You are on page 1of 14

DIKTAT

NUTRISI TANAMAN LANJUTAN


“Perakitan Genetika Benih Penjenis Tanaman Padi Tahan Simpan (BS90)”

Oleh:
Anggi M Marsusyi, S.P
A1L012156

PROGRAM PASCA SARJANA BIOTEKNOLOGI PERTANIAN


UNITED NATIONS (UN)
UNIVERSITY OF NEW SOUTH WALES (UNSW)
SIDNEY, AUSTRALIA
2023

1
I. KATA PENGANTAR

A. Latar Belakang
Diktat mengenai Perakitan Genetika Benih Penjenis Tanaman Padi Tahan Simpan
(BS90) disusun guna memenuhi prasyarat tugas pengganti mata kuliah Nutrisi Tanaman
Lanjutan Program Pasca Sarjana Bioteknologi Pertanian. Metode penyusunan mengacu
kepada Reference Research Techniques (RRT). Sitiran berdasarkan kaidah penulisan yang
tercantum dalam Culture of Scientific Writing Techniques (CSWT) University of New
South Wales, Sidney.
Pada Diktat ini memuat penjelasan dan keterangan sesuai dengan kriteria tugas
mata kuliah Nutrisi Tanaman Lanjutan pada jenjang Magister Jurusan Bioteknologi
Pertanian, meliputi definisi dan klasifikasi benih, penanganan benih padi, teknik
perakitan genetika benih penjenis tanaman padi (BS) tahan mutasi, stabil viabilitas, dan
tinggi kekebalan genetik.

B. Tujuan
Menyajikan tugas mata kuliah nutrisi tanaman lanjutan pada jenjang Magister
Jurusan Bioteknologi Pertanian, meliputi definisi dan klasifikasi benih, penanganan benih
padi, teknik perakitan genetika benih penjenis tanaman padi (BS) tahan mutasi, stabil
viabilitas, dan tinggi kekebalan genetik.

2
II. DEFINISI DAN KLASIFIKASI BENIH

Menurut Griffin et. al. (2002) benih adalah tanaman atau bagianya yang digunakan
untuk memperbanyak dan atau untuk berkembang biak, baik berwujud biji maupun
bahan-bahan tanaman lain seperti stek, cangkokan, sambungan, semai, siungan, rimpang,
dan plantlet pada perbiakan mikro.
Menurut Hoftstein and Lunetta (2003) klasifikasi benih dalam sertifikasi benih
diantaranya Benih Penjenis, Benih Dasar, Benih Pokok, dan Benih Sebar.
a. Benih Penjenis (Breeders seed)
Menurut Clarke et. al. (2012) benih penjenis adalah benih yang di produksi dan
diawasi oleh peneliti dan laboran mahir tingkat nasional dan merupakan sumber untuk
perbanyakan benih dasar.

Gambar 1. Label benih penjenis.


b. Benih Dasar (Foundation Seed)
Menurut Alvarez and Risko (2007) benih dasar adalah keturunan pertama dari benih
penjenis yang di produksi di bawah bimbingan intensif dan pangawasan ketat sehingga
kemurnian varietas yang tinggi dapat di pelihara. Benih dasar di produksi oleh instansi
atau badan yang di tetapkan oleh Direktorat Pembinaan mutu Benih.

Gambar 2. Label benih dasar.

3
c. Benih Pokok (Stock Seed)
Menurut Lagowski (2002) benih Pokok adalah keturunan dari benih dasar yang di
produksi dan di pelihara sedemikian rupa sehingga identitas dan tingkat kemurnian
varietas memenuhui standar mutu yang di tetapkan serta telah di sertifikasi sebagai benih
pokok.

Gambar 3. Label benih pokok.


d. Benih Sebar (Extension Seed)
Menurut Novak and Gowin (1985) benih sebar adalah keturunan dari benih pokok
yang di produksi atau di pelihara sedemikian rupa sehingga identitas maupun tingkat
kemurnian varietasnya memenuhi standar mutu untuk disebarkan.

Gambar 4. Label benih sebar.

