You are on page 1of 27

Asuransi, Ijarah dan Jialah

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah

Dosen Pengampu:

Oleh
Ladiyana Prihantini
Marissa Ulfah
Babur Rahman

PROGRAM STUDI MAGISTER EKONOMI SYARIAH


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PTIQ JAKARTA
2023 M /1444 H
ABSTRAK
Dalam kehidupan manusia, sungguh sudah tidak asing dengan istilah Resiko. Definisi
resiko dalah kemungkinan terjadinya suatu peristiwa atau kejadian yang tidak dinginkan dan
bisa menimbulkan kerugian. Dalam konteks umum, resiko dapat mencakup berbagai hal,
seperti kerugian finansial atau keuangan, kecelakaan, Kesehatan, kerusakan property atau
asset lainnya dan bahkan risiko terhadap meninggal dunia. Manusia bisa melakukan ikhtiar
untuk menghadapi resiko-resiko tersebut dengan melakukan berbagai persiapan untuk
melindungi diri dan atau asset dari resiko. Salah satu upaya untuk melindungi adalah dengan
memiliki pertanggung yang untuk saat ini bisa di dapatkan dari Asuransi syariah.
Asuransi Syariah menurut Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia tahun
2001 yang tertuang pada fatwa SDN No. 21/DSN-MUI/X/2001 menyebutkan bahwa Asuransi
syariah ( Ta’min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong
diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau tabarru’ yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan)
yang sesuai dengan syariah. Akad-akad yang melekat pada asuransi syariah adalah akad
tijarah dan akad tabarru’, sedangkan akad yang mengikuti akad tijarah maupun akad tabarru’
adalah akad Mudharabah Musytarakah, akad Mudharabah dan akad Wakalah bil Ujrah.
Penulisan ini bertujuan membahas secara mendasar mengenai Akad Ijarah sebagai
bagian dari kegiatan bermuamalah. Metode penulisan ini bersifat kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif melalui analisis teori serta studi kepustakaan. Hasil dari
penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam konteks perbankan Islam, ijarah adalah kontrak
sewa di mana bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan, gedung atau barang,
kepada salah satu pelanggannya dengan mengenakan biaya yang telah ditentukan dengan pasti
sebelumnya. Sedangkan al-Ijarah al-Muntahia bit-Tamlik adalah semacam fusi antara kontrak
penjualan dan sewa atau kontrak sewa yang berakhir dengan kepemilikan barang berada di
tangan penyewa. Sifat pengalihan kepemilikan juga membedakannya dari sewa biasa, yang
terdapat dalam lembaga keuangan konvensional. Konsep al-Ijarah dalam perbankan Islam
sebagai sewa pada umumnya, tetapi yang membedakannya adalah bahwa dalam perbankan
Islam ada sewa yang pada akhir kontrak, diberikan pilihan/opsi kepada pelanggan untuk
memiliki barang atau tidak, umumnya disebut pembelian sewa. Kesimpulan pada penelitian
ini adalah kajian tentang Akad Ijarah memiliki peran penting dalam penggunaan Akad Ijarah
dallam transaksi bermuamalah.

2
I. Asuransi
I.1. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk hidup (makhluk sosial) dalam perjalanan hidupnya mulai
dari lahir sampai dengan meninggal dunia memiliki perjalanan dan kehidupan yang berbeda-
beda. Mulai dari lingkungan yang sukai, kekayaan yang di miliki, keahlian dalam
menghadapai setiap tahap kehidupan sampai dengan kemampuan untuk bertahan hidup.
Dalam perjalanan ini manusia memiliki tantangan yang berbeda-beda sesuai dengan jalan
hidup yang dikehendaki. Semakin besar tujuan atau Impian yang dinginkan maka akan
semakin tinggi tantangan yang di hadapi, maka resiko pun akan bertumbuh seiring dengan
tingkatan tantangan tersebut.
Seiring dengan perkembangan jaman mulai dari jaman Nabi sudah muncul kesadaran
dalam mencari upaya untuk menghadapi ataupun meminimalisir resiko yang di hadapi.
Bahkan di riwaratnya pada jaman Nabi Yusuf yang dituangkan pada Al Qur’an Surat Yusuf
(43-49) bahwa dikisahkan mimpi raja mesir yang ditafsirkan oleh Nabi Yusuf A.S: “Hai
orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang
gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir
(gandum) yanag hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang
itu, agar mereka mengetahuinya”. ‘Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun
(lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya
kecuali sedikit untuk kamu makan. “Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat
sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit). Kecuali
sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.”
Kisah ini menyimpulkan bahwa manusia tidak boleh berlebih-lebihan dan harus
mengingat bahwa keadaan tidak selalu seperti yang diharapkan. Ada saatnya kondisi stabil
dan baik-baik saja, namun bisa juga akan berubah menjadi sangat tidak baik. Manusiah harus
siap dengan hal-hal yang deminkian.
Dalam menghadapi resiko-resiko yang tidak bisa di ketahui kapan akan terjadi dan
berapa besar kerugian yang akan di alami. Maka usaha untuk memiliki perlindungan atas
pertanggungan dari asuransi dengan cara atau saling menanggung diatara sesama peserta
adalah konsep dari asuransi syariah.

I.1.A Pengertian Asuransi

3
Asuransi dalam Bahasa Arab terdapat bagian-bagian atau pihak-pihak yang saling
terikat atau berhubungan dan menjadii dasar pada usaha syariah. Para pihak tersebut adalah
pihak pertama di disebut at-ta’min, pihak ke dua atau penanggung di sebut muámmin dan
pihak terakhir adalah tertanggung di sebut muámman lahu atau musta’min. At’-ta’min
(‫( نیل تأم‬diambil dari kata (‫( أمن‬memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman,
dan bebas dari rasa takut, sebagaimana firman Allah, “Dialah Allah yang mengamankan
mereka dari ketakutan.”(Quraisy:4)
Dari kata tersebut muncul kata-kata yang berdekatan seperti berikut:
( ‫) ِ لُلَ لمْ منم ُ م ممَمَأل‬ : Aman dari rasa takut
( ‫) اَمََم لُلَ ُّدِ ُ م مماَمَأل‬ : Amanah lawan dari khianat
( ‫) لُل ألْ لُْ ُّدِ مُانأل لُْلل‬ : Iman lawan dari kufur
‫ ُل م ممَمَم ُ لء م‬/ ‫) ُل م لمنم‬
( ‫َا ألع‬ : Memberi rasa aman
Jika di lihat dari arti terkhir di atas maka difinisi yang paling tepat adalah “Men-ta’
min-kan sesuatu, artinya adalah seseorang menyerahkan sejumlah uang untuk agar ia atau ahli
warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk
mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang, dikatakan “seseorang
memepertanggungkan atau mengasuransikan hidupnya, rumahnya atau mobilnya.”

I.1.B. Dasar Hukum Asuransi Syariah


1. Al-Qur’an
a. Firman Allah tentang perintah mempersiapkan hari depan: “Hai orang yang beriman!
Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat
untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamukerjakan” (QS. al-Hasyr [59]: 18).
b. Firman Allah tentang prinsip-prinsip bermu’amalah, baik yang harus dilaksanakan maupun
dihindarkan, antara lain : “Hai orang-orang yang beriman tunaikanlah akad-akad itu
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian
itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya
Allah menetapkan hokum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Maidah [5]: 1)
c. Firman Allah tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam perbuatan positif,
antara lain : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al Maidah [5]:2).

