikuti Hatimu, Bukan Karena Kerja Kerasmu

Perasaan muncul dari PBS. Sedangkan logika berada di pikiran sadar. Jika pilihan PS bertolak belakang dengan apa yang ada di PBS, maka apa yang ada di PBS yang menang. Demikian
menurut hasil riset dalam mind technology.

Alhasil, kalau seseorang berbohong, yang berarti antara yang dia rasionalisasikan  tidak sesuai dengan apa yang ada di perasaannya, maka yang di perasaan itulah yang nanti menang atau
bakal mewujud dalam kenyataan.

Kekuatan perasaan 99 kali lebih powerful daripada kekuatan logika-pikiran, begitu menurut hasil riset. 

Itu berarti hati jauh lebih menentukan daripada pikiran. Oleh karena itu pula, hati lebih menentukan hitam-putihnya dunia dan kehidupan seseorang.(*) 

read://https_bali.tribunnews.com/?url=https%3A%2F%2Fbali.tribunnews.com%2F2021%2F04%2F29%2Fdunia-dan-kehidupanmu-berubah-meng… 3/3

You might also like