Professional Documents
Culture Documents
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu:
Oleh
Ladiyana Prihantini
Marissa Ulfah
Babur Rahman
2
I. Asuransi
I.1. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk hidup (makhluk sosial) dalam perjalanan hidupnya mulai
dari lahir sampai dengan meninggal dunia memiliki perjalanan dan kehidupan yang berbeda-
beda. Mulai dari lingkungan yang sukai, kekayaan yang di miliki, keahlian dalam
menghadapai setiap tahap kehidupan sampai dengan kemampuan untuk bertahan hidup.
Dalam perjalanan ini manusia memiliki tantangan yang berbeda-beda sesuai dengan jalan
hidup yang dikehendaki. Semakin besar tujuan atau Impian yang dinginkan maka akan
semakin tinggi tantangan yang di hadapi, maka resiko pun akan bertumbuh seiring dengan
tingkatan tantangan tersebut.
Seiring dengan perkembangan jaman mulai dari jaman Nabi sudah muncul kesadaran
dalam mencari upaya untuk menghadapi ataupun meminimalisir resiko yang di hadapi.
Bahkan di riwaratnya pada jaman Nabi Yusuf yang dituangkan pada Al Qur’an Surat Yusuf
(43-49) bahwa dikisahkan mimpi raja mesir yang ditafsirkan oleh Nabi Yusuf A.S: “Hai
orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang
gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir
(gandum) yanag hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang
itu, agar mereka mengetahuinya”. ‘Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun
(lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya
kecuali sedikit untuk kamu makan. “Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat
sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit). Kecuali
sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.”
Kisah ini menyimpulkan bahwa manusia tidak boleh berlebih-lebihan dan harus
mengingat bahwa keadaan tidak selalu seperti yang diharapkan. Ada saatnya kondisi stabil
dan baik-baik saja, namun bisa juga akan berubah menjadi sangat tidak baik. Manusiah harus
siap dengan hal-hal yang deminkian.
Dalam menghadapi resiko-resiko yang tidak bisa di ketahui kapan akan terjadi dan
berapa besar kerugian yang akan di alami. Maka usaha untuk memiliki perlindungan atas
pertanggungan dari asuransi dengan cara atau saling menanggung diatara sesama peserta
adalah konsep dari asuransi syariah.
3
Asuransi dalam Bahasa Arab terdapat bagian-bagian atau pihak-pihak yang saling
terikat atau berhubungan dan menjadii dasar pada usaha syariah. Para pihak tersebut adalah
pihak pertama di disebut at-ta’min, pihak ke dua atau penanggung di sebut muámmin dan
pihak terakhir adalah tertanggung di sebut muámman lahu atau musta’min. At’-ta’min
(( نیل تأمdiambil dari kata (( أمنmemiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman,
dan bebas dari rasa takut, sebagaimana firman Allah, “Dialah Allah yang mengamankan
mereka dari ketakutan.”(Quraisy:4)
Dari kata tersebut muncul kata-kata yang berdekatan seperti berikut:
( ) ِ لُلَ لمْ منم ُ م ممَمَأل : Aman dari rasa takut
( ) اَمََم لُلَ ُّدِ ُ م مماَمَأل : Amanah lawan dari khianat
( ) لُل ألْ لُْ ُّدِ مُانأل لُْلل : Iman lawan dari kufur
ُل م ممَمَم ُ لء م/ ) ُل م لمنم
( َا ألع : Memberi rasa aman
Jika di lihat dari arti terkhir di atas maka difinisi yang paling tepat adalah “Men-ta’
min-kan sesuatu, artinya adalah seseorang menyerahkan sejumlah uang untuk agar ia atau ahli
warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk
mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang, dikatakan “seseorang
memepertanggungkan atau mengasuransikan hidupnya, rumahnya atau mobilnya.”
4
d. Firman Allah tentang perintah untuk berinvestasi di masa depan, antara lain: “…Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan
yang lemah di belakan mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya)”(QS. An
Nisa [4]: 9)
2. Hadis Nabi Muhammad
Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang beberapa prinsip bermu’amalah,
antara lain: “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah
akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-
Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
“Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan
tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan turut menderita”
(HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir)
3. Hukum positif di Indonesia
a. Undang Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian
b. Fatwa DSN no 21 tahun 2001
c. PMK No 18/PMK.010/2010
5
Perjanjian/Akad Akad Tabarru’ (hibah) dan Akad Perjanjian jual beli (akad
Tijarrah (Mudharabah, Wakallah bil muáwadhah)
Ujroh, Mudharobah Musytarokah)
Sumber/Landasan Bersumber atau berlandaskan pada Bersumber dari pemikiran
Firman Allas SWT, AL-Hadist dan Ijma manusia dan kebudayaan.