4
d. Firman Allah tentang perintah untuk berinvestasi di masa depan, antara lain: “…Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan
yang lemah di belakan mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya)”(QS. An
Nisa [4]: 9)
2. Hadis Nabi Muhammad
Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang beberapa prinsip bermu’amalah,
antara lain: “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah
akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-
Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
“Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan
tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan turut menderita”
(HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir)
3. Hukum positif di Indonesia
a. Undang Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian
b. Fatwa DSN no 21 tahun 2001
c. PMK No 18/PMK.010/2010

I.1.C. Perbedaan Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional


Secara garis besar Asuransi Umum dan Syariah memiliki perbedaan yang sangat
signifikan yaitu:
Prinsip Asuransi Syariah Asuransi Konvensional
Konsep Berbagi Resiko Transfer Resiko
Para peserta berkumpul untuk saling Perjanjian atara Perusahaan
mambantu, saling menjamin dan asuransi dengan pemegang
bekerjasama dengan cara setiap dari polis dimana Perusahaan
peserta menghibahkan sebagian dana Asuransi mengikatkan
dari kontribusi yang mereka bayarkan dirinya kepada tertanggung
yang ditampung dalam dana Tabarru dengan menerima
(dana Sosial) premi/kontribusi asuransi
untuk memberikan
penggantian kepada
tertanggung

5
Perjanjian/Akad Akad Tabarru’ (hibah) dan Akad Perjanjian jual beli (akad
Tijarrah (Mudharabah, Wakallah bil muáwadhah)
Ujroh, Mudharobah Musytarokah)
Sumber/Landasan Bersumber atau berlandaskan pada Bersumber dari pemikiran
Firman Allas SWT, AL-Hadist dan Ijma manusia dan kebudayaan.
Ulama Berdasarkan hukum positif,
hukum alami dan berbagai
peristiwa atau contoh
sebelumnya
Kepemilikan Kontribusi atau dana dari peserta Dana premi seluruhnya
Dana Sebagian akan menjadi milik peserta dan menjadi milik Perusahaan
Sebagian lagi untuk Perusahaan sebagai sehingga perusahan berhak
pemegang Amanah dalam pengelolaan dan bebas dalam
kontribusi tersebut pengelolaan, investasi
maupun penggunaanya
Sumber Bersumber dari dana Tabarru’ dimana Bersumber dari rekening
Pembayaran dana ini adalah dana hibah para peserta Perusahaan sebagai
Klaim yang digunakan untuk menjamin, konsekuensi penanggung
melindungi dan membantu sesame terhadap tertanggung
peserta
Investasi Investasi harus sesuai dengan ketentuan Bebas melakukan investasi
perundang-undangan sepanjang tidak dalam batas-batas ketentuan
bertentangan dengan prinsip-prinsip perundangan dan tidak
syariah Islam. Investasi harus bebas dari terbatas pada hala dan
riba, maisir dan berbagai tempat haramnya investasi yang di
investarsi yang terlarang pilih atau di gunakan
Keuntungan Surplus yang terbentuk dari dana tabarru Menjadi milik sepenuhnya
dapat di bagikan kepada selain dana Perusahaan
tabarru juga kepada Perusahaan dan
peserta.
Pengawasan Selain di pengawasan dari OJK juga Pengawasan OJK
terdapat Depan Pengawas Syariah yang

6
bertugan untuk menjamin jalannya bisnis
sesuai dengan syariah Islam

I.2. Pembahasan
1.2.A. Pendapat Ulama tentang Asuransi
Konsep asuransi maupun asuransi syariah merupakan akad yang baru dan belum
pernah ada pada masa-masa pertama perkembangan fiqih Islam, dimana menimbulkan
diskusi, perbincangan, bahkan perdebatan diantara para ulama. Dari hal-hal tersebut maka
pada akhirnya muncul dua pendapat ulama yaitu, pendapat pertama ulama yang
mengharamkan asuransi itu haram dalam segala bentuknya, termasuk asuransi jiwa dan
kerugian, dan pendapat kedua membolehkan.

Berikut adalah Pendapat-pendapat para ulama:


1. Pendapat Ulama yang Mengharamkan
a. Pendapat syakh Ibnu Abidin dari Mazhab Hanafi
b. Ibnu Abidin berpendapat bahwa asuransi adalah haram karena uang setoran peserta (premi)
tersebut iltizam ma lam yalzam (mewajibkan sesuatu yang tidak lazim/wajib).
c. Syaikh Muhammad al-Gazali, ulama dan tokoh haraki dari Mesir.
Muhammad al- Gazali mengatakan bahwa asuransi adalah haram karena mengandung
riba. Beliau melihat riba tersebut dalam pengelolaan dana asuransi dan pengembalian premi
yang disertai bunga ketika waktu perjanjian telah habis. Asuransi mengandung riba karena
beberapa hal :
a) Apabila waktu perjanjian telah habis, maka uang premi dikembalikan kepada terjamin
dengan disertai bunganya dan ini adalah riba. Apabila jangka waktu tersebut yang ada
didalam polis belum habis dan perjanjian diputuskan, maka uang premi dikembalikan dengan
dikurangi biaya- biaya administrasi dan muamalah semacam itu dilarang oleh syara’.
b) Ganti kerugian yang diberikan kepada terjamin pada waktu terjadinya peristiwa yang
disebutkan didalam polis, juga tidak dapat diterima syara’ karena orang-orang yang
mengerjakan asuransi bukan syarikat didalam untung dan rugi, sedang orang – orang lain ikut
memberikan sahamnya dalam uang yang diberikan kepada terjamin.
c) Maskapai asuransi didalam kebanyakan usahanya, menjalankan pekerjaan riba.
d) Perusahaan asuransi didalam usahanya mendekati pada usaha lotere, dimana sebagian kecil
dari yang membutuhkan dapat mengambilkan manfaat.