4
III. BENIH PADI DAN PENANGANANNYA

Menurut Griffin et. al. (2002) tanaman padi berkembang biak dengan benih berupa
biji. Uji ketahanan benih pada penangkaran benih internasional paling lama hanya selama
60 (enam puluh) hari saja. Sejak tahun 1923, peneliti genetika terus berupaya untuk
menyematkan fragment khusus pada setiap varietas yang dibuat bertujuan untuk
memperpanjang masa simpan benih padi khususnya pada benih penjenis.
Menurut Frenkel and Wallen (2011) peningkatan masa simpan benih penjenis
tanaman padi hingga mencapai 90 hari (BS90) dapat dilakukan dengan beberapa metode
dengan tujuan membuat benih penjenis yang tahan terhadap mutasi, stabil viabilitas, dan
memiliki tingkat kekebalan genetika yang tinggi selama masa simpan.

5
IV. TEKNIK PERAKITAN GENETIKA BENIH PENJENIS PADI
TAHAN MUTASI

Menurut Alvarez and Risko (2007) mutasi adalah perubahan yang terjadi pada
bahan genetik baik pada tingkat gen maupun tingkat kromosom. Mutasi tingkat gen
disebut mutasi titik, sedangkan mutasi pada tingkat kromosom disebut aberasi. Benih
penjenis tanaman padi yang melewati masa simpan toleransi dapat terjadi mutasi,
sehingga merusak kemurnian dan berpotensi menurunkan kualitas padi yang akan
ditanam.
Menurut Robinson (2005) ketahanan benih penjenis tanaman padi terhadap mutasi
dapat dilakukan dengan menggunakan Teknik penggandaan ekspresi (Cloning
Expression). Teknik ini membahas tentang potongan DNA penyandi protein
ditransplantasikan pada suatu plasmid. Plasmid yang mengandung potongan DNA
tersebut disisipkan ke dalam sel bakteri atau virus. Penyisipan DNA ke dalam sel bakteri
disebut transformasi. Transformasi dilakukan dengan metode elektroforasi dan
mikroinjeksi, sebagai berikut:
a. Metode elektroforasi.
Elektroforasi merupakan metode penyisipan DNA menggunakan kejutan listrik
untuk memperbesar pori-pori membran sel sehingga meningkatkan permeabilitas
membran. Sel harus ditumbuhkan pada media hingga mencapai masa pertengahan fase
log, lalu sinyal elektrik menginduksi perbesaran pori-pori membran sehingga molekul
yang berukuran kecil seperti DNA dapat masuk. Metode elektroforasi memiliki tingkat
keberhasilan dan efisiensi lebih tinggi dibanding metode transformasi lainnya namun
memiliki risiko kematian sel bakteri lebih besar serta biayanya relatif mahal (Silberman,
2002). Elektroforasi Kit yang digunakan pada metode elektroforasi ditunjukan pada
Gambar 5.

6
Gambar 5. Elektroforasi kit (Frenkel and Wallen, 2011).
b. Metode mikroinjeksi.
Menurut Wendell et. al. (2007) mikroinjeksi merupakan teknik penyisipan DNA
yang digunakan pada proses penyisipan paksa (transgenesis). Teknik mikroinjeksi
dikembangakan dari teknik produksi organisme transgenik merupakan teknik yang umum
digunakan dalam introduksi gen pada tanaman. Gen yang akan diintroduksi disuntikan ke
sel mengunakan gelas pipet yang sangat kecil (diameter ujung jarum 0,05-0,15 mm).
Keunggulan metode ini adalah tingkat efisiensi lebih tinggi dibandingkan dengan metode
lainnya. Proses transgenesis DNA pada sel tanaman ditunjukan pada Gambar 6.

Gambar 6. Metode mikroinjeksi pada penyisipan DNA tanaman (Carin, 1997).


Setelah penyisipan DNA ke dalam sel, protein yang disandi oleh DNA
diekspresikan oleh sel tujuan. Berbagai teknik dapat dilakukan untuk membantu ekspresi
tersebut agar protein didapatkan dalam jumlah besar, misalnya inducible promoter dan
specific cell-signaling factor. Protein dalam jumlah besar tersebut kemudian diekstrak
pada sel bakteri (Elisabeth et. al., 2012).