Ulama Berdasarkan hukum positif,
hukum alami dan berbagai
peristiwa atau contoh
sebelumnya
Kepemilikan Kontribusi atau dana dari peserta Dana premi seluruhnya
Dana Sebagian akan menjadi milik peserta dan menjadi milik Perusahaan
Sebagian lagi untuk Perusahaan sebagai sehingga perusahan berhak
pemegang Amanah dalam pengelolaan dan bebas dalam
kontribusi tersebut pengelolaan, investasi
maupun penggunaanya
Sumber Bersumber dari dana Tabarru’ dimana Bersumber dari rekening
Pembayaran dana ini adalah dana hibah para peserta Perusahaan sebagai
Klaim yang digunakan untuk menjamin, konsekuensi penanggung
melindungi dan membantu sesame terhadap tertanggung
peserta
Investasi Investasi harus sesuai dengan ketentuan Bebas melakukan investasi
perundang-undangan sepanjang tidak dalam batas-batas ketentuan
bertentangan dengan prinsip-prinsip perundangan dan tidak
syariah Islam. Investasi harus bebas dari terbatas pada hala dan
riba, maisir dan berbagai tempat haramnya investasi yang di
investarsi yang terlarang pilih atau di gunakan
Keuntungan Surplus yang terbentuk dari dana tabarru Menjadi milik sepenuhnya
dapat di bagikan kepada selain dana Perusahaan
tabarru juga kepada Perusahaan dan
peserta.
Pengawasan Selain di pengawasan dari OJK juga Pengawasan OJK
terdapat Depan Pengawas Syariah yang
6
bertugan untuk menjamin jalannya bisnis
sesuai dengan syariah Islam
I.2. Pembahasan
1.2.A. Pendapat Ulama tentang Asuransi
Konsep asuransi maupun asuransi syariah merupakan akad yang baru dan belum
pernah ada pada masa-masa pertama perkembangan fiqih Islam, dimana menimbulkan
diskusi, perbincangan, bahkan perdebatan diantara para ulama. Dari hal-hal tersebut maka
pada akhirnya muncul dua pendapat ulama yaitu, pendapat pertama ulama yang
mengharamkan asuransi itu haram dalam segala bentuknya, termasuk asuransi jiwa dan
kerugian, dan pendapat kedua membolehkan.
7
e) Asuransi dengan arti ini merupakan salah satualat untuk berbuat dosa. Banyak alasan uang
dicari-cari guna mengorek keuntungan dengan mengharapkan datangnya peristiwa yang tiba-
tiba.
d. Dr.Husain Hamid Hisan, ulama dan cendikiawan Muslim dari Universitas Al-Malik Abdul
Aziz Mekah Al-Mukarramah.
Ia menulis buku yang sangat frundamental dengan hujjah yang kuat tentang gharar,
maisir, dan riba asuransi. Hukum Asy-Syari’ah Al-Islamiyah fii ‘Uquudi AT-Ta’miin
(Asuransi Dalam Hukum Islam). Secara garis besar Hamid Hisan berkesimpulan sebagai
berikut :
1) Akad asuransi adalah Mu’awadhah maliyah yang mengandung gharar. Pengharaman
terhadap perjanjian-perjanjian asuransi yang dilangsungkan oleh perusahaan asuransi dengan
tertanggung 46 adalah karena adanya akad-akad mu’awadhah maliyah yang mana ‘ perjanjian
saling memberikan pengganti berupa harta/uang’ yang mengandung gharar yang amat
besar.35
2) Akad asuransi mengandung judi dan taruhan.
3) Akad asuransi mengandung riba
2. Pendapat Ulama yang memperbolehkan
a. Syaikh Abdur Rahman Isa, salah seorang guru besar Universitas Al- Azhar.
Dengan tegas mengatakan ia menyatakan bahwa asuransi merupakan praktek
muamalah gaya baru yang belum dijumpai imamimam terdahulu, demikian juga pera sahabat
Nabi. Pekerja ini juga menghasilkan kemaslahatan ekonomi yang banyak. Menurutnya,
perjanjian asuransi adalah sama dengan perjanjian al-ji’alah ‘memberikan janji upah’. Ia
berkata bahwa asuransi mewajibkan dirinya untuk membayar sejumlah uang ganti kerugian,
apabila pihak lain mengerjakan sesuatu untuknya, dengan membayar uang premi dengan
peraturan tertentu. Maka apabila seseorang telah mengerjakan perbuatan ini, berhaklah ia atas
sejumlah uang penggantikerugian yang diperjanjikan maskapai itu.
Selanjutnya Syaikh Abdur Rohman Isa mengatakan bahwa sesungguhnya perusahaan
asuransi dengan pesertanya saling mengikat dalam perbuatan ini atas dasar saling meridhai.
Itu merupakan perbuatan saling melayani kepentingan umum, memelihara hak milik orang-
orang, dan menolak risiko harta benda yang terancam bahaya. Sebaliknya perusahaan asuransi
memperoleh laba yang memadai, yang disepakati oleh kedua belah pihak. Kedua belah pihak
sepakat atas perbuatan yang mengandung maslahat yang berhubungan dengan apa yang
diciptakan oleh Allah swt bagi kepentingan kita dan bagi manusia perbuatan ini diperlukan.