7
e) Asuransi dengan arti ini merupakan salah satualat untuk berbuat dosa. Banyak alasan uang
dicari-cari guna mengorek keuntungan dengan mengharapkan datangnya peristiwa yang tiba-
tiba.
d. Dr.Husain Hamid Hisan, ulama dan cendikiawan Muslim dari Universitas Al-Malik Abdul
Aziz Mekah Al-Mukarramah.
Ia menulis buku yang sangat frundamental dengan hujjah yang kuat tentang gharar,
maisir, dan riba asuransi. Hukum Asy-Syari’ah Al-Islamiyah fii ‘Uquudi AT-Ta’miin
(Asuransi Dalam Hukum Islam). Secara garis besar Hamid Hisan berkesimpulan sebagai
berikut :
1) Akad asuransi adalah Mu’awadhah maliyah yang mengandung gharar. Pengharaman
terhadap perjanjian-perjanjian asuransi yang dilangsungkan oleh perusahaan asuransi dengan
tertanggung 46 adalah karena adanya akad-akad mu’awadhah maliyah yang mana ‘ perjanjian
saling memberikan pengganti berupa harta/uang’ yang mengandung gharar yang amat
besar.35
2) Akad asuransi mengandung judi dan taruhan.
3) Akad asuransi mengandung riba
2. Pendapat Ulama yang memperbolehkan
a. Syaikh Abdur Rahman Isa, salah seorang guru besar Universitas Al- Azhar.
Dengan tegas mengatakan ia menyatakan bahwa asuransi merupakan praktek
muamalah gaya baru yang belum dijumpai imamimam terdahulu, demikian juga pera sahabat
Nabi. Pekerja ini juga menghasilkan kemaslahatan ekonomi yang banyak. Menurutnya,
perjanjian asuransi adalah sama dengan perjanjian al-ji’alah ‘memberikan janji upah’. Ia
berkata bahwa asuransi mewajibkan dirinya untuk membayar sejumlah uang ganti kerugian,
apabila pihak lain mengerjakan sesuatu untuknya, dengan membayar uang premi dengan
peraturan tertentu. Maka apabila seseorang telah mengerjakan perbuatan ini, berhaklah ia atas
sejumlah uang penggantikerugian yang diperjanjikan maskapai itu.
Selanjutnya Syaikh Abdur Rohman Isa mengatakan bahwa sesungguhnya perusahaan
asuransi dengan pesertanya saling mengikat dalam perbuatan ini atas dasar saling meridhai.
Itu merupakan perbuatan saling melayani kepentingan umum, memelihara hak milik orang-
orang, dan menolak risiko harta benda yang terancam bahaya. Sebaliknya perusahaan asuransi
memperoleh laba yang memadai, yang disepakati oleh kedua belah pihak. Kedua belah pihak
sepakat atas perbuatan yang mengandung maslahat yang berhubungan dengan apa yang
diciptakan oleh Allah swt bagi kepentingan kita dan bagi manusia perbuatan ini diperlukan.
Sementara tidak diperoleh nash yang melarangnya, baik dari kita, sunnah maupun ijma’.

8
Demikian Syaikh Abdur Rohman Mengambil konklusi tentang bolehnya asuransi
demi kemudahan manusia dengan menolak kesempatan dan kesulitan.
b. Prof .Dr.Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Kairo)
Yusuf Musa mengatakan bahwa asuransi bagaimana bentuknya merupakan koperasi
yang menguntungkan masyarakat. Asuransi Jiwa menguntungkan perusahaan yang mengelola
asuransi. Ia mengemukakan pandangan bahwa sepanjang dilakukan bersih dari riba, maka
asuransi hukumnya boleh. Dengan pengertian, apabila nasabahnya masih hidup menurut
jangka waktu yang ditentukan dalam polis, maka dia meminta pembayaran kembali, hanya
sebesar premi yang pernah dibayarkan tanpa ada tambahan, tetapi manakala nasabah
meninggal sebelum batas akhir penyetoran premi, maka ahli warisnya berhak menerima nilai
asuransi, sesuai yang dicantumkan dalam polis, dan ini halal menurut hukum syara’.
c. Syaikh Abdul Wahab Khalaf (Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo)
Ia mengatakan bahwa asuransi termasuk akad mudharabah. Akad Mudharabah
maksud asuransi merupakan akas kerja sama bagi hasil antara pemegang polis dengan pihak
perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil. Asuransi dianalogikan atau
diqiaskan dengan sistem pensiun.
d. Prof . Dr. Muhammad al-Bahi (Wakil Rektor Universitas al-Azhar Mesir).
Ia berpendapat bahwa asuransi hukumnya halal karena beberapa sebab :
1. Asuransi merupakan suatu usaha yang bersifat tolong-menolong
2. Asuransi mirip dengan akad mudharabah dan untuk mengembangkan harta benda
3. Asuransi tidak mengandung unsur riba
4. Asuransi tidak mengandung tipu daya
5. Asuransi tidak mengurangi tawakkal kepada Allah swt
6. Asuransi suatu usaha untuk menjamin anggotanya yang jatuh melarat karena suatu musibah
7. Asuransi memperluas usaha baru

1.2.B. Akad pada Asuransi Syariah


Praktek asuransi syariah yang berbasis saling menanggung antara peserta dalam
menanggung resiko yang akan di hadapi dari masing-masing peserta, maka hubungan antara
peserta maupun peserta dengan penanggung (Perusahaan asuransi) akan di tuangkan dan
diatur dalam perjanjian atau akad. Akad yang diberikan harus sesuai dengan syariah yang
tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan),
risywah (suap), barang haram dan maksiat
1. Akad Tijarah Akad tijarah

9
Adalah akad yang dilakukan untuk tujuan komersial. Bentuk akadnya menggunakan
mudhorobah. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang
tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak
yang belum menunaikan kewajibannya.
Akad tijarah ini adalah untuk mengelola uang kontribusi yang telah diberikan kepada
perusahaan asuransi syariah yang berkedudukan sebagai pengelola (Mudorib), sedangkan
nasabahnya berkedudukan sebagai pemilik uang (shohibul mal). Ketika masa perjanjian habis,
maka uang kontribusi yang diakadkan dengan akad tijaroh akan dikembalikan beserta bagi
hasilnya (Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari'ah).
2. Akad tabarru’
Adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-
menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Kemudian akad dalam akad tabarru adalah
akad hibah dan akad tabarru’ tidak bisa berubah menjadi akad tijaroh.
Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk
menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai
pengelola dana hibah (Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syari'ah).
Akad Tabarru' adalah Akad hibah dalam bentuk pemberian dana dari satu Peserta
kepada Dana Tabarru' untuk tujuan tolong menolong di antara para Peserta, yang tidak
bersifat clan bukan untuk tujuan komersial (Peraturan Menteri Keuangan Nomor
18/PMK.010/2010 Tentaang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi Dan
Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah).
Berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad
Tabarru’ Pada Asuransi Syari’ah menyatakan, bahwa kedudukan para Pihak dalam akad
tabarru’ adalah ;
a. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk
menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah
b. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’
(mu’amman/mutabarra’ lahu, dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri’)
c. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad wakalah dari
para peserta selain pengelolaan investasi.

