You are on page 1of 20

MAKALAH PENYAKIT LEPTOSPIROSIS

Dosen pembimbing

Rojali, SKM,M. Epid

Disusun Kelompok 12:

Dea Syakilla Syafitri (P21335120009)


Muhammad Rafli A (P21335120024)
Rahmat Hamdhani (P21335120031)

Program Studi Sanitasi Lingkungan

2 D-IV Kesehatan Lingkungan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAKARTA II

Jl. Hang Jebat III No.4 No.8, RT.4/RW.8, Gunung, Kec. Kby. Baru,

Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12120

2021
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulispanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang
telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulisdapat menyelesaikan makalah yang berjudul
tentang “LEPTOSPIROSIS” yang merupakan salah satu tugas untuk mata kuliah Penyakit
Berbasis Lingkungan pada semester ketiga.

Kami juga berterimakasih kepada Bapak Rojali SKM, M. Epid yang telah memberikan
tugas makalah ini sehingga pengetahuan penulisdalam penulisan makalah ini semakin bertambah
dan hal itu sangat bermanfaat bagi penulis di kemudian hari.

Penulismenyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun
demikian telah memberikan manfaat bagi penulis. Akhir kata penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulisterima
dengan senang hati.

Jakarta, 2021

Penulis

i
ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang................................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................................3
1.3 Tujuan..............................................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................................5
2.1 Agen Penyebab.................................................................................................................................5
2.2 Karakteristik perjalanan penyakit Leptospirosis.........................................................................6
2.3 Riwayat Perjalanan penyakit Leptospirosis..................................................................................8
2.4 Epidemiologi..................................................................................................................................10
2.5 Peranan Lingkungan.....................................................................................................................11
2.6 Upaya Pencegahan Penularan Penyakit Leptospirosis...............................................................12
BAB III PENUTUP..................................................................................................................................15
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................................15
3.2 Saran...............................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................17

iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Penyakit berbasis lingkungan merupakan ilmu yang mempelajari penyakit yang


terjadi di masyarakat yang berhubungan dengan lingkungan. Salah satu penyakit berbasis
lingkungan ialah leptospirosis. Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Leptospira. Bakteri ini dapat menyebar melalui urine atau darah hewan yang terinfeksi.
Beberapa hewan yang bisa menjadi perantara penyebaran leptospirosis adalah tikus, sapi,
anjing, dan babi. Leptospirosis menyebar melalui air atau tanah yang telah terkontaminasi
urine hewan pembawa bakteri Leptospira. Seseorang dapat terserang leptospirosis, jika
terkena urine hewan tersebut, atau kontak dengan air atau tanah yang telah terkontaminasi.

Leptospirosis tersebar luas di negara-negara yang beriklim tropis termasuk Indonesia.


Kondisi lingkungan di wilayah tropis sangat mendukung penyebaran bakteri Leptospira,
karena bakteri ini cocok hidup pada lingkungan dengan temperatur hangat, pH air dan tanah
netral, kelembaban dan curah hujan yang tinggi. Terlebih jika kondisi lingkungan dalam
keadaan yang buruk yang mendukung perkembangan dan lama hidup bakteri. Di wilayah
Asia Pasifik leptospirosis di kategorikan sebagai penyakit yang ditularkan melalui media air
(water borne disease), terlebih air yang sudah terkontaminasi oleh bakteri Leptospira.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja agen penyebab leptospirosis?


2. Apa saja karakteristik penyebab leptospirosis?
3. Bagaimana riwayat perjalanan penyakit leptospirosis?
4. Bagaimana epidemiologi leptospirosis?
5. Bagaimana perananan lingkungan dengan penyakit diare6.Bagaimana cara upaya
pencegahan penyakit leptospirosis?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan agen penyebab leptospirosis


4

2. Menjelaskan karakteristik penyebab leptospirosis

3. Menjelaskan riwayat perjalanan penyakit leptospirosis

4. Menjelaskan epidemiologi leptospirosis

5. Menjelaskan peranan lingkungan dengan penyakit leptospirosis

6. Menjelaskan cara upaya pencegahan penyakit leptospirosis


BAB II PEMBAHASAN

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan binatang.
Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia. Termasuk
penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan
nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir.

Dibeberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic,


demam lumpur, penyakit swinherd, demam rawa, penyakit weil, demam canicola.
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme
berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan
berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever,
Infectious jaundice, Field fever, Cane cutter dan lain-lain.

2.1 Agen Penyebab

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme


berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira. Pembawa leptospirosis
adalah bakteri berbentuk spiral berpilin yang masuk dalam genus Leptospira. 15 Bakteri ini
bersifat komensal pada hewan dan secara alamiah memang berada di tubulus ginjal dan
saluran kelamin hewan tertentu. Bakteri Leptospira memiliki dua lapis membran, berbentuk
spiral, lentur, tipis dengan tebal 0,1 µm dan panjang 10-20 µm. Pada kedua ujungnya
terdapat kait berupa flagelum periplasmik. Bergerak maju mundur dan memutar sepanjang
sumbunya. Bakteri ini dapat hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan dan
peka terhadap asam. Dalam air laut, air selokan dan air kemih yang pekat, bakteri ini akan
cepat mati.

Berdasarkan strainnya, bakteri Leptospira dibedakan menjadi strain yang patogen dan
nonpatogen. Leptospira patogen dikenal sebagai L. interrogans, sedangkan yang non-patogen
dikenal sebagai L. biflexa
6

2.2 Karakteristik perjalanan penyakit Leptospirosis

Karakteristik perjalanan penyakit leptospirosis ialah bifasik. 3 Masa inkubasi


leptospirosis berkisar 2 - 26 hari, dengan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai tiga fase
penyakit yang khas yaitu:

1. Fase Leptospiremia

Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala, nyeri otot,
hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi relatif, ikterus, injeksi silier mata.
Fase ini berlangsung 4- 9 hari dan berakhir dengan menghilangnya gejala klinis untuk
sementara.

2. Fase Imun

Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran klinis


bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi ginjal dan hati, serta
gangguan hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan.

3. Fase Penyembuhan

Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas. Gejala
klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah, nyeri otot,
ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta splenomegali.

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk
pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini
menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik.

a) Leptospirosis anikterik

Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau
tinggi yang umumnya bersifat remiten, nyeri kepala, menggigil serta mialgia. Nyeri
7

kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital
dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini
diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase pada sebagian besar
kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk
membantu diagnosis klinis leptospirosis. Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien
kadang kadang mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan oleh
sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan
nyeri tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali dan rash
macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan
iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.

Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik


yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Dalam fase
leptospiremia, bakteri Leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal, tetapi
dalam minggu kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi ( fase
imun ). Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat karena
keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat sembuh
sendiri ( self - limited ) dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang dalam waktu
2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut lain,
maka pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik harus
dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di daerah endemik.

Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of unknown origin


di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding
leptospirosis anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus seperti
influenza, HIV serocon version, infeksi dengue, infeksi hanta virus, hepatitis virus,
infeksi mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid,
bruselosis, riketsiosis dan malaria.

b) Leptospirosis Ikterik

Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gagal


ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas
8

penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun
menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya
fase imun juga dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah bakteri Leptospira yang
menginfeksi, status imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatan memperoleh
terapi yang tepat.

2.3 Riwayat Perjalanan penyakit Leptospirosis


Leptospirosis berdasarkan cara penularan merupakan direct zoonosis karena tidak
memerlukan vektor. Leptospirosis juga digolongkan sebagai amfiksenose karena jalur
penularan dapat dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Penularan leptospirosis pada
manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman Leptospira. Hewan pejamu kuman
Leptospira adalah hewan peliharaan seperti babi, lembu, kambing, kucing, anjing, kelompok
unggas serta beberapa hewan liar. Pejamu resevoar utama adalah roden. Kuman Leptospira
hidup didalam ginjal pejamu reservoar dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih. Manusia
merupakan hospes insidentil seperti pada gambar berikut :

Menurut Saroso (2003) penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak
langsung yaitu :

1. Penularan secara langsung dapat terjadi :


a. Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman Leptospira
masuk kedalam tubuh pejamu.
b. Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi pada orang yang
merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan,
atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
c. Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan seksual
pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin melalui sawar
plasenta dan air susu ibu.
2. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :
a. Genangan air.
b. Sungai atau badan air.
c. Danau.
d. Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
9

e. Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah.