Sementara tidak diperoleh nash yang melarangnya, baik dari kita, sunnah maupun ijma’.
8
Demikian Syaikh Abdur Rohman Mengambil konklusi tentang bolehnya asuransi
demi kemudahan manusia dengan menolak kesempatan dan kesulitan.
b. Prof .Dr.Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Kairo)
Yusuf Musa mengatakan bahwa asuransi bagaimana bentuknya merupakan koperasi
yang menguntungkan masyarakat. Asuransi Jiwa menguntungkan perusahaan yang mengelola
asuransi. Ia mengemukakan pandangan bahwa sepanjang dilakukan bersih dari riba, maka
asuransi hukumnya boleh. Dengan pengertian, apabila nasabahnya masih hidup menurut
jangka waktu yang ditentukan dalam polis, maka dia meminta pembayaran kembali, hanya
sebesar premi yang pernah dibayarkan tanpa ada tambahan, tetapi manakala nasabah
meninggal sebelum batas akhir penyetoran premi, maka ahli warisnya berhak menerima nilai
asuransi, sesuai yang dicantumkan dalam polis, dan ini halal menurut hukum syara’.
c. Syaikh Abdul Wahab Khalaf (Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo)
Ia mengatakan bahwa asuransi termasuk akad mudharabah. Akad Mudharabah
maksud asuransi merupakan akas kerja sama bagi hasil antara pemegang polis dengan pihak
perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil. Asuransi dianalogikan atau
diqiaskan dengan sistem pensiun.
d. Prof . Dr. Muhammad al-Bahi (Wakil Rektor Universitas al-Azhar Mesir).
Ia berpendapat bahwa asuransi hukumnya halal karena beberapa sebab :
1. Asuransi merupakan suatu usaha yang bersifat tolong-menolong
2. Asuransi mirip dengan akad mudharabah dan untuk mengembangkan harta benda
3. Asuransi tidak mengandung unsur riba
4. Asuransi tidak mengandung tipu daya
5. Asuransi tidak mengurangi tawakkal kepada Allah swt
6. Asuransi suatu usaha untuk menjamin anggotanya yang jatuh melarat karena suatu musibah
7. Asuransi memperluas usaha baru
9
Adalah akad yang dilakukan untuk tujuan komersial. Bentuk akadnya menggunakan
mudhorobah. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang
tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak
yang belum menunaikan kewajibannya.
Akad tijarah ini adalah untuk mengelola uang kontribusi yang telah diberikan kepada
perusahaan asuransi syariah yang berkedudukan sebagai pengelola (Mudorib), sedangkan
nasabahnya berkedudukan sebagai pemilik uang (shohibul mal). Ketika masa perjanjian habis,
maka uang kontribusi yang diakadkan dengan akad tijaroh akan dikembalikan beserta bagi
hasilnya (Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari'ah).
2. Akad tabarru’
Adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-
menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Kemudian akad dalam akad tabarru adalah
akad hibah dan akad tabarru’ tidak bisa berubah menjadi akad tijaroh.
Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk
menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai
pengelola dana hibah (Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syari'ah).
Akad Tabarru' adalah Akad hibah dalam bentuk pemberian dana dari satu Peserta
kepada Dana Tabarru' untuk tujuan tolong menolong di antara para Peserta, yang tidak
bersifat clan bukan untuk tujuan komersial (Peraturan Menteri Keuangan Nomor
18/PMK.010/2010 Tentaang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi Dan
Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah).
Berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad
Tabarru’ Pada Asuransi Syari’ah menyatakan, bahwa kedudukan para Pihak dalam akad
tabarru’ adalah ;
a. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk
menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah
b. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’
(mu’amman/mutabarra’ lahu, dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri’)
c. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad wakalah dari
para peserta selain pengelolaan investasi.
10
b. Hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu:
c. Hak dan kewajiban peserta secara kolektif dalam kelompok
d. Cara dan waktu pembayaran kontribusi dan santunan/ klaim
e. Ketentuan mengenai boleh atau tidaknya kontribusi ditarik kcmbali oleh peserta dalam hal
terjadi pembatalan oleh peserta
f. Ketentuan mengenai alternatif dan persentase pembagian Surplus Underwriting;
g. Ketentuan lain yang disepakati (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010
Tentaang Penerapan Prinsip Dasar
Dari ke 2 akad tersebut ada akad yang mengikuti dalam pelaksanannya, yaitu:
1. Akad Wakalah bil Ujrah
Akad Wakalah bil Ujrah adalah Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada
Perusahaan sebagai wakil Peserta untuk mengelola Dana Tabarru' dan/ atau Dana Investasi
Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan dengan imbalan berupa ujrah (fee)
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 Tentang Penerapan Prinsip Dasar
Penyelenggaraan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah).
Akad Wakalah bil Ujrah diperbolehkan dalam praktek asuransi syariah yang dilakukan
antara perusahaan asuransi syariah dan peserta dimana posisi perusahaan asuransi syariah
sebagai pengelola dan mendapatkan fee karena telah mendapatkan kuasa dari peserta.