Akad Tabarru' wajib memuat sekurang-kurangnya :


a. Kesepakatan para peserta untuk saling tolong menolong (tn'awuni)

10
b. Hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu:
c. Hak dan kewajiban peserta secara kolektif dalam kelompok
d. Cara dan waktu pembayaran kontribusi dan santunan/ klaim
e. Ketentuan mengenai boleh atau tidaknya kontribusi ditarik kcmbali oleh peserta dalam hal
terjadi pembatalan oleh peserta
f. Ketentuan mengenai alternatif dan persentase pembagian Surplus Underwriting;
g. Ketentuan lain yang disepakati (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010
Tentaang Penerapan Prinsip Dasar

Dari ke 2 akad tersebut ada akad yang mengikuti dalam pelaksanannya, yaitu:
1. Akad Wakalah bil Ujrah
Akad Wakalah bil Ujrah adalah Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada
Perusahaan sebagai wakil Peserta untuk mengelola Dana Tabarru' dan/ atau Dana Investasi
Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan dengan imbalan berupa ujrah (fee)
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 Tentang Penerapan Prinsip Dasar
Penyelenggaraan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah).
Akad Wakalah bil Ujrah diperbolehkan dalam praktek asuransi syariah yang dilakukan
antara perusahaan asuransi syariah dan peserta dimana posisi perusahaan asuransi syariah
sebagai pengelola dan mendapatkan fee karena telah mendapatkan kuasa dari peserta.
Menurut fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 52/DSNMUI/III/2006 Tentang Akad Wakalah
Bil Ujrah Pada Asuransi Syari’ah dan Reasuransi Syari’ah, objek Wakalah bil Ujrah meliputi
antara lain:
a. kegiatan administrasi
b. pengelolaan dana
c. pembayaran klaim
d. underwriting
e. pengelolaan portofolio risiko
f. pemasaran
g. investasi

Akad Wakalah bil Ujrah wajib memuat sekurang-kurangnya :


a. objek yang dikuasakan pengelolaannya
b. hak dan kewajiban peserta secara kolektif dan/atau peserta secara individu sebagai
mutoakkil (pemberi kuasa)

11
c. hak dan kewajiban perusahaan sebagai toakil (penerima kuasa) termasuk kewajiban
perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan
risiko dan/atau kegiatan pengelolaan nvestasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang
disengaja, kelalaian, atau wanprestasi yang dilakukan perusahaan
d. batasan kuasa atau wewenang yang diberikan peserta kepada perusahaan
e. besaran, cam, dan waktu pemotongan ujrah (fee) f. ketentuan lain yang disepakati
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 Tentaang Penerapan Prinsip Dasar
Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan prinsip syariah)

Kedudukan dan ketentuan para pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah
a. Perusahaan bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk mengelola dana
b. Peserta (pemegang polis) sebagai individu, dalam produk saving dan tabarru’, bertindak
sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana
c. Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali atas
izin muwakkil (pemberi kuasa)
d. Akad Wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan tanggungan (yad dhaman)
sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi fee
yang telah diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.
e. Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi,
karena akad yang digunakan adalah akad Wakalah (Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
52/DSNMUI/III/2006Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Syari’ah Dan
Reasuransi Syari’ah).

2. Akad Mudharabah
Akad Mudharabah adalah Akad tijarah yang memberikan kuasa kepada perusahaan
sebagai mudharib untuk mengelola investasi dana tabarru' clan/atau dana investasi peserta,
sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang
besarnya telah disepakati sebelumnya.
Akad Mudharabah wajib memuat sekurang-kurangnya :
a. hak dan kewajiban peserta secara kolektif dan/atau peserta secara individu sebagai shnhibul
mal (pemilik dana)
b. hak dan kewajiban perusahaan sebagai mudharib (pengelola dana) termasuk kewajiban
perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan

12
investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian a tau wanprestasi yang
dilakukan perusahaan
c. batasan wewenang yang diberikan peserta kepada perusahaan
d. bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian hasil investasi
e. ketentuan lain yang disepakati (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010
Tentaang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi
dengan Prinsip Syariah).

3. Akad Mudharabah Musytarakah


Akad Mudharabah Musytarakah adalah Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada
p erusahaan sebagai mudharib untuk mengelola investasi Dana Tabarru' dan/ atau dana
Investasi peserta, yang digabungkan dengan kekayaan perusahaan, sesuai kuasa atau
wewenang yang diberikan dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya
ditentukan berclasarkan komposisi kekayaan yang digabungkan dan telah disepakati
sebelumnya (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 Tentaang Penerapan
Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip
Syariah).
Akad Mudharabah Musytarakah wajib memuat sekurang-kurangnya :
a. hak dan kewajiban peserta secara kolektif dan/atau peserta secara individu sebagai shahibul
mal (pemilik dana)
b. hak dan kewajiban perusahaan sebagai mudharib (pengelola dana)termasuk kewajiban
perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan
investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian atau wanprestasi yang
dilakukan perusahaan
c. batasan wewenang yang diberikan peserta kepada perusahaan
d. cara dan waktu penentuan besar kekayaan peserta dan kekayaan perusahaan
e. bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian hasil investasi
f. ketentuan lain yang disepakati ((Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010
Tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi
dengan Prinsip Syariah).

Kedudukan para pihak dalam akad Mudharabah Musytarakah :


a. Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan sebagai
musytarik (investor).

13
b. Peserta (pemegang polis) dalam produk saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor).
c. Para peserta (pemegang polis) secara kolektif dalam produk non saving, bertidan bisa
digunakan untuk produk tabungan maupun non tabungan.ndak sebagai shahibul mal
(investor) (Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 51/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad
Mudharabah Musytarakah Pada Asuransi Syariah).

1.3. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akad-akad yang melekat pada
asuransi syariah adalah akad tijarah dan akad tabarru’, sedangkan akad yang mengikuti akad
tijarah maupun akad tabarru’ adalah akad Mudharabah Musytarakah, akad Mudharabah dan
akad Wakalah bil Ujrah.
Serta Asuransi itu sendiri karena menggunakan konsep berbagi resiko bukan
memindahkan resiko serta bukan merupakan akad jual beli maka Sebagian bersar Ulama
menyampaikan bahwa Asuransi adalah di perbolehkan atau Halal

II. IJARAH
II.1. Pendahuluan
Masyarakat sebagai makhluk individu memiliki kebutuhan- kebutuhan yang harus
dipenuhi baik dalam bentuk kebutuhan primer, sekunder maupun tersier dalam kehidupan
sehari-hari. Terkadang masyarakat memiliki keterbatasan dana dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Hal ini yang kemudian mendorong perkembangan perekonomian masyarakat
dengan munculnya jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan
lembaga keuangan non bank.
Salah satu aspek yang diatur dalam syariah Islam yakni lembaga perbankan, yang
merupakan bagian muamalah yang mengatur hubungan sesama manusia. Pengaturan lembaga
perbankan dalam syariah Islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan
bahwa mā lā yatimm al-wajib illa bihi fa huwa wajib yakni sesuatu yang harus ada untuk
menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (berkegiatan
ekonomi) adalah wajib diadakan. Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian
tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun
menjadi wajib untuk diadakan.
Dalam transaksi sewa-menyewa pada perbankan konvensional tidak ada peralihan hak
milik, artinya jika masa sewa berakhir maka barang obyek sewa dikembalikan pada pemilik
sewa sehingga pada umumnya tidak membutuhkan jasa suatu lembaga pembiayaan. Akan

14
tetapi lain halnya dalam praktek perbankan Syariah karena dikenal pembiayaan berdasarkan
akad sewa-menyewa yang disebut ijarah. Oleh karenanya timbul pertanyaan kenapa pada
transaksi sewa-menyewa yang pada umumnya tidak disertai pemindahan hak milik sehingga
tidak diperlukan pembiayaan, sedangkan dalam praktek perbankan syariah disertai dengan
pemindahan kepemilikan? Hal inilah yang menarik untuk dikaji dan selanjutnya akan
diuraikan dalam pembahasan berikut.