7
V. TEKNIK PERAKITAN GENETIKA BENIH PENJENIS PADI
STABIL VIABILITAS

Menurut Pavelich and Abraham (1977), viabilitas adalah daya hidup benih yang
dapat menunjukkan proses pertumbuhan benih. Parameter viabilitas yang diamati dalam
penelitian adalah daya kecambah benih. Uji viabilitas menggunakan larutan tetrazolium.
Uji viabilitas selalu dilakukan oleh peneliti dan laboran mahir untuk mengetahui stabilitas
viabilitas suatu benih.
Menurut Hoftstein and Lunetta (2003) benih penjenis tanaman padi sangat penting
fungsi dan stabilitas viabilitasnya, karena merupakan benih turunan pertama sampai
menghasilkan benih sebar untuk didistribusikan. Masa simpan benih penjenis tanaman
padi umumnya hanya selama 45 hari saja. Setelah melewati masa simpan, terjadi
penurunan viabilitas benih penjenis tanaman padi dari semula 98% menjadi 54% saja.
Menurut Daly et. al. (2004), stabilitas viabilitas benih penjenis tanaman padi dapat
ditingkatkan dengan Teknik reaksi rantai polymerase (PCR), sehingga dapat
meningkatkan masa simpan benih tersebut.
Menurut Lumaret et. al. (1998) Polymerase chain reaction (PCR) merupakan teknik
yang sesuai untuk membuat salinan DNA. PCR memungkinkan sejumlah sekuens DNA
tertentu disalin (hingga jutaan kali) untuk diperbanyak sehingga dapat dianalisis atau
dimodifikasi. PCR dapat digunakan untuk menambahkan situs enzim restriksi atau untuk
mengubah basa tertentu pada DNA. PCR juga digunakan untuk mendeteksi keberadaan
sekuens DNA tertentu. Sehingga dapat meningkatan stabilitas viabilitas benih. PCR Kit
dalam laboratorium ditunjukan pada Gambar 7.

Gambar 7. PCR Kit analisis tanaman laboratorium pertanian (Tasker, 1992).

8
Menurut Millar (2004) PCR digunakan untuk memperbanyak DNA melibatkan
serangkaian siklus suhu yang berulang dan masing-masing siklus terdiri atas tiga tahapan
yaitu:
a. Denaturasi, proses pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal, cetakan
DNA (DNA template) dipisah pada suhu 94-96°C.
b. Annealing, proses penempelan atau hibridisasi antara primer dengan utas tunggal
cetakan DNA. Penurunan suhu dilakukan hingga mencapai 45-60°C.
c. Ekstensi atau elongasi, pemanjangan primer menjadi suatu utas DNA baru oleh
enzim DNA polimerase. Satu siklus PCR akan menggandakan jumlah molekul cetakan
DNA.

Gambar 8. Hasil running PCR dalam proses replikasi (Grupta, 2008).

9
VI. TEKNIK PERAKITAN GENETIKA BENIH PENJENIS PADI
TINGGI KEKEBALAN GENETIK

Menurut Mei et. al. (2007) kekebalan genetik adalah kemampuan suatu benih
penjenis tanaman untuk mempertahankan ekspresi gen dari perubahan yang terjadi secara
fisika meliputi cahaya, suhu, dan kelembapan. Kekebalan genetik hanya dipengaruhi oleh
sifat fisika, dan bukan karena perubahan akibat mutasi. Hal tersebut berkaitan dengan sel
benih yang merupakan susunan DNA hasil perakitan.
Menurut Clarke et. al. (2012) masa simpan benih penjenis tanaman padi lebih dari
45 hari dapat menyebabkan kerusakan fisik benih akibat menurunnya kekebalan genetik
benih tersebut. Kerusakan tersebut merupakan kerusakan yang fatal karena merusak
(lisis) jaringan dan penampilan benih, serta sudah dipastikan benih tersebut tidak
memiliki kemampuan tumbuh meskipun pada media atau lingkungan yang sesuai.
Menurut Lagowski (2002) kekebalan genetik benih penjenis tanaman padi dapat
ditingkatkan dengan Teknik elektroforesis gel, sebagai berikut:
a. Proses elektroforesis gel.
Menurut Pavelich and Abraham (1977) elektroforesis gel merupakan salah satu
teknik dalam biologi molekuler. Prinsip dasar eletroforesis gel adalah DNA, RNA, atau
protein dapat dipisahkan oleh medan listrik. Molekul-molekul tersebut dipisahkan
berdasarkan laju perpindahan oleh gaya gerak listrik di dalam matriks gel. Laju
perpindahan bergantung pada ukuran molekul. Elektroforesis gel dilakukan untuk tujuan
analisis dan digunakan sebagai teknik preparatif untuk memurnikan molekul.
Elektroforesil Gel Kit dalam laboratorium ditunjukan pada Gambar 9.