Berdasarkan gejala dan tanda yang dittimbulkan tergantung kepada berat ringannya
infeksi, maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan saja. Penderita
mampu segera mambentuk antibodi (zat kekebalan). Sehingga mampu menghadapi bakteri
Leptospira, bahkan penderita dapat menjadi sembuh (Dharmojono, 2002).

Gejala klinis dari Leptospirosis pada manusia menurut Widoyono (2008) bisa
dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu:

1. Stadium Pertama (leptospiremia)


1) Demam, menggigil
2) Sakit kepala
3) Bercak merah pada kulit
4) Malaise dan muntah
5) Konjungtivis serta kemerahan pada mata
6) Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala gejala tersebut akan
tampak antara 4-9 hari.
2. Stadium Kedua
1) Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh penderita
2) Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding pada stadium
pertama antara lain ikterus (kekuningan)
3) Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan terjadi
meningitis
4) Biasanya fase ini berlangsung selama 4-30 hari.
3. Stadium Ketiga Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala
klinis pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi Leptospirosis dapat
menimbulkan gejala-gejala berikut:
1) Pada ginjal, renal failure yang dapat menyebabkan kematian
2) Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi yang erat
hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva hemorrhagic
3) Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan keenam dengan
adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak
10

4) Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yang dapat
menyebabkan kematian mendadak
5) Pada paru-paru, hemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada, respiratory
distress dan cyanosis
6) Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage) dari saluran
pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalia
7) Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan kecacatan
pada bayi

Menurut dr. Faisal Yatim (2007) penderita leptospirosis pada manusia bisa tanpa
keluhan. Akan tetapi ditemukan memperlihatkan gejala antara lain:

a. Demam biasanya dengan menggigil


b. Sakit kepala yang berat
c. Nyeri otot
d. Muntah-muntah
e. Kuning kulit dan putih mata
f. Mata merah
g. Nyeri perut
h. Diare dan bercak merah pada kulit

2.4 Epidemiologi
Leptospirosis tersebar luas di negara-negara yang beriklim tropis termasuk Indonesia.
Kondisi lingkungan di wilayah tropis sangat mendukung penyebaran bakteri Leptospira,
karena bakteri ini cocok hidup pada lingkungan dengan temperatur hangat, pH air dan tanah
netral, kelembaban dan curah hujan yang tinggi. Terlebih jika kondisi lingkungan dalam
keadaan yang buruk yang mendukung perkembangan dan lama hidup bakteri. Di wilayah
Asia Pasifik leptospirosis di kategorikan sebagai penyakit yang ditularkan melalui media air
(water borne disease), terlebih air yang sudah terkontaminasi oleh bakteri Leptospira.

Laporan dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa
Case Fatality Rate (CFR) tertinggi kasus leptospirosis pada tahun 2016 ada di Provinsi
Banten sebesar 60%, Daerah Istimewa Yogyakarta 35,29% dan Jawa Tengah 18,29%.
Leptospirosis terjadi jika ada kontak antara manusia dengan hewan atau lingkungan yang
11

sudah terinfeksi bakteri Leptospira. Manifestasi leptospirosis ini beragam mulai dari gejala
demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal.

Sedangkan hewan yang terinfeksi oleh leptospira belum tentu tampak dalam kondisi
sakit, karena bakteri ini bersifat komensal pada beberapa jenis hewan termasuk tikus yang
dikenal sebagi reservoir leptospirosis di Indonesia. Secara alamiah leptospirosis terjadi
karena adanya interaksi yang sangat kompleks dan beragam antara agent (pembawa
penyakit), host (tuan tumah/pejamu) dan environment (lingkungan).