II.1.A. Pengertian al-Ijarah


Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’iwadhu atau berarti ganti. Dalam
Bahasa Arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan
jalan penggantian sejumlah uang.
Secara terminologi, beberapa definisi al-ijarah dikemukakan oleh para ulama fiqh.
Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “transaksi terhadap suatu manfaat
dengan imbalan.”
Kedua, ulama syafi’iyah mendefinisikannya dengan “transaksi terhadap suatu manfaat
yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu”.
Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “pemilikan
manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan”.
Pada dasarnya keempat pendapat ulama di atas memiiliki pandangan yang sama
terhadap pengertian al-ijarah.
Sedangkan menurut Sutan Remy al Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas
barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.
Definisi mengenai prinsip ijarah juga telah diatur dalam hukum positif Indonesia
yakni dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang
mengartikan prinsip al-ijarah sebagai “transaksi sewa-menyewa atas suatu barang dan atau
upah mengupah atas suatu usaha jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau
imbalan jasa.”
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, ijarah adalah
akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu
sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya
pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.

15
Dari beberapa pengertian di atas dapat dikatakan bahwa al-ijarah adalah pemindahan
hak guna atau manfaat terhadap suatu barang atau jasa dari seseorang kepada orang lain
dalam kurun waktu tertentu sesuai kesepakatan.

II.1.B. Landasan Syariah


1. Al-Qur’an
Dalil tentang kebolehan transaksi al-ijarah dapat dipahami dari nash al-Qur’an di
antaranya QS. Ath-Thalaq: 6
Terjemahnya:
‘Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah
kepada mereka upahnya.’9
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “berikanlah kepada mereka
upahnya, ungkapan tersebut menunjukan adanya jasa yang diberikan sehingga berkewajiban
membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk di dalamnya jasa penyewaan atau
leasing. Upah dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk umum, mencakup semua jenis sewa-
menyewa (ijarah).
2. Al-Hadis
Kebolehan melakukan transaksi ijarah didasarkan juga kepada hadis, di antaranya
hadis yang diriwayatkan dari ibnu Aisyah ra. bahwa:‘Nabi saw bersama Abu Bakar
menyewa seorang penunjuk jalan yang mahir dari Bani al-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin
‘Adi.’ (HR Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa sewa-menyewa atau ijarah hukumnya boleh. Hal itu
dipahami dari hadis fi’liyah Nabi saw yang menyewa dan memberikan upahnya kepada
penunjuk jalan yang memandu perjalanan beliau bersama Abu Bakar ra. Sebab Nabi
Muhammad saw merupakan suri teladan yang baik untuk diikuti.

II.2. Pembahasan
II.2.A. Rukun al-Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan
menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Akan tetapi, jumhur ulama
mengatakan bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu: (a) orang yang berakad, (b)
sewa/imbalan, (c) manfaat, dan (d) shighat (ijab dan qabul). Ulama Hanafiyah menyatakan
bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk syarat- syarat al-ijarah,
bukan rukunnya.
16
Hal itu menunjukkan bahwa jika salah satu dari beberapa rukun sewa-menyewa (al-
ijarah) tersebut tidak terpenuhi, maka akad sewa-menyewanya dikategorikan tidak sah. Sebab
ketentuan dalam rukun sewa-menyewa di atas bersifat kumulatif (gabungan) dan bukan
alternatif.

II.2. B. Prinsip-Prinsip Pokok Transaksi al-Ijarah


Menurut Islam prinsip-prinsip pokok al-ijarah haruslah dipenuhi oleh seseorang dalam
suatu transaksi al-ijarah yang akan dilakukakannya. Prinsip-prinsip pokok tersebut adalah
1. Jasa yang ditransaksikan adalah jasa yang halal sehingga dibolehkan melakukan transaksi
al-ijarah untuk keahlian memproduksi barang-barang keperluan sehari- hari yang halal seperti
untuk memproduksi makanan, pakaian, peralatan rumah tangga dan lain-lain. Namun tidak
dibolehkan transaksi al-ijarah untuk keahlian membuat minuman keras, membuat narkoba dan
obat-obat terlarang atau segala aktifitas yang terkait dengan riba.
2. Memenuhi syarat sahnya transaksi al-ijarah yakni (a) Orang-orang yang mengadakan
transaksi ajiir dan musta’jir) haruslah sudah mumayyiz yakni sudah mampu membedakan
baik dan buruk sehingga tidak sah melakukan transaksi al- ijarah jika salah satu atau kedua
pihak belum mumayyiz seperti anak kecil. (b). Transaksi atau akad harus didasarkan pada
keridaan kedua pihak, tidak boleh karena ada unsur paksaan.
3. Transaksi ijarah haruslah memenuhi ketentuan dan aturan yang jelas yang dapat mencegah
terjadinya perselisihan antara kedua pihak yang bertransaksi. Ijarah adalah memanfaatkan
sesuatu yang dikontrak. Apabila transaksi tersebut berhubungan dengan seorang ajîr, maka
yang dimanfaatkan adalah tenaganya, sehingga untuk mengontrak seorang ajîr tadi harus
ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah serta tenaganya. Oleh karena itu, jenis pekerjaaannya
harus dijelaskan sehingga tidak kabur. Karena transaksi ijarah yang masih kabur hukumnya
fasid (rusak). Dan waktunya juga harus ditentukan, misalkan harian, bulanan, atau tahunan.
Disamping itu upah kerjanya harus ditetapkan. Karena itu dalam transaksi ijarah ada hal-hal
yang harus jelas ketentuannya yang menyangkut: (a). bentuk dan jenis pekerjaan (nau al-
amal). (b). Masa kerja (muddah al-amal). (c). Upah kerja (ujrah al-amal). (d). Tenaga yang
dicurahkan saat bekerja (al-juhd alladziy yubdzalu fii al-amal).

II.2.C. Macam-Macam al-Ijarah


Dilihat dari obyeknya, akad al-ijarah oleh para ulama dibagi menjadi dua yaitu:
a. Al-Ijarah yang bersifat manfaat, seperti sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian
dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk

17
dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan obyek sewa
menyewa.
b. Al-Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk
melakukan suatu pekerjaan. Al-Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqh hukumnya boleh,
apabila jenis pekerjaan itu jelas.
II.2.D. Berakhirnya Akad al-Ijarah
Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir jika:
a. Obyek hilang atau musnah
b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang
disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang
disewa itu adalah jasa maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh
semua ulama fiqh.
c. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad al- ijarah
menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah
tidak batal dengan wafatnya seseorang yang berakad, karena manfaat menurut meraka, boleh
diwariskan.
d. Apabila ada uzur pada salah satu pihak.