Gambar 9. Elektroforesis gel kit laboratorium (Mei et. al., 2007).

10
Gel yang digunakan merupakan polimer bertautan silang (crosslinked) yang
porositasnya dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Gel poliakrilamida digunakan untuk
memisahkan protein atau asam nukleat berukuran kecil (DNA, RNA atau
oligonukleotida). Gel poliakrilamida dibuat dengan konsentrasi berbeda-beda
menghasilkan jaringan poliakrilamida dengan ukuran rongga berbeda-beda (Afamasaga-
Futa’i, 2009).
Menurut Kalinowski (2012) proses elektroforesis sampel molekul ditempatkan ke
dalam sumur (well) pada gel yang ditempatkan di dalam larutan penyangga dan listrik
dialirkan kepadanya. Molekul-molekul sampel tersebut akan bergerak di dalam matriks
gel ke arah salah satu kutub listrik sesuai dengan muatannya. Arah pergerakan asam
nukleat menuju elektrode positif, disebabkan oleh muatan negatif alami pada rangka gula-
fosfat yang dimilikinya. Prinsip kerja teknik elektroforesis gel ditunjukan pada Gambar
10.

Gambar 10. Prinsip kerja elektroforesis gel (Kalinowski, 2012).


b. Pasca elektroforesis gel.
Menurut Benjamin et. al. (2009) setelah proses elektroforesis selesai, dilakukan
proses pewarnaan (staining) agar molekul sampel yang terpisah dapat dilihat. Proses ini
menggunakan Etidium bromida, perak, atau pewarna biru Coomassie (Coomassie blue).
Jika molekul sampel berpendar dalam sinar ultraviolet setelah diwarnai kemudian gel
difoto di bawah sinar ultraviolet.
Pita (band) pada lajur-lajur (lane) yang berbeda pada gel akan tampak setelah proses
pewarnaan. Pita-pita yang berjarak sama dari sumur gel pada akhir elektroforesis,
mengandung molekul-molekul yang bergerak dengan kecepatan yang sama, berarti
molekul-molekul tersebut berukuran sama. Marka atau penanda (marker) merupakan

11
campuran molekul dengan ukuran berbeda-beda dapat digunakan untuk menentukan
ukuran molekul dalam pita sampel. Pita lajur marka tersebut dibandingkan dengan pita
sampel untuk menentukan ukurannya (Hansen and Lovedahl, 2004). Proses pembacaan
hasil elektroforesis gel seperti pada Gambar 11.

Gambar 11. Pembacaan hasil elektroforesis gel (Chen et. al., 2011).

12
DAFTAR PUSTAKA

Afamasaga-Futa’i, K. (2009). Secondary Pre-service Teacher’s Use Of Vee diagram to


Analyse and Illustrate Multiple Solution. Methematics Education Research Journal
2008/2009, Vol.9, 15-29

Alvarez, M.C& Risko, VJ., (2007). The Use Of Veee diagrams With Third Graders As a
Metacognitive for Learning scinece concept [online].

Benjamin, Aronson, Silveira, Linda A., (2009). From Genes to Proteins to Behavior: A
Laboratory Project That Enhances Student Understanding in Cell andMolecular Biologi.
[online]. CBE—Life Sciences Education Vol. 8, 291–308.

Carin, A., (1997). Teaching Science Through Discovery. Columbus Ohio : Merril
Publishing Company

Chen,Z.Schiffman,M.Herrero. (2011). Evolution and Taxonomic Classification of


Human

Clarke MA, Wentzensen N, Mirabello L, Ghosh A, Wacholder S, Harari A, Lorincz A,


Schiffman M, Burk RD. (2012). Human papillomavirus DNA methylation as a potential
biomarker for cervical cancer.

