You are on page 1of 69

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM SOSIOLOGI PERTANIAN

IDENTIFIKASI KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT PETANI SAYUR


DI DUSUN KUNCI DESA WRINGIN ANOM

Oleh :
Teo Pilus Priyo Wibisono 175040200111087
Fenti Rahma Khoirunisa 175040207111039
Basta Ridho Sihombing 175040207111042
Ilham Prawira Hasbi 175040207111137
Kukuh Khumairo’ 175040207111152

Kelompok: I6
Kelas: I

LABORATORIUM SOSIOLOGI PEDESAAN DAN


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
MALANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM SOSIOLOGI PERTANIAN

IDENTIFIKASI KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT PETANI SAYUR


DUSUN KUNCI DESA WRINGIN ANOM

Disetujui,

Dosen Tutorial, Asisten Praktikum,

Vi’in Ayu Pertiwi, SP., MP Millat Hanif


NIK. 2016099004192001 NIM. 155040100111091

i
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur hanya bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kekuatan dan kesempatan kepada praktikan sehingga laporan besar
praktikum Sosiologi Pertanian ini akhirnya dapat terselesaikan dengan tepat
waktu. Laporan besar praktikum Sosiologi Pertanian merupakan pengungkapan
tentang hasil proses belajar mengajar yang telah diterapkan baik di dalam maupun
luar kelas. Di dalamnya akan tergambarkan konsep yang ada di dalam benak
mahasiswa melalui interpretasi data, Analisa data serta Teknik praktikan dalam
menyimpulkan data.
Laporan ini disusun berdasarkan format yang telah disepakati oleh penulis
laporan ini. Tim penyusun yang rata-rata masih minim pengalaman menulis
barangkali menemukan beberapa kendala dalam pengolahan serta penggunaan
Bahasa Indonesia yang sistematik, baku dan jelas dalam penulisan laporan ini.
Keterbatasan sumber acuan juga menjadi kendala dalam mengolah data yang
berhasil dihimpun praktikan untuk menyelesaikan laporan ini. Segala keterbatasan
yang mengiringi proses pembuatan laporan ini, penulis yakin hasil penilaian
laporan ini akan memberikan manfaat bagi semua orang baik secara moral
maupun akademis.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada
semua yang terlibat dalam proses rampungnya laporan ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Karena tiada yang sempurna kecuali Tuhan Yang Maha
Esa, penulis selalu mengharapkan kritik atau saran yang bersifat membangun.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat langsung bagi praktikan dan seluruh pihak
yang terlibat.

Malang, 7 Mei 2018

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................v
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vi
I. PENDAHULUAN ...............................................................................................7
1.1 Latar Belakang (Teo Pilus Priyo Wibisono)............................................ 7
1.2 Tujuan (Teo Pilus Priyo Wibisono) ......................................................... 7
1.3 Manfaat (Teo Pilus Priyo Wibisono) ....................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................9
2.1 Interaksi dan Proses Sosial (Kukuh Khumairo’) ..................................... 9
2.2 Komunitas Desa Pertanian (Fenti Rahma Khoirunisa) .......................... 13
2.3 Aset Komunitas (Fenti Rahma Khoirunisa) .......................................... 15
2.4 Kebudayaan dan Gender dalam Pertanian (Ilham Prawira Hasbi) ........ 16
2.5 Stratifikasi dan Diferensiasi Sosial (Ilham Prawira Hasbi) ................... 18
2.6 Kelompok Sosial dan Organisasi Sosial (Basta Ridho Sihombing) ...... 20
2.6.1 Kelompok sosial . ...................................................................... 20
2.6.2 Organisasi sosial........................................................................ 21
2.8 Perubahan Sosial Petani (Kukuh Khumairo’)........................................ 23
III. LOKASI DAN WAKTU PRAKTIKUM (Kukuh Khumairo’) .................28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................29
4.1 Identifikasi Petani (Teo Pilus Priyo Wibisono) ..................................... 29
4.2 Interaksi dan Proses Sosial (Kukuh Khumairo’) ................................... 32
4.3 Komunitas Desa Pertanian (Fenti Rahma Khoirunisa).......................... 33
4.4 Aset Komunitas (Fenti Rahma Khoirunisa) .......................................... 35
4.5 Kebudayaan dan Gender dalam Pertanian (Ilham Prawira Hasbi) ........ 38
4.6 Stratifikasi dan Diferensiasi Sosial (Ilham Prawira Hasbi) ................... 39
4.7 Kelompok Sosial dan Organisasi Sosial (Basta Ridho Sihombing) ...... 40
4.8 Lembaga atau Pranata Sosial (Basta Ridho Sihombing) ....................... 41
4.9 Perubahan Sosial Petani (Kukuh Khumairo’)........................................ 42
V. PENUTUP ........................................................................................................46
5.1 Kesimpulan (Fenti Rahma K. dan Kukuh Khumairo’).......................... 46
5.2 Saran (Fenti Rahma Khoirunisa) ........................................................... 46