II.2.E. Al-Ijarah dalam Perbankan Syariah


1. Perbedaan al-Ijarah dengan Bunga
Dipandang dari hukum Islam, tampaknya pembayaran sewa tidaklah bertentangan
dengan etika ekonomi Islam, karena adanya perbedaan besar antara sewa dan bunga. Tetapi
sepintas lalu baik sewa maupun bunga kelihatannya adalah satu dan sama, karena konon sewa
atas tanah, atau harta benda, sedangkan bunga atas modal, yang mempunyai potensi untuk
dialihkan menjadi harta benda atau kekayaan apa saja. Demikianlah dikemukakan bahwa hak
“pemilikan tanah tidaklah mengandaikan adanya hak tidak terbatas untuk menyewakan tanah
itu sebagaimana juga hak memiliki uang tidak mengandung arti hak untuk memungut riba.”
Walupun sepintas lalu ada kesamaan, tetapi dalam beberapa segi, pada kedua hal itu, transaksi
dan keuntungan sangat berbeda.
Pertama, sewa adalah hasil inisiatif usaha dan efisiensi. Ia dihasilkan sesudah suatu
proses menciptakan nilai yang pasti. Karena pemilik harta benda atau kekayaan tetap terlibat
dan berkepentingan dengan seluruh pemakaian si pemakai. Tidak demikian halnya dengan
bunga, karena yang meminjamkan tidak berkepentingan lagi dengan penggunaan pinjaman,
setelah pinjaman diperoleh dan bunganya terjamin.

18
Kedua, mengenai sewa usaha produktif sangat diperlukan dalam proses menciptakan
nilai, karena upaya ekonomik dilakukan pemilik modal dengan merubahnya menjadi milik
atau kekayaan. Demikian maka unsur kewira-usahaan tetap jelas dan aktif dalam
memproduksi barang dan jasa. Sedangkan bunga mungkin memperlambat proses menciptakan
nilai. Karena yang meminjamkan tetap tidak berkepentingan dengan penggunaan pinjaman
itu, maka unsur wirausaha hilang sama sekali.
Ketiga, dalam hal sewa, pemilik modal sendiri menentukan pola, ukuran dan manfaat
produk. Karena itu terbatas pada penggunaannya yang pasti dan bertujuan. Sedangkan dalam
hal bunga pemilik yang sebenarnya tampaknya tidak berkepentingan dengan penggunaan
ekonomik dari modal, karena itu besar kemungkinan modal dapat disalahgunakan.
Keempat, karena dalam masalah sewa banyak unsur kerugiannya, maka penggunaan
modal oleh sipemilik untuk mendapatkan sewa tidak menciptakan timbulnya kelas bermalas-
malasan dalam masyarakat sedangkan unsur kerugian tidak terdapat sama sekali dalam soal
bunga yang dapat membuat si kaya menjadi lebih kaya dan si miskin menjadi lebih miskin.
Dengan demikian dalam sewa-menyewa tidak terdapat unsur eksploitasi sebagaimana
terjadi dalam bunga. Karena itu dalam sewa menyewa dimensi insaninya lebih dominan
dibandingkan dengan dimensi ilahinya. Sebab sewa menyewa sebagai bagian dari fiqh
muamalah berkaitan erat dengan kepentingan manusia.
2. Jenis-Jenis al-Ijarah Dalam Perbankan Syariah
a. Ijarah Mutlaqah
Ijarah mutlaqah atau leasing, adalah proses sewa menyewa yang biasa kita temui
dalam kegiatan perekonomian sehari-hari. Ijarah berarti lease contract dan juga hire contract.
Dalam konteks perbankan Islam, ijarah adalah suatu lease contract dimana suatu bank atau
lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment), sebuah bangunan atau barang-barang,
seperti mesin-mesin, pesawat terbang, dan lain-lain, kepada salah satu nasabahnya
berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya (fixed
charge).
Dengan demikian, perjanjian ijarah atau leasing tidak lain adalah kegiatan leasing
yang dikenal dalam sitem keuangan yang tradisonal. Dalam transaksi ijarah, bank
menyewakan suatu aset yang sebelumnya telah dibeli oleh bank kepada nasabahnya untuk
jangka waktu tertentu dengan jumlah sewa yang telah disetujui dimuka.
Para ahli hukum muslim membagi lagi ijarah mutlaqah menjadi dua bentuk:
1. Menyewa untuk suatu jangka waktu tertentu.
2. Menyewa untuk suatu proyek/usaha tertentu.

19
Bentuk yang pertama banyak diterapkan dalam sewa-menyewa barang/aset sedang
yang terakhir dipakai untuk menyewa pekerja/tenaga ahli untuk usaha-usaha tertentu. Dalam
pelaksanaannya, bank dapat membeli barang dari pemasok barang dengan pemberian fasilitas
bai’salam kepada pemasok barang.
Pada perjanjian ijarah, seperti halnya pada leasing yang diberikan oleh lembaga
pembiayaan tradisonal, pada akhir perjanjian ijarah barang yang disewa itu kembali kepada
pihak yang menyewakan barang, yaitu bank. Pada perjanjian ijarah sepanjang masa perjanjian
ijarah tersebut kepemilikan atas barang tetap berada pada bank. Setelah barang kembali pada
akhir masa ijarah, bank dapat menyewakan kembali kepada pihak lain yang berminat atau
menjual barang itu dengan memperoleh harga atas penjualan barang bekas (second hand)
tersebut.
b. Al-Ijarah al-Muntahia bit-Tamlik
Transaksi yang disebut dengan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik (IMBT) adalah sejenis
perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri
dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula
yang membedakan dengan ijarah biasa. Ijarah yang juga disebut ijarah wa iqtina ini
merupakan konsep hire purchase, yang oleh lembaga-lembaga keuangan Islam disebut lease-
purchase financing. Ijarah wa iqtina adalah suatu gabungan dari kegiatan leasing atas barang-
barang bergerak (movable) dan barang- barng tidak bergerak (immovable) dengan
memberikan kepada penyewa (lessee) suatu pilihan atau opsi (option) untuk akhirnya
membeli barang yang disewa. Berbeda dengan ijarah, pada akhir masa perjanjian kepemilikan
atas barang tersebut dapat beralih kepada penyewa (nasabah bank) apabila nasabah bank yang
bersangkutan menggunakan hak opsinya untuk membeli barang itu. Namun, apabila nasabah
bank tidak menggunakan hak opsinya, kepemilikan barang itu tetap berada ditangan bank.19
Ijarah muntahia bit-tamlik ini dulunya tidak dikenal oleh ilmuwan-ilmuwan muslim
tradisonal, sekalipun sebenarnya tidak terdapat hal yang melanggar hukum (unlawful) pada
penggabungan dua konsep yang melembaga itu, yaitu lease dan option, asalkan riba dihindari
dan asalkan riba bukan merupakan tujuan dari para pihak yang membuat perjanjian itu.
Praktek sewa-menyewa dalam transaksi umum masyarakat tidak disertai dengan
pemindahan hak milik. Apabila disertai dengan pemindahan hak milik maka transaksinya
disebut perjanjian sewa – beli. Terhadap perjanjian sewa – beli (leasing) umumnya pemberian
jasa pembiayaan diberikan oleh lembaga keuangan non – bank/ finance. Pada praktek
perbankan syariah, akad sewa-menyewa disebut Ijarah. Akad sewa-menyewa (ijarah ) pada
perbankan syariah pada perkembangannya dapat disertai dengan pemindahan hak milik yang

20
disebut sebagai Ijarah Muntahiyyah bit-Tamlik (IMBT). Walaupun seperti terlihat mirip
dengan Leasing pada praktek pembiayaan konvensional, tetapi pada perbankan syariah
terdapat pembedaan, yaitu jika obyek leasing hanya berlaku pada manfaat barang saja,
sedangkan pada Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik obyeknya bisa berupa barang maupun jasa/
tenaga kerja.