Menurut fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 52/DSNMUI/III/2006 Tentang Akad Wakalah
Bil Ujrah Pada Asuransi Syari’ah dan Reasuransi Syari’ah, objek Wakalah bil Ujrah meliputi
antara lain:
a. kegiatan administrasi
b. pengelolaan dana
c. pembayaran klaim
d. underwriting
e. pengelolaan portofolio risiko
f. pemasaran
g. investasi
11
c. hak dan kewajiban perusahaan sebagai toakil (penerima kuasa) termasuk kewajiban
perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan
risiko dan/atau kegiatan pengelolaan nvestasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang
disengaja, kelalaian, atau wanprestasi yang dilakukan perusahaan
d. batasan kuasa atau wewenang yang diberikan peserta kepada perusahaan
e. besaran, cam, dan waktu pemotongan ujrah (fee) f. ketentuan lain yang disepakati
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 Tentaang Penerapan Prinsip Dasar
Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan prinsip syariah)
Kedudukan dan ketentuan para pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah
a. Perusahaan bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk mengelola dana
b. Peserta (pemegang polis) sebagai individu, dalam produk saving dan tabarru’, bertindak
sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana
c. Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali atas
izin muwakkil (pemberi kuasa)
d. Akad Wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan tanggungan (yad dhaman)
sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi fee
yang telah diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.
e. Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi,
karena akad yang digunakan adalah akad Wakalah (Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
52/DSNMUI/III/2006Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Syari’ah Dan
Reasuransi Syari’ah).
2. Akad Mudharabah
Akad Mudharabah adalah Akad tijarah yang memberikan kuasa kepada perusahaan
sebagai mudharib untuk mengelola investasi dana tabarru' clan/atau dana investasi peserta,
sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang
besarnya telah disepakati sebelumnya.
Akad Mudharabah wajib memuat sekurang-kurangnya :
a. hak dan kewajiban peserta secara kolektif dan/atau peserta secara individu sebagai shnhibul
mal (pemilik dana)
b. hak dan kewajiban perusahaan sebagai mudharib (pengelola dana) termasuk kewajiban
perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan
12
investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian a tau wanprestasi yang
dilakukan perusahaan
c. batasan wewenang yang diberikan peserta kepada perusahaan
d. bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian hasil investasi
e. ketentuan lain yang disepakati (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010
Tentaang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi
dengan Prinsip Syariah).
13
b. Peserta (pemegang polis) dalam produk saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor).
c. Para peserta (pemegang polis) secara kolektif dalam produk non saving, bertidan bisa
digunakan untuk produk tabungan maupun non tabungan.ndak sebagai shahibul mal
(investor) (Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 51/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad
Mudharabah Musytarakah Pada Asuransi Syariah).
1.3. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akad-akad yang melekat pada
asuransi syariah adalah akad tijarah dan akad tabarru’, sedangkan akad yang mengikuti akad
tijarah maupun akad tabarru’ adalah akad Mudharabah Musytarakah, akad Mudharabah dan
akad Wakalah bil Ujrah.
Serta Asuransi itu sendiri karena menggunakan konsep berbagi resiko bukan
memindahkan resiko serta bukan merupakan akad jual beli maka Sebagian bersar Ulama
menyampaikan bahwa Asuransi adalah di perbolehkan atau Halal
II. IJARAH
II.1. Pendahuluan
Masyarakat sebagai makhluk individu memiliki kebutuhan- kebutuhan yang harus
dipenuhi baik dalam bentuk kebutuhan primer, sekunder maupun tersier dalam kehidupan
sehari-hari. Terkadang masyarakat memiliki keterbatasan dana dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Hal ini yang kemudian mendorong perkembangan perekonomian masyarakat
dengan munculnya jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan
lembaga keuangan non bank.
Salah satu aspek yang diatur dalam syariah Islam yakni lembaga perbankan, yang
merupakan bagian muamalah yang mengatur hubungan sesama manusia. Pengaturan lembaga
perbankan dalam syariah Islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan
bahwa mā lā yatimm al-wajib illa bihi fa huwa wajib yakni sesuatu yang harus ada untuk
menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (berkegiatan
ekonomi) adalah wajib diadakan. Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian
tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun
menjadi wajib untuk diadakan.
Dalam transaksi sewa-menyewa pada perbankan konvensional tidak ada peralihan hak
milik, artinya jika masa sewa berakhir maka barang obyek sewa dikembalikan pada pemilik
sewa sehingga pada umumnya tidak membutuhkan jasa suatu lembaga pembiayaan. Akan
14
tetapi lain halnya dalam praktek perbankan Syariah karena dikenal pembiayaan berdasarkan
akad sewa-menyewa yang disebut ijarah. Oleh karenanya timbul pertanyaan kenapa pada
transaksi sewa-menyewa yang pada umumnya tidak disertai pemindahan hak milik sehingga
tidak diperlukan pembiayaan, sedangkan dalam praktek perbankan syariah disertai dengan
pemindahan kepemilikan? Hal inilah yang menarik untuk dikaji dan selanjutnya akan
diuraikan dalam pembahasan berikut.