2.5 Peranan Lingkungan


Environment atau lingkungan adalah faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi
pembawa penyakit dan memberikan kesempatan pada pembawa penyakit untuk
menyebarkan penyakit, termasuk faktor fisik, biologi dan sosial ekonomi. Penyakit
leptospirosis ini biasanya terjadi pada wilayah tropis dan subtropis yang memiliki curah
hujan tinggi, udara yang hangat dan lembab serta biasanya terjadi setelah banjir berlangsung.
Biasanya setelah banjir berakhir, manusia dan binatang akan terpapar oleh air maupun tanah
yang terkontaminasi bakteri Leptospira.

Lingkungan dengan genangan air di sekitar rumah berhubungan dengan kejadian


leptospirosis, selain itu, rumah dengan dinding dapur bukan dari tembok, tidak ada langit-
langit di rumah, tempat sampah terbuka, kondisi rumah yang tidak rapi juga berhubungan
dengan kejadian leptospirosis dan daerah yang rawan banjir. Manusia dan binatang dapat
terinfeksi oleh bakteri ini melalui kontak antara kulit atau mukosa dengan air maupun tanah
yang mengandung urin binatang yang terinfeksi oleh bakteri ini. Infeksi juga dapat terjadi
jika manusia mengkonsumsi air ataupun makanan yang sudah terkontaminasi oleh bakteri
Leptospira. Bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka yang ada di
kulit, membran mukosa (hidung, mulut dan mata), atau bahkan melalui air minum. Setelah
masuk ke dalam tubuh manusia, bakteri ini berada di dalam darah dan menyerang jaringan
dan organ tubuh.

Faktor-faktor resiko terinfeksi kuman Leptospira, bila kontak langsung atau terpajan
air atau rawa yang terkontaminasi yaitu :
12

1) Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman Leptospira atau urin tikus saat banjir.
2) Pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung.
3) Mencuci atau mandi disungai atau danau.
4) Tukang kebun atau pekerjaan di perkebunan.
5) Petani tanpa alas kaki di sawah.
6) Pembersih selokan.
7) Pekerja potong hewan, tukang daging yang terpajan saat memotong hewan.
8) Peternak, pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena menangani
ternak atau hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan mati, menolong
hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti plasenta, cairan amnion dan
bila kontak dengan percikan infeksius saat hewan berkemih.
9) Pekerja tambang.
10) Pemancing ikan, pekerja tambak udang atau ikan tawar.
11) Anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan.
12) Tempat rekreasi di air tawar : berenang, arum jeram dan olah raga air lain, trilomba
juang (triathlon), memasuki gua, mendaki gunung. Infeksi leptospirosis di Indonesia
umumnya dengan perantara tikus jenis Rattus norvegicus (tikus selokan), Rattus
diardii (tikus ladang), dan Rattus exulans Suncu murinus (cecurt).

2.6 Upaya Pencegahan Penularan Penyakit Leptospirosis


Menurut Saroso (2003) pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan
melalui tiga jalur yang meliputi :

1. Jalur sumber infeksi


a. Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
b. Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin,
atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan
cara pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.
c. Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
d. Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum
dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber
13

penampungan air, perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa
makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus.
e. Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan
memelihara lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan
semak berlukar, menjaga sanitasi, khususnya dengan membangun sarana
pembuangan limbah dan kamar mandi yang baik, dan menyediakan air minum
yang bersih.
f. Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.
g. Membuang kotoran hewan peliharaan sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan kontaminasi, misalnya dengan pemberian desinfektan.