iii
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................47
LAMPIRAN ..........................................................................................................49

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Petani 1 ................................................................................................ 29


Gambar 2. Petani 2 ................................................................................................ 30

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skrip Rekaman Wawancara.............................................................. 49


Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan ..................................................................... 68

vi
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang (Teo Pilus Priyo Wibisono)

Indonesia merupakan suatu negara agraris atau pertanian karena sebagian


besar penduduk Indonesia mempunyai pencaharian di bidang pertanian atau
bercocok tanam. Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat
dipisahkan dari sektor pertanian, karena sektor ini memiliki arti yang sangat
penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial
masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Menurut Lumintang (2013) sektor
pertanian merupakan sektor yang sangat penting peranannya dalam perekonomian
di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Hal
tersebut bisa kita lihat dengan jelas dari peranan sektor pertanian didalam
menampung penduduk serta memberikan kesempatan kerja kepada penduduk.
Pembangunan pertanian perlu mendapat perhatian yang lebih baik agar
perekonomian Indonesia dapat ditunjang
Saat ini, petani di Indonsia memiliki suatu ciri khas pada daerah yang
berbeda-beda. Hal ini dikarenakan setiap tempat memiliki suatu keadaan sosial
yang berbeda-beda. Keadaan sosial ini dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti
interaksi sosial yang terjadi di antara petani, kebudayaan yang dimiliki oleh
daerah tersebut, lingkungannya, dan yang lainnya. Semua itu akan mempengaruhi
keadaan petani sehingga menciptakan suatu ciri khas dalam pertanian di daerah
manapun. Kemampuan menganalisis tiap hal yang dimiliki oleh suatu desa untuk
mengetahui ciri khas pertanian di suatu tempat memerlukan suatu latihan agar
dapat menentukan ciri khas suatu daerah pertanian.
Praktikum Sosiologi Pertanian kali ini kami melakukan fieldtrip di Dusun
Kunci, Desa Wringin Anom dalam rangka memenuhi tugas akhir praktikum.
Kami mendatangi rumah warga yang telah dikoordinasikan sebelumnya dan
melakukan wawancara dengan mereka. Melalui wawancara ini dapat dipelajari
kehidupan sosial yang terjadi pada petani sayur di desa Wringin Anom.

1.2 Tujuan (Teo Pilus Priyo Wibisono)

Tujuan dibuatnya laporan ini adalah sebagai berikut:

7
1. Mengetahui interaksi dan proses sosial petani sayur kubis, cabai, dan kacang
panjang di Dusun Kunci, Desa Wringin Anom
2. Mengetahui komunitas petani sayur kubis, cabai, dan kacang panjang di
Dusun Kunci, Desa Wringin Anom
3. Mengetahui aset komunitas yang dimiliki petani sayur kubis, cabai, dan
kacang panjang di Dusun Kunci, Desa Wringin Anom
4. Mengetahui kebudayaan dan gender pada petani sayur kubis, cabai, dan
kacang panjang di Dusun Kunci, Desa Wringin Anom
5. Mengetahui stratifikasi dan diferensiasi sosial petani sayurkubis, cabai, dan
kacang panjang di Dusun Kunci, Desa Wringin Anom
6. Mengetahui kelompok sosial dan organisasi sosial yang dimiliki petani sayur
kubis, cabai, dan kacang panjang di Dusun Kunci, Desa Wringin Anom
7. Mengetahui lembaga atau pranata sosial yang ada petani sayur kubis, cabai,
dan kacang panjang di Dusun Kunci, Desa Wringin Anom
8. Mengetahui perubahan sosial petani yang terjadi pada petani sayur kubis,
cabai, dan kacang panjang di Dusun Kunci, Desa Wringin Anom