15
Dari beberapa pengertian di atas dapat dikatakan bahwa al-ijarah adalah pemindahan
hak guna atau manfaat terhadap suatu barang atau jasa dari seseorang kepada orang lain
dalam kurun waktu tertentu sesuai kesepakatan.
II.2. Pembahasan
II.2.A. Rukun al-Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan
menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Akan tetapi, jumhur ulama
mengatakan bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu: (a) orang yang berakad, (b)
sewa/imbalan, (c) manfaat, dan (d) shighat (ijab dan qabul). Ulama Hanafiyah menyatakan
bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk syarat- syarat al-ijarah,
bukan rukunnya.
16
Hal itu menunjukkan bahwa jika salah satu dari beberapa rukun sewa-menyewa (al-
ijarah) tersebut tidak terpenuhi, maka akad sewa-menyewanya dikategorikan tidak sah. Sebab
ketentuan dalam rukun sewa-menyewa di atas bersifat kumulatif (gabungan) dan bukan
alternatif.
17
dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan obyek sewa
menyewa.
b. Al-Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk
melakukan suatu pekerjaan. Al-Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqh hukumnya boleh,
apabila jenis pekerjaan itu jelas.
II.2.D. Berakhirnya Akad al-Ijarah
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir jika:
a. Obyek hilang atau musnah
b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang
disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang
disewa itu adalah jasa maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh
semua ulama fiqh.
c. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad al- ijarah
menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah
tidak batal dengan wafatnya seseorang yang berakad, karena manfaat menurut meraka, boleh
diwariskan.
d. Apabila ada uzur pada salah satu pihak.
18
Kedua, mengenai sewa usaha produktif sangat diperlukan dalam proses menciptakan
nilai, karena upaya ekonomik dilakukan pemilik modal dengan merubahnya menjadi milik
atau kekayaan. Demikian maka unsur kewira-usahaan tetap jelas dan aktif dalam
memproduksi barang dan jasa. Sedangkan bunga mungkin memperlambat proses menciptakan
nilai. Karena yang meminjamkan tetap tidak berkepentingan dengan penggunaan pinjaman
itu, maka unsur wirausaha hilang sama sekali.
Ketiga, dalam hal sewa, pemilik modal sendiri menentukan pola, ukuran dan manfaat
produk. Karena itu terbatas pada penggunaannya yang pasti dan bertujuan. Sedangkan dalam
hal bunga pemilik yang sebenarnya tampaknya tidak berkepentingan dengan penggunaan
ekonomik dari modal, karena itu besar kemungkinan modal dapat disalahgunakan.
Keempat, karena dalam masalah sewa banyak unsur kerugiannya, maka penggunaan
modal oleh sipemilik untuk mendapatkan sewa tidak menciptakan timbulnya kelas bermalas-
malasan dalam masyarakat sedangkan unsur kerugian tidak terdapat sama sekali dalam soal
bunga yang dapat membuat si kaya menjadi lebih kaya dan si miskin menjadi lebih miskin.
Dengan demikian dalam sewa-menyewa tidak terdapat unsur eksploitasi sebagaimana
terjadi dalam bunga. Karena itu dalam sewa menyewa dimensi insaninya lebih dominan
dibandingkan dengan dimensi ilahinya. Sebab sewa menyewa sebagai bagian dari fiqh
muamalah berkaitan erat dengan kepentingan manusia.
2. Jenis-Jenis al-Ijarah Dalam Perbankan Syariah
a. Ijarah Mutlaqah
Ijarah mutlaqah atau leasing, adalah proses sewa menyewa yang biasa kita temui
dalam kegiatan perekonomian sehari-hari. Ijarah berarti lease contract dan juga hire contract.
Dalam konteks perbankan Islam, ijarah adalah suatu lease contract dimana suatu bank atau
lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment), sebuah bangunan atau barang-barang,
seperti mesin-mesin, pesawat terbang, dan lain-lain, kepada salah satu nasabahnya
berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya (fixed
charge).
Dengan demikian, perjanjian ijarah atau leasing tidak lain adalah kegiatan leasing
yang dikenal dalam sitem keuangan yang tradisonal. Dalam transaksi ijarah, bank
menyewakan suatu aset yang sebelumnya telah dibeli oleh bank kepada nasabahnya untuk
jangka waktu tertentu dengan jumlah sewa yang telah disetujui dimuka.
Para ahli hukum muslim membagi lagi ijarah mutlaqah menjadi dua bentuk:
1. Menyewa untuk suatu jangka waktu tertentu.
2. Menyewa untuk suatu proyek/usaha tertentu.
19
Bentuk yang pertama banyak diterapkan dalam sewa-menyewa barang/aset sedang
yang terakhir dipakai untuk menyewa pekerja/tenaga ahli untuk usaha-usaha tertentu. Dalam
pelaksanaannya, bank dapat membeli barang dari pemasok barang dengan pemberian fasilitas
bai’salam kepada pemasok barang.