2. Jalur penularan Penularan dapat dicegah dengan :


a. Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron,
masker).
b. Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
c. Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin,
tanah, dan air yang terkontaminasi.
d. Menumbuhkan kesadaran terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah
atau mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol,
tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih)
dengan tangan tanpa perlindungan, dan jangan menolong persalinan hewan tanpa
sarung tangan.
e. Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan
urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan
terinfeksi saat merawat hewan yang sakit
f. Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan
lantai kandang, rumah potong hewan dan lain lain.
g. Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang
baik, filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman Leptospira.
14

h. Menurunkan pH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk atau bahan -
bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman Leptospira berkurang.
i. Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genangan air
dan sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman Leptospira.
j. Manajemen ternak yang baik.

3. Jalur pejamu manusia


a. Menumbuhkan sikap waspada
Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok
resiko tinggi terinfeksi kuman Leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek
penyakit leptospira, cara- cara menghindari pajanan dan segera ke sarana
kesehatan bila di duga terinfeksi kuman Leptospira.
b. Melakukan upaya edukasi
Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan
cara-cara edukasi yang meliputi :
1) Memberikan selebaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian,
institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit
leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis, terapi dan cara mencengah
pajanan. Dicatumkan pula nomor telepon yang dapat dihubungi untuk
informasi lebih lanjut.
2) Melakukan penyebaran informasi.
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan
binatang. Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia.
Leptospirosis disebabkan oleh mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang
dinamakan Leptospira. Leptospirosis memiliki tiga fase penyakit yang khas yaitu fase
leptospiremia, fase imun, dan fase penyembuhan. Menurut berat ringannya, leptospirosis
dibagi menjadi ringan dan berat yaitu penyakit leptospirosis anikterik (non ikterik) dan
leptospirosis ikterik.

Leptospirosis berdasarkan cara penularan merupakan direct zoonosis karena tidak


memerlukan vektor. Leptospirosis juga digolongkan sebagai amfiksenose karena jalur
penularan dapat dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Penularan leptospirosis pada
manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman Leptospira. Hewan pejamu kuman
Leptospira adalah hewan peliharaan seperti babi, lembu, kambing, kucing, anjing,
kelompok unggas serta beberapa hewan liar. Penularan nya bisa secara langsung maupun
tidak langsung.

Penyakit leptospirosis ini biasanya terjadi pada wilayah tropis dan subtropis yang
memiliki curah hujan tinggi, udara yang hangat dan lembab serta biasanya terjadi setelah
banjir berlangsung. Biasanya setelah banjir berakhir, manusia dan binatang akan terpapar
oleh air maupun tanah yang terkontaminasi bakteri Leptospira. Bakteri Leptospira masuk
ke dalam tubuh manusia melalui luka yang ada di kulit, membran mukosa (hidung, mulut
dan mata), atau bahkan melalui air minum. Dan untuk pencegahan penuklaran penyakit
leptospirosis bisa dengan mengontrol jalur sumber infeksi, jalur penularan, dan jalur
pejamun manusianya.
16

3.2 Saran

Leptospirosis merupakan penyaki t berbasis lingkungan yang dapat menyebabkan


kematian, setaip tahunnya selalu ada kasus tentang penyakitLeptospirosis. Leptospirosis
dapat menular dikarenakan faktor perilaku manuisa dan lingkungan seperti tertular
kepada masusia dan binatang, maka dari itu diperlukan upaya untuk menjaga lingkungan
agar tetap bersih dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.
DAFTAR PUSTAKA

Riyaningsih, dkk. 2012. Faktor Risiko Lingkungan Kejadian Leptospirosis di Jawa Tengah
(Jurnal). Semarang : Universitas Diponogoro Saroso, S. 2003.

Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit.


Jakarta : Departemen Kesehatan R.I

Wening, Widjajanti. 2019. Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan Leptospirosis. JHECDs, 5


(2), 2019 hal. 62-68.

Alib Birwin, Buchari Lapau. 2018. Pendekatan Epidemiologi Mengatasi Masalah Superbakteri
Melalui Puskesmas Dan Rumah Sakit. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat (Journal of
Public Health Sciences) Volume 7, Nomor 2, Tahun 2018

Novie H. Rampengan. 2016. Leptospirosis. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 8, Nomor 3,


November 2016, hlm. 143-150
18

You might also like