Cox-Paulson E, Grana T.M.,Harris M.A., Batzli, J.M. (2012). Studying Human Disease
Genes in Caenorhabditis elegans: AMolecular Genetiks Laboratory Project. CBE—Life
Sciences Education, (11), 165–179.

Daly, M., Hearn, K., Muratoğlu, H., and Nalçacioğlu, R. 2004 Cloning and expression of
chitinase A, B, and C (chiA, ChiB, ChiC) genes from Serratia marcescens originating
from Helicoverpa armigera and determining their activities, Turkish Journal of Biology,
39(1), pp. 78–87. doi: 10.3906/biy-1404-31.

Elisabeth, P., C., Grana, T. M., Michell, H., B., J.M., (2012). Studying Human Disease
Genes in Caenorhabditis elegans: AMolecular Genetiks Laboratory Project. [online].
CBE—Life Sciences Education Vol. 11, 165–179.

Frenkel, J.R & Wallen. (2011). How To Design and Evaluate Research in Education. San
Fransisco: Universitas San Fransisco

Griffin, V., McMiller, T., Jones, E., and Johnson, C. M. , (2002). Identifying Novel
Helix–Loop–Helix Genes in Caenorhabditis elegans through a Classroom Demonstration
of Functional Genomics. [online]. CBE—Life Sciences Education Vol. 2, 51–62.

Grupta, A. (2008). Construction and Peer Collaboration in Elementary Mathematics


Education: The Connection to Estimology. Eurasia Journal of Mathematics, vol 4,
no.4,381-386.

13
Hansen, J.W. & Lovedahl, G. G., (2004). Developing Technology Teachers : Questio-
ning the Industrial Tool Use Model. Journal of Technology Education. 15 (2), 20 – 32

Hoftstein, A. & Lunetta, V. (2003). The Laboratory In Science Education: Foundation


For Twenty-Fist Century. Wily peridocals, Inc

Kalinowski, S (2012), Are Africans, Europeans, and Asians Different “Races”?A Guided-
Inquiry Lab for Introducing Undergraduate Students to Genetik Diversity and Preparing
Them to Study Natural Selection, [online]. CBE Life Sciences EducationVol 11, 142–
151.

Lagowski, J. J.,(2002) The Role Of The Laboratory In Chemical Education.Departemen


of Chemestry and Biochemistry. The University Of Texas at Austin

Lumaret, R., H. Michaud, J.P. Ripoll, and L. Toumi. (1998).Chloroplast DNA Extraction
Procedure For Species High Inphenolics And Polysaccharides. p. 15-17. In A. Karp,
P.G.Isaac, and D.S. Ingram (Eds.). Molecular Tool for Screening Biodiversity. Chapman
and Hall, London.

Mei L., F., Kevin. Eliceiri. Stewart, James. John. White. (2007). WormClassroom.org:
An Inquiry-rich Educational Web Portal for Research 113

Millar, R. (2004). The Role of Practical Work in The Teaching and Learning of Science:
Paper Prepared for The Meeting-High School Science Laboratories. Role and Vision
Departement of Educational Studies University of York.

Novak and Gowin. (1985). Learning how to learn. Cambridge; Cambridge University
Press.

Pavelich, M.J. & Abraham, M.R. (1977). An Inquiry Laboratories for General Chemistry
Student. Journal of College Science Teaching. 7(1): 23-26.

Robinson, T. R., (2005). Genetiks For Dummies. Wiley Publishing Inc. Indiana: 385.

Silberman, Mel. (2002). Active Learning: 101 Strategies to Teach any Subject. Boston:
Allyn and Bacon.

Tasker, R. (1992). Effective Teaching, What Can a Constructivist View of Learning


Offer? Australian Science Teacher Journal. Vol.38, No.1

Wendell, L., Douglas, Pickard, D. (2007). Teaching Human Genetiks with Mustard:
Rapid Cycling Brassica rapa (Fast Plants Type) as a Model for Human Genetiks in the
Classroom Laborator. [online]. CBE—Life Sciences Education Vol. 6, 179 –185.

14

You might also like