Pada perjanjian ijarah, seperti halnya pada leasing yang diberikan oleh lembaga
pembiayaan tradisonal, pada akhir perjanjian ijarah barang yang disewa itu kembali kepada
pihak yang menyewakan barang, yaitu bank. Pada perjanjian ijarah sepanjang masa perjanjian
ijarah tersebut kepemilikan atas barang tetap berada pada bank. Setelah barang kembali pada
akhir masa ijarah, bank dapat menyewakan kembali kepada pihak lain yang berminat atau
menjual barang itu dengan memperoleh harga atas penjualan barang bekas (second hand)
tersebut.
b. Al-Ijarah al-Muntahia bit-Tamlik
Transaksi yang disebut dengan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik (IMBT) adalah sejenis
perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri
dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula
yang membedakan dengan ijarah biasa. Ijarah yang juga disebut ijarah wa iqtina ini
merupakan konsep hire purchase, yang oleh lembaga-lembaga keuangan Islam disebut lease-
purchase financing. Ijarah wa iqtina adalah suatu gabungan dari kegiatan leasing atas barang-
barang bergerak (movable) dan barang- barng tidak bergerak (immovable) dengan
memberikan kepada penyewa (lessee) suatu pilihan atau opsi (option) untuk akhirnya
membeli barang yang disewa. Berbeda dengan ijarah, pada akhir masa perjanjian kepemilikan
atas barang tersebut dapat beralih kepada penyewa (nasabah bank) apabila nasabah bank yang
bersangkutan menggunakan hak opsinya untuk membeli barang itu. Namun, apabila nasabah
bank tidak menggunakan hak opsinya, kepemilikan barang itu tetap berada ditangan bank.19
Ijarah muntahia bit-tamlik ini dulunya tidak dikenal oleh ilmuwan-ilmuwan muslim
tradisonal, sekalipun sebenarnya tidak terdapat hal yang melanggar hukum (unlawful) pada
penggabungan dua konsep yang melembaga itu, yaitu lease dan option, asalkan riba dihindari
dan asalkan riba bukan merupakan tujuan dari para pihak yang membuat perjanjian itu.
Praktek sewa-menyewa dalam transaksi umum masyarakat tidak disertai dengan
pemindahan hak milik. Apabila disertai dengan pemindahan hak milik maka transaksinya
disebut perjanjian sewa – beli. Terhadap perjanjian sewa – beli (leasing) umumnya pemberian
jasa pembiayaan diberikan oleh lembaga keuangan non – bank/ finance. Pada praktek
perbankan syariah, akad sewa-menyewa disebut Ijarah. Akad sewa-menyewa (ijarah ) pada
perbankan syariah pada perkembangannya dapat disertai dengan pemindahan hak milik yang
20
disebut sebagai Ijarah Muntahiyyah bit-Tamlik (IMBT). Walaupun seperti terlihat mirip
dengan Leasing pada praktek pembiayaan konvensional, tetapi pada perbankan syariah
terdapat pembedaan, yaitu jika obyek leasing hanya berlaku pada manfaat barang saja,
sedangkan pada Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik obyeknya bisa berupa barang maupun jasa/
tenaga kerja.
II.3. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
Al-ijarah adalah akad pemindahan kepemilikan atas suatu barang atau jasa dalam waktu
tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri.
Konsep al-ijarah dalam perbankan syariah sama seperti sewa-menyewa pada
umumnya, namun yang membedakannya adalah bahwa pada perbankan syariah ada suatu
sewa yang pada akhir masa kontrak, diberikan pilihan kepada nasabah untuk memiliki barang
tersebut atau tidak, yang biasa disebut dengan sewa beli, dan hal ini belum pernah terjadi di
masa awal Islam.
III. JIALAH
III.1. Pengertian
Secara bahasa, makna al Ju’alah di dalam al Mu’jam al Wasith sebagai berikut:
ما جعل على العمل من أجر أو رشوة
“apa saja yang dijadikan upah atau sogokan”
Adapun di dalam Kamus al Bisri1. Kalimat al-Ju’alah berarti (الجائزة/hadiah/persen)
dan juga berarti (العمولة/ komisi). Sedangkan Wahbah al Zuhaili2 mendefinisikan al-Ju’alah
secara bahasa sebagai berikut.
الوعد بالجائزة: وتسمى عند القننيين.هي ما جعل لإلنسان على فعل شيء أو ما يعطاه لإلنسان على أمر يفعله
“al-Ju’alah adalah apa saja yang dijadikan (imbalan) bagi seseorang atas suatu pekerjaan
atau apa saja yang diberikan seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Dalam
istilah perundang-undangan, hal itu dinamakan dengan perjanjian yang berimbalan hadiah.”