1.3 Manfaat (Teo Pilus Priyo Wibisono)

Manfaat praktikum Sosiologi Pertanian ini bagi mahasiswa terutama


penulis, yaitu dapat menganalisis kondisi pertanian dan kehidupan yang ada di
Desa Wringin Anom, sedangkan bagi pembaca, dapat mengetahui bagaimana
kondisi pertanian dan kehidupan petani di Desa Wringin Anom.

8
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi dan Proses Sosial (Kukuh Khumairo’)

Interaksi sosial menurut Walgito (2010) merupakan hubungan antara


individu satu dengan individu lain, individu satu dapat mempengaruhi individu
yang lain atau sebaliknya, sehingga terdapat hubungan yang saling timbal balik.
Hubungan tersebut dapat terjadi antara individu dengan individu, individu dengan
kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Adapun Soekanto (2013)
menyebutkan bahwa interaksi sosial meliputi hubungan-hubungan sosial yang
dinamis, melibatkan hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-
kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia.
Bentuknya tidak hanya bersifat kerjasama, tetapi juga berbentuk tindakan,
persaingan, pertikaian, dan sejenisnya.
Interaksi sosial menurut Soekanto (2013) dapat terjadi dan berlangsung jika
memilikibeberapa aspek berikut:
a. Kontak sosial, merupakan hubungan sosial yang terjadi antara individu satu
dengan yang lain. Kontak yang terjadi biasanya berupa fisik, namun ada juga
secara simbolik seperti tersenyum dan berjabat tangan. Terjadinya kontak dapat
menimbulkan kesan positif atau negatif. Kontak sosial positif dapat megarah pada
kerjasama sedangkan kontak sosial negatif biasanya menimbulkan suatu
pertentangan.
b. Komunikasi, merupakan penyampaian informasi, ide, konsepsi, pengetahuan,
dan perbuatan kepada seseorang secara timbal balik sebagai penyampai atau
komunikator maupun penerima atau komunikan. Tujuan utama komunikasi adalah
menciptakan keharmonisan bersama dengan maksud untuk memengaruhi pikiran
atau tingkah laku seseorang ke arah positif.
Soekanto (2013) mengemukakan bahwa terdapat dua macam proses sosial
yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu:
a. Proses Asosiatif, merupakan interaksi sosial yang terjadi dengan tujuan atau
menghasilkan suatu hal yang positif. Bentuk proses asosiatif meliputi kerjasama,
akomodasi, dan asimilasi. Kerjasama menurut Samani (2012) merupakan tindakan
atau sikap mau bekerjasama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama

9
dan keuntungan bersama. Johnson (2011) menambahi bahwa kerjasama dapat
menghilangkan hambatan mental akibat terbatasnya pengalaman dan cara
pandang yang sempit. Berkerjasama dalam menyelesaikan permasalahan dapat
membuat sebuah masalah menjadi tantangan yang harus dipecahkan secara
bersama. Kerjasama terjadi secara alami, suatu kelompok dapat maju dengan baik
apabila ada kerjasama yang baik pula antar semua anggota kelompok. Sementara
itu, Soekanto (2013) menyebutkan kerjasama timbul apabila orang menyadari
bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama dan pada saat bersamaan
mempunyai cukup pengetahuan dan untuk memenuhi kepentingan tersebut.
Kesadaran akan adanya kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan
fakta penting dalam kerjasama yang berguna.
Soekanto (2013) menyebutkan bahwa akomodasi digambarkan sebagai
suatu proses dalam hubungan sosial yang sama artinya dengan adaptasi sebagai
wujud untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lebih lanjut lagi
akomodasi dimaksudkan sebagai suatu proses di mana orang atau kelompok
manusia yang mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk
mengatasi ketegangan. Demikian dapat disimpulkan bahwa akomodasi merupaka
suatu keadaan di mana suatu pertikaian atau konflik yang menuju suatu
penyelesaian, menjalin kerjasama yang baik kembali.
Asimilasi menurut Lefudin (2017) adalah proses kognitif di mana seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema
atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu
proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian yang telah
ada. Asimilasi dapat juga diartikan sebagai salah satu proses individu dalam
mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru.
Adapun akulturasi menurut Fathoni (2006) yaitu proses yang timbul bila
suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaannya dihadapkan dengan
kebudayaan asing, sehingga mereka dapat menyikapi dengan menerima dan
diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya ciri dari
kebudayaan asli. Hal ini misalnya, masyarakat pendatang berkomunikasi dengan
masyarakat setempat dalam acara syukuran. Secara tidak langsung masyarakat
pendatang berkomunikasi berdasarkan kebudayaan tertentu milik mereka untuk