II.3. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
Al-ijarah adalah akad pemindahan kepemilikan atas suatu barang atau jasa dalam waktu
tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri.
Konsep al-ijarah dalam perbankan syariah sama seperti sewa-menyewa pada
umumnya, namun yang membedakannya adalah bahwa pada perbankan syariah ada suatu
sewa yang pada akhir masa kontrak, diberikan pilihan kepada nasabah untuk memiliki barang
tersebut atau tidak, yang biasa disebut dengan sewa beli, dan hal ini belum pernah terjadi di
masa awal Islam.

III. JIALAH
III.1. Pengertian
Secara bahasa, makna al Ju’alah di dalam al Mu’jam al Wasith sebagai berikut:
‫ما جعل على العمل من أجر أو رشوة‬
“apa saja yang dijadikan upah atau sogokan”
Adapun di dalam Kamus al Bisri1. Kalimat al-Ju’alah berarti (‫الجائزة‬/hadiah/persen)
dan juga berarti (‫العمولة‬/ komisi). Sedangkan Wahbah al Zuhaili2 mendefinisikan al-Ju’alah
secara bahasa sebagai berikut.
‫ الوعد بالجائزة‬:‫ وتسمى عند القننيين‬.‫هي ما جعل لإلنسان على فعل شيء أو ما يعطاه لإلنسان على أمر يفعله‬
“al-Ju’alah adalah apa saja yang dijadikan (imbalan) bagi seseorang atas suatu pekerjaan
atau apa saja yang diberikan seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Dalam
istilah perundang-undangan, hal itu dinamakan dengan perjanjian yang berimbalan hadiah.”

1
Adib Bisri, Kamus al Bisri, Pustaka Progresif, 1999
2
Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Dar al Fikr, Beirut, 2004)

21
Jadi, secara bahasa makna al Ju’alah adalah upah/imbalan atas suatu perjanjian dalam
sebuah muamalah.3 Wahbah al Zuhaili dalam kitabnya mendefinisikan al Ju’alah dengan
ungkapan sebagai berikut:
‫التزام عوض معلوم على عمل معين أو مجهول عسر عمله‬
“Kesepakatan memberikan imbalan atas suatu pekerjaan tertentu atau pekerjaan yang belum
pasti bisa dilaksanakan.”
Sayyid Sabiq4 mendefinisikan al Ju’alah yaitu:
‫ الجعالة عقد على منفعة يظن حصولها كمن يلتزم بجعل‬.
“al Ju’alah adalah akad atas suatu manfaat yang diperkirakan akan mendapatkan imbalan
sebagaimana yang dijanjikan atas suatu pekerjaan.”
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ju’alah merupakan perjanjian upah dari
pihak yang pertama kepada pihak yang kedua akan pelaksanaan dalam tugas/pelayanan yang
telah dikerjakan oleh pihak kedua untuk keuntungan pihak pertama.5
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 62/DSN-MUI/Xii/2007 Tentang Akad Ju’alah, dalam
fatwa ini yang dimaksud dengan Ju’alah sebagai berikut:6
a. Ju’alah merupakan janji untuk memberikan upah (reward/’iwadh//ju’l) tertentu akan
pencapaian dari hasil (natijah) yang telah ditentukan dalam suatu pekerjaan.
b. Ja’il merupakan pihak yang mau berjanji akan menyerahkan upah tertentu akan
pencapaian dari hasil pekerjaan (natijah) yang telah ditentukan.
c. Maj’ul lah merupakan pihak yang akan mengerjakan Ju’alah.

III.1.B. Dasar hukum Ju’alah


‫ع ا ْل َم ِل ِك َو ِل َم ْن َج ۤا َء بِ ٖه ِح ْم ُل بَ ِعي ٍْر َّواَنَ ۠ا بِ ٖه َز ِعيْم‬ ُ ‫قَالُ ْوا َن ْف ِق ُد‬
َ ‫ص َوا‬
Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya". (QS. Yusuf: 72)
Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa dibolehkan dari akad Ju’alah ini dikarenakan
telah terlihat dalam ayat tersebut pekerjaan sayembara (Ju’alah).
Dalam hukum menyebutkan imbalan Ju’alah hanya akan berhak diterima oleh pihak maj’ul
lahu kalau hasil dari pekerjaan terpenuhi sesuai target, dan pihak Ja’il wajib memberikan

3
Dr. Mustofa Dieb Al Bigha, Fiqh Islam, Insan Amanah, Surabaya, 1424H, hlm. 271.
4
Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Muasasah al Risalah Nasyirun, Beirut, 2008. Hlm. 235
5
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenada Media grup, 2012), hlm. 314
6
Fatwa DSN No: 62/DSN-MUI/Xii/2007 Tentang Akad Ju’alah, hlm. 4

22
imbalan yang telah diperjanjikannya kalau pihak maj’ullah berhasil menyelesaikan
(memenuhi) target (hasil pekerjaan/natijah) yang telah ditawarkan.7

Rukun ju’alah ada empat yaitu:8


a. Kedua belah pihak yang berakad (aqidain)
b. Ucapan (shighat)
c. Pekerjaan
d. Upah (iwadh)
Syarat ju’alah sebagai berikut:9
a. Pihak penyelenggara merupakan orang yang tidak terikat dalam mengelola harta
benda. Maka tidak boleh jika pelaku dari kelompok anak kecil, gila ataupun orang
yang terbatasi oleh sebab tidak bisa dalam mengelola harta.
b. Inisiatif dari pihak penyelenggara acara, tidak dalam unsur pemaksaan.
c. Peserta sayembara mengetahui dengan jelas adanya sayembara tersebut.
d. Peserta sayembara yang ditentukan termasuk dalam golongan orang yang tanggap
dalam melakukan pekerjaan.
Selain itu ada juga ketentuan lainnya akan akad ju’alah ini, akad ju’alah diperbolehkan
dikerjakan dalam memenuhi kebutuhan pekerjaan dalam bidang jasa sebagaimana yang
dimaksud dalam penjelasan di atas dengan ketentuan sebagai berikut:10
a. Pihak Ja’il wajib mempunyai ketanggapan hukum dan kewenangan (muthlaq al-
tasharruf) untuk mengerjakan akad.
b. Objek Ju’alah (mahal al-‘aqd/maj’ul ‘alaih) wajib berupa pekerjaan yang dibolehkan
oleh syariah, serta tidak mempunyai dampak akibat yang dilarang.
c. Hasil dari pekerjaan (natijah) harus jelas dan telah diketahui oleh pihak pada saat
penawaran.
d. Imbalan Ju’alah (reward/’iwadh//ju’l) wajib ditentukan semua besarannya oleh Ja’il
dan diketahui semua pihak pada saat penawaran.
e. Tidak dibolehkan adanya syarat imbalan diserahkan di muka (sebelum pelaksanaan
objek Ju’alah).