1
Adib Bisri, Kamus al Bisri, Pustaka Progresif, 1999
2
Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Dar al Fikr, Beirut, 2004)
21
Jadi, secara bahasa makna al Ju’alah adalah upah/imbalan atas suatu perjanjian dalam
sebuah muamalah.3 Wahbah al Zuhaili dalam kitabnya mendefinisikan al Ju’alah dengan
ungkapan sebagai berikut:
التزام عوض معلوم على عمل معين أو مجهول عسر عمله
“Kesepakatan memberikan imbalan atas suatu pekerjaan tertentu atau pekerjaan yang belum
pasti bisa dilaksanakan.”
Sayyid Sabiq4 mendefinisikan al Ju’alah yaitu:
الجعالة عقد على منفعة يظن حصولها كمن يلتزم بجعل.
“al Ju’alah adalah akad atas suatu manfaat yang diperkirakan akan mendapatkan imbalan
sebagaimana yang dijanjikan atas suatu pekerjaan.”
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ju’alah merupakan perjanjian upah dari
pihak yang pertama kepada pihak yang kedua akan pelaksanaan dalam tugas/pelayanan yang
telah dikerjakan oleh pihak kedua untuk keuntungan pihak pertama.5
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 62/DSN-MUI/Xii/2007 Tentang Akad Ju’alah, dalam
fatwa ini yang dimaksud dengan Ju’alah sebagai berikut:6
a. Ju’alah merupakan janji untuk memberikan upah (reward/’iwadh//ju’l) tertentu akan
pencapaian dari hasil (natijah) yang telah ditentukan dalam suatu pekerjaan.
b. Ja’il merupakan pihak yang mau berjanji akan menyerahkan upah tertentu akan
pencapaian dari hasil pekerjaan (natijah) yang telah ditentukan.
c. Maj’ul lah merupakan pihak yang akan mengerjakan Ju’alah.
3
Dr. Mustofa Dieb Al Bigha, Fiqh Islam, Insan Amanah, Surabaya, 1424H, hlm. 271.
4
Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Muasasah al Risalah Nasyirun, Beirut, 2008. Hlm. 235
5
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenada Media grup, 2012), hlm. 314
6
Fatwa DSN No: 62/DSN-MUI/Xii/2007 Tentang Akad Ju’alah, hlm. 4
22
imbalan yang telah diperjanjikannya kalau pihak maj’ullah berhasil menyelesaikan
(memenuhi) target (hasil pekerjaan/natijah) yang telah ditawarkan.7
7
DSN, Op. Cit., hlm. 5
8
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010), hlm. 374
9
Ibid., hlm. 374.
10
Fatwa DSN, Op. Cit., hlm. 5
23
III.2. Persamaan dan Perbedaan Antara Ju’alah Dengan Ijarah (Sewa-Menyewa).
Dalam literatur-literatur fiqh, pembahasan Ju’alah senantiasa beriringan dengan
pembahasan ijarah dan laqathah. Memang jika kita cermati, Ju’alah hampir mirip dengan
ijarah (sewa –menyewa). Atau dari sisi yang lain Ju’alah memiliki kesamaan dengan masalah
laqathah (penemuan barang yang hilang). Secara ringkas persamaan antara Ju’alah dan
Ijarah adalah:
1. Keduanya terdapat akad menyewa tenaga untuk melakukan suatu pekerjaan yang
mubah.
2. Keduanya wajib memberikan upah/imbalan yang dijanjikanketika pekerjaan yang
dimaksud telah selesai.
3. Imbalan/upah yang diberikan sudah jelas sebelum akad dimulai dan bukan berupa
upah yang dilarang oleh syariat.
Selain itu, Ju’alah juga mirip dengan laqathah, karena biasanya Ju’alah digunakan untuk
mencari barang-barang yang hilang atau mengerjakan sesuatu yang belum pasti bisa
dikerjakan oleh orang tertentu.
Adapun perbedaannya, Wahbah al Zuhaili menjelaskan empat perbedaan antara Ju’alah
dan sewa-menyewa. Adapun perbedaan tersebut yaitu:
1. Ju’alah tetap sah dilakukan dengan seseorang yang masih belum jelas. Sedangkan
sewa-menyewa tidak sah jika dilakukan dengan seseorang yang masih belum jelas.
2. Dibolehkan Ju’alah dalam pekerjaan yang masih belum pasti, sedangkan sewa-
menyewa tidak sah jika dilakukan atas pekerjaan yang belum jelas.
3. Tidak disyariatkan dalam Ju’alah ucapan qabul dari pelaku karena dia merupakan
upaya yang dilakukan atas keinginan pribadi. Sedangkan sewa-menyewa tidak sah
kecuali harus ada ucapan qabul dari pihak penyewa karena diamelibatkan antara dua
belah pihak secara langsung.
4. Ju’alah adalah akad yang sifatnya boleh dan tidak mengikat. Sedangkan sewa
menyewa sifatnya lazim antar dua belah pihak dan tidak bisa dibatalkan kecuali
dengan ridha kedua belah pihak.