10
menjalin kerja sama atau mempengaruhi kebudayaan setempat tanpa
menghilangkan kebudayaan setempat.
Sapardi (2006) menjelaskan bahwa proses akulturasi bisa terjadi karena:
1. Proses akulturasi bisa dimulai dari golongan atas yang tinggal di kota,
kemudian menyebar ke golongan-golongan yang lebih rendah di daerah pedesaan.
Proses ini biasanya dimulai dari perubahan sosial ekonomi.
2. Perubahan dalam sektor ekonomi ini dapat menyebabkan perubahan yang
penting dalam kehidupan berkeluarga.
3. Penanaman tanaman untuk ekspor (komoditi perdagangan) dan perkembangan
ekonomi uang merusak pola-pola gotong royong tradisional, karena
berkembangnya sistem pengerahan tenaga kerja yang baru.
4. Perkembangan sistem ekonomi uang juga menyebabkan perubahan dalam
kebiasaan-kebiasaan makan yang berakibat pada aspek gizi ekonomi dan sosial
budaya.
5. Proses akulturasi yang berkembang cepat menyebabkan berbagai pergeseran
sosial yang tidak seragam dalam semua unsur dan sektor masyarakat. Oleh karena
itu terjadi kesenjangan masyarakat yang berpotensi untuk mengalami konflik
sosial dalam masyarakat.
6. Gerakan-gerakan nasionalisme juga dapat dianggap sebagai salat satu tahap
dalam proses akulturasi.
b. Proses Disasosiatif, merupakan interaksi sosial yang terjadi dengan tujuan atau
menghasilkan suatu hal negatif seperti pertentangan, persaingan, dan kontravensi.
Pertentangan atau konflik secara sederhana merujuk pada adanya dua hal
atau lebih yang sifatnya berseberangan, tidak selaras, dan berlawanan (Ahmadi,
2009). Gillin dan Gillin (dalam Ahmadi, 2009) melihat konflik sebagai bagian
dari proses interaksi sosial manusia yang saling berlawanan. Hal ini dapat
diartikan bahwa konflik dianggap sebagai bagian dari sebuah proses interaksi
sosial yang terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan baik fisik, emosi
kebudayaan, dan perilaku. Di sisi lain pertentangan menurut Soekanto (2013)
merupakan suatu proses sosial yang melibatkan individu atau kelompok untuk
memenuhi tujuannya dengan menempuh jalan menantang pihak lawan yang
disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. Pertentangan dapat terjadi karena