7
DSN, Op. Cit., hlm. 5
8
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010), hlm. 374
9
Ibid., hlm. 374.
10
Fatwa DSN, Op. Cit., hlm. 5

23
III.2. Persamaan dan Perbedaan Antara Ju’alah Dengan Ijarah (Sewa-Menyewa).
Dalam literatur-literatur fiqh, pembahasan Ju’alah senantiasa beriringan dengan
pembahasan ijarah dan laqathah. Memang jika kita cermati, Ju’alah hampir mirip dengan
ijarah (sewa –menyewa). Atau dari sisi yang lain Ju’alah memiliki kesamaan dengan masalah
laqathah (penemuan barang yang hilang). Secara ringkas persamaan antara Ju’alah dan
Ijarah adalah:
1. Keduanya terdapat akad menyewa tenaga untuk melakukan suatu pekerjaan yang
mubah.
2. Keduanya wajib memberikan upah/imbalan yang dijanjikanketika pekerjaan yang
dimaksud telah selesai.
3. Imbalan/upah yang diberikan sudah jelas sebelum akad dimulai dan bukan berupa
upah yang dilarang oleh syariat.
Selain itu, Ju’alah juga mirip dengan laqathah, karena biasanya Ju’alah digunakan untuk
mencari barang-barang yang hilang atau mengerjakan sesuatu yang belum pasti bisa
dikerjakan oleh orang tertentu.
Adapun perbedaannya, Wahbah al Zuhaili menjelaskan empat perbedaan antara Ju’alah
dan sewa-menyewa. Adapun perbedaan tersebut yaitu:
1. Ju’alah tetap sah dilakukan dengan seseorang yang masih belum jelas. Sedangkan
sewa-menyewa tidak sah jika dilakukan dengan seseorang yang masih belum jelas.
2. Dibolehkan Ju’alah dalam pekerjaan yang masih belum pasti, sedangkan sewa-
menyewa tidak sah jika dilakukan atas pekerjaan yang belum jelas.
3. Tidak disyariatkan dalam Ju’alah ucapan qabul dari pelaku karena dia merupakan
upaya yang dilakukan atas keinginan pribadi. Sedangkan sewa-menyewa tidak sah
kecuali harus ada ucapan qabul dari pihak penyewa karena diamelibatkan antara dua
belah pihak secara langsung.
4. Ju’alah adalah akad yang sifatnya boleh dan tidak mengikat. Sedangkan sewa
menyewa sifatnya lazim antar dua belah pihak dan tidak bisa dibatalkan kecuali
dengan ridha kedua belah pihak.
5. Dalam Ju’alah imbalan tidak bisa diraih kecuali setelah selesainya amal. Seandainya
mensyaratkan upah terlebih dahulu, maka akad Ju’alah nya rusak. Adapun dalam
sewa menyewa dibolehkan mempersyaratkan upah terlebih dahulu.

24
Adapun perbedaan antara al Ju’alah danbarang temuan/Luqathah11 pada 2 hal mendasar
berikut ini:
1. Dalam Ju’alah dipersyaratkan adanya penjamin pemberi imbalan serta bentuk imbalan
yang jelas atas suatu amal. Sedangkan dalam Laqathah imbalan tidak dipersyaratkan.
Hal tersebut kembali pada pemilik barang. Jika berkenan memberi imbalan dan jika
tidak maka tidak dilarang.
2. Dalam Ju’alah terdapat shighat dan dalam laqathah tidak terdapat shighat.

DAFTAR PUSTAKA
Salim Segaf al-Jufri, Ar-Riba wa Adhraruhu alal Mujtama’ Al-Islami, 1400 H, hlm. 219
Muhammad Syauqi al-Fanjari, Al-Islam wa at-Ta’mi, Riyadh, 1994, hlm. 23
Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta : Graha Ilmu,
2010), Cet 1, h. 97
Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta:kencana,2010),
Cet ke-1, h. 151.
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Intermedia, 1995), Cet. 2, h. 274.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya,1999),
Cet ke-2, h. 6.
Muhammad Syakir Sula, Op., Cit., h. 246.
Departemen agama Ri, al-quran dan terjemahan, (penegoro: Al-Hikmah 2007), h .548.
Ahmad Mudjsb, Hadist-Hadist Mutafalah, (Jakarta Kencana, 2004), h. 254.
Ali Yafie, Asuransi dalam Pandangan Islam, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung : Mizan,
1994), h. 211-212.
Muhammad Syakir Sula, Op., cit., h. 61.
Muhammad Syakir Sula, Ibid., h. 61.
Ali Yafie, Ibid., h. 216-217.
Muslehuddin, Muhammad Insurance and Islamic Law, (Delhi : Makazi Maktaba Islami,
1995), h. 145-146.
Hamid Hisan Husin, Hukmu Asy-Syari’ah Al-Islamiyah Fii ‘Uquudi At-Ta’min, t.th., Kairo,
h. 84.

Luqathah adalah harta yang hilang dari pemiliknya (‫ )المال الضائع من ربه‬Muwafaqudin bin Ahmad bin
11

Muhammad bin Qudamah, Almughniy, Dar 'Alam al Kutub, Riyadh, 1998, Cet.3, Jilid. 8, hlm. 290

25
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah ,(Jakarta : Raja Grafindo persada,2008), Cet, ke-2. h. 311.
Muhammad Syakir Sula,op.cit,.h.74
Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari'ah
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 51/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Mudharabah
Musytarakah Pada Asuransi Syariah
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 52/DSN-MUI/III/2006Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah
Pada Asuransi Syari’ah Dan Reasuransi Syari’ah
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Tabarru’Pada
Asuransi Syari’ah
Hasan Ali, 2004, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Kencana, Jakarta.
Muhammad Syakir Sula, (2004), Asuransi Syari'ah; Konsep dan Sistem Operasional, Gema
Insani, Jakarta
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 Tentaang Penerapan Prinsip Dasar
Penyelenggaraan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah
Undang Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian

Al-Bukhari. Sahih al-Bukhari, Juz IV, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992.
Chairi, Zulfi. Pelaksanaan Kredit Perbankan Syariah Manurut UU No. 10 Tahun 1998 e-usu
Repository 2005
Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Mahkota Surabaya, 1989 Haroen,
Nasrun. Fiqh Muamalah, Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Ibnu Qudama. al-Mugni, Jilid V, Riyadh: al-Haditsah, t.th.
Jamaa, La. “Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqasid al-Syari’ah,” Jurnal Asy-
Syir’ah, Vol. 45, No. II, Juli-Desember 2011.
Khathib, asy-Syarbaini. Mugni al- Muhtaj, Jilid II Beirut: Dar al-Fikr, 1978
Karim, Adiwarman A. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Cet.I; Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006
Al-Kasani. al- Bada’i’u al-Sana’i, Jilid IV Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Lamandasa, Raimond Flora. Artikel Hukum Dalam Makalah Hukum Perbankan Syariah
Universitas Gajah Mada: 2008 (www.google.com)
Manan, Abdul. Ekonomi Islam, Teori dan Praktek, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
2007
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Jilid 13, Diterjemahkan oleh Kamaludin A. dan Marzuki,
Bandung: PT al Ma’arif, 2007

26
Shalahuddin, M. Asas-Asas Ekonomi Islam, Ed. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Cet.IV; Yogyakarta: Ekonisia, 2007.
Syahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Grafiti; 1999
al-Zuhaili, Wahhab. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid IV, Beirut: Dar al Fikr, 1984

27

You might also like