5. Dalam Ju’alah imbalan tidak bisa diraih kecuali setelah selesainya amal. Seandainya
mensyaratkan upah terlebih dahulu, maka akad Ju’alah nya rusak. Adapun dalam
sewa menyewa dibolehkan mempersyaratkan upah terlebih dahulu.
24
Adapun perbedaan antara al Ju’alah danbarang temuan/Luqathah11 pada 2 hal mendasar
berikut ini:
1. Dalam Ju’alah dipersyaratkan adanya penjamin pemberi imbalan serta bentuk imbalan
yang jelas atas suatu amal. Sedangkan dalam Laqathah imbalan tidak dipersyaratkan.
Hal tersebut kembali pada pemilik barang. Jika berkenan memberi imbalan dan jika
tidak maka tidak dilarang.
2. Dalam Ju’alah terdapat shighat dan dalam laqathah tidak terdapat shighat.
DAFTAR PUSTAKA
Salim Segaf al-Jufri, Ar-Riba wa Adhraruhu alal Mujtama’ Al-Islami, 1400 H, hlm. 219
Muhammad Syauqi al-Fanjari, Al-Islam wa at-Ta’mi, Riyadh, 1994, hlm. 23
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta : Graha Ilmu,
2010), Cet 1, h. 97
Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta:kencana,2010),
Cet ke-1, h. 151.
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Intermedia, 1995), Cet. 2, h. 274.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya,1999),
Cet ke-2, h. 6.
Muhammad Syakir Sula, Op., Cit., h. 246.
Departemen agama Ri, al-quran dan terjemahan, (penegoro: Al-Hikmah 2007), h .548.
Ahmad Mudjsb, Hadist-Hadist Mutafalah, (Jakarta Kencana, 2004), h. 254.
Ali Yafie, Asuransi dalam Pandangan Islam, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung : Mizan,
1994), h. 211-212.
Muhammad Syakir Sula, Op., cit., h. 61.
Muhammad Syakir Sula, Ibid., h. 61.
Ali Yafie, Ibid., h. 216-217.
Muslehuddin, Muhammad Insurance and Islamic Law, (Delhi : Makazi Maktaba Islami,
1995), h. 145-146.
Hamid Hisan Husin, Hukmu Asy-Syari’ah Al-Islamiyah Fii ‘Uquudi At-Ta’min, t.th., Kairo,
h. 84.
Luqathah adalah harta yang hilang dari pemiliknya ( )المال الضائع من ربهMuwafaqudin bin Ahmad bin
11
Muhammad bin Qudamah, Almughniy, Dar 'Alam al Kutub, Riyadh, 1998, Cet.3, Jilid. 8, hlm. 290
25
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ,(Jakarta : Raja Grafindo persada,2008), Cet, ke-2. h. 311.
Muhammad Syakir Sula,op.cit,.h.74
Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari'ah
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 51/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Mudharabah
Musytarakah Pada Asuransi Syariah
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 52/DSN-MUI/III/2006Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah
Pada Asuransi Syari’ah Dan Reasuransi Syari’ah
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Tabarru’Pada
Asuransi Syari’ah
Hasan Ali, 2004, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Kencana, Jakarta.
Muhammad Syakir Sula, (2004), Asuransi Syari'ah; Konsep dan Sistem Operasional, Gema
Insani, Jakarta
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 Tentaang Penerapan Prinsip Dasar
Penyelenggaraan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah
Undang Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian
Al-Bukhari. Sahih al-Bukhari, Juz IV, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992.
Chairi, Zulfi. Pelaksanaan Kredit Perbankan Syariah Manurut UU No. 10 Tahun 1998 e-usu
Repository 2005
Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Mahkota Surabaya, 1989 Haroen,
Nasrun. Fiqh Muamalah, Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Ibnu Qudama. al-Mugni, Jilid V, Riyadh: al-Haditsah, t.th.
Jamaa, La. “Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqasid al-Syari’ah,” Jurnal Asy-
Syir’ah, Vol. 45, No. II, Juli-Desember 2011.
Khathib, asy-Syarbaini. Mugni al- Muhtaj, Jilid II Beirut: Dar al-Fikr, 1978
Karim, Adiwarman A. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Cet.I; Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006
Al-Kasani. al- Bada’i’u al-Sana’i, Jilid IV Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Lamandasa, Raimond Flora. Artikel Hukum Dalam Makalah Hukum Perbankan Syariah
Universitas Gajah Mada: 2008 (www.google.com)
Manan, Abdul. Ekonomi Islam, Teori dan Praktek, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
2007
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Jilid 13, Diterjemahkan oleh Kamaludin A. dan Marzuki,
Bandung: PT al Ma’arif, 2007
26
Shalahuddin, M. Asas-Asas Ekonomi Islam, Ed. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Cet.IV; Yogyakarta: Ekonisia, 2007.
Syahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Grafiti; 1999
al-Zuhaili, Wahhab. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid IV, Beirut: Dar al Fikr, 1984
27