11
adanya perbedaan pemikiran, kebudayaan, kepentingan, maupun perubahan sosial.
Soekanto juga menambahkan bahwa pertentangan dapat menghasilkan kerjasama.
Hal ini bermula saat masing-masing pihak akan saling instropeksi kemudian
mengadakan perbaikan-perbaikan. Namun pada kenyataannya kebanyakan
pertentangan menimbulkan konflik antara dua individu atau kelompok.
Konflik dapat terjadi melalui beberapa tahap menurut Robbin dan Judge
(2008) yaitu:
1. Potensi pertentangan atau ketidakselarasan, yaitu dapat dipengaruhi oleh tiga
hal seperti komuniakasi, struktur, dan variabel-variabel pribadi. Komunikasi dapat
terhambat jika seseorang dalam berkomunikasi menggunakan kata-kata yang tidak
umum sehingga lawan bicara memiliki interpretasi yang berbeda atau terjadinya
gangguan saat pertukaran informasi yang menyebebkan penerimaan informasi
yang berbeda-beda. Selain komunikais, struktur yang dimaksud mencakup
variabel-variabel seperti ukuran, kadar spesialisasi dalam tugas-tugas yang
diberikan kepada anggota kelompok. Varibael-variabel pribadi yang dimaksud di
sini meliputi kepribadian, emosi, dan nilai-nilai. Tingkat emosi yang tinggi, sifat
pribadi yang otoriter, dan perbedaan nilai-nilai yang dianut tiap orang dapat
memicu terjadinya konflik.
2. Kognisi dan personalisasi yang didefinisikan sebagai tahap di mana para pihak
mulai memutuskan konflik yang terjadi yang selanjutnya ini akan menjadi
penentuan untuk penyelesaian konflik.
3. Maksud, yaitu keputusan untuk bertindak dengan cara tertentu. Terdapat lima
keputusan untuk bertindak, yaitu bersaing, berkerja sama, menghindar ,
akomodatif, dan kompromis.
4. Perilaku yang merupakan pernyataan, aksi, dan reaksi yang dibuat oleh pihak-
pihak yang berkonflik.
5. Akibat yang ditimbulkan dari aksi dan reaksi menghasilkan konsekuensi. Hal
ini dapat menimbulakn akibat fungsional (menghasilkan perbaikan kinerja
kelompok) atau akibat disfungsional (menghambat kinerja kelompok).
Persaingan berasal dari bahasa Inggris yaitu competition yang artinya
persaingan itu sendiri atau kegiatan bersaing, pertandingan, dan kompetisi.
Persaingan adalah ketika organisasi atau perorangan berlomba untuk mencapai

12
tujuan yang diinginkan seperti konsumen, pangsa pasar, atau sumber daya yang
dibutuhkan. Secara umum persaingan meliputi perseteruan atau rivalitas antar
seseorang yang secara independen berusaha mendapatkan sesuatu dengan
berbagai cara dan usaha (Nuthqiyah, 2016).
Kontravensi menurut Setiadi (2011) pada hakekatnya merupakan suatu
bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau
pertikaian. Kontravensi ini ditandai dengan adanya gejala-gejala ketidakpastian
mengenai diri seseorang dan perasaan tidak suka yang disembunyikan. Perasaan
seperti ini akan berkembang menjadi sebuah kemungkinan, kegunaan, keharusan,
atau penilaian terhadap suatu usul, buah pikiran, kepercayaan, atau rencana yang
dikemukakan perorangan atau kelompok.

2.2 Komunitas Desa Pertanian (Fenti Rahma Khoirunisa)

Menurut Kertajaya (2008), komunitas memiliki pengertian sekelompok


orang yang saling peduli satu sama lain, dimana dalam sebuah komunitas terjadi
relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya
kesamaan minat dan ketertarikan pada suatu hal. Menurut Widyatmanti (2008),
pengertian desa adalah kumpulan permukiman pada suatu wilayah pedesaan yang
mempunyai sistem pemerintahan sendiri. Sistem ini tidak melibatkan campur
tangan atau pengawasan dari pemerintah. Oleh karena itu, biasanya desa memiliki
aturan dan kepercayaan yang terkadang tidak tertulis dalam waktu yang lama
(turun-temurun). Beberapa penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian dari komunitas desa pertanian yaitu kumpulan permukiman pada suatu
wilayah pedesaan yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri yang saling
peduli satu sama lain, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang
erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan minat dan
ketertarikan pada suatu hal dalam pekerjaan seperti di bidang pertanian.
Menurut Soekanto (1990), tipe-tipe komunitas desa terdiri dari 4 kriteria
seperti berikut :
1. Jumlah Penduduk
2. Luas, kekayaan dan kepadatan daerah
3. Fungsi-fungsi khusus terhadap masyarakat
4. Organisasi komunitas yang bersangkutan

13
Suatu desa dapat dikatakan memiliki komunitas apabila memenuhi beberapa
unsur-unsur berikut :
1. Manusia (people)
Manusia adalah makhluk yang memiliki raga atau jasmani dan jiwa atau
rohani. Jika dilihat dari segi jasmani dan segi rohani, apabila saling terkait satu
samalain maka akan menghasilkan kehendak yang kemudian menjadi sikap
tindak. Manusia memiliki naluri untuk saling berhubungan dengan sesamanya.
Hubungan yang terbentuk inilah yang nantinya akan membuat pola yang
dinamakan interaksi sosial (Soekanto, 1990).
2. Kelompok Sosial (social grup)
Menurut Cooley (Soekanto, 1990) kelompok sosial yang merupakan
kelompok sosial primer adalah kelompok yang memiliki ciri-ciri saling mengenal
antar anggotanya dan bersifat pribadi. Oleh karena itu, hasil dari peleburan
individu-individu yang bersifat pribadi ke dalam kelompok-kelompok dapat
membuat tujuan individu menjadi tujuan kelompok. Menurut Soekanto (1990),
kelompok sosial yang merupakan kelompok sekunder adalah kelompok-kelompok
besar yang terdiri dari banyak orang yang di dalamnya tidak mengenal secara
pribadi dan bersifat sementara atau tidak langgeng.
3. Kebudayaan
Menurut Bagus (2005), kebudayaan merupakan suatu hal yang di dalamnya
mencakup adat-istiadat, nilai sosial dan norma sosial. Adat-istiadat diartikan
sebagai praktik-praktik yang berdasarkan kebiasan, baik bagi perorangan maupun
kelompok. Sementara itu menurut Tylor (dalam Soekanto,1990), kebudayaan
adalah suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, keprcayaan, kesnian, moral,
adat istiadat, hukum dan kemampuan serta kebiasan-kebiasaan lainnya yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
4. Teritorial (teritority)
Suatu kawasan wilayah sebagai tempat kediaman suatu masyarakat dengan
jangka waktu yang lama dan memiliki batas-batas geografis yang jelas.
5. Status dan Peran
Status atau kedudukan merupakan posisi atau derajat sesorang dalam suatu
kelompok sosial.

14
2.3 Aset Komunitas (Fenti Rahma Khoirunisa)

Menurut Adi (2008), aset komunitas menjelaskan mengenai aset yang


terdapat pada setiap masyarakat yang bisa menjadi kelebihan maupun kekurangan
suatu masyarakat. Dari sisi lain, berbagai bentuk modal masyarakat juga dapat
menjadi suatu potensi dalam masyarakat tetapi dapat pula menjadi kelemahan
masyarakat tersebut. Dengan adanya aset komunitas maka dapat memberikan
kemudahan bagi masyarakat dalam meningkatkan kualitas dan menunjang
kehidupannya. Berikut beberapa aset komunitas, yaitu:
1. Modal Manusia
Modal ini mewakili beberapa unsur pengetahuan, keahlian, mentalitas,
pendidikan, kemampuan kerja, dan kesehatan masyarakat yang dapat berguna
untuk meningkatkan kualitas hidup suatu masyarakat. Tanpa adanya modal
manusia, maka suatu komunitas tidak dapat berjalan dengan baik sebagaimana
mestinya. Oleh karena itu modal ini sangatlah penting untuk mewujudkan suatu
kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat.
2. Modal Fisik
Modal ini mewakili unsur bangunan seperti perumahan, pasar, rumah sakit,
sekolah dan sebagainya. Sedangkan unsur infrastruktur dasar seperti jalan,
jembatan, jaringan telefon dan sebagainya yang merupakan sarana dalam
membantu suatu mastarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Oleh karena
itu, dengan adanya modal ini dapat menunjang keberhasilan hidup suatu
masyarakat.
3. Modal Finansial
Modal ini mewakili unsur sumber keuangan seperti penghasilan, tabungan,
pinjaman modal usaha, saham dan sebagainya. Apabila modal ini tidak terdapat di
dalam suatu komunitas, maka akan menyebabkan terhambatnya kesejahteraan
bagi kehidupan suatu masyarakat. Oleh karena itu, modal ini sangatlah penting
untuk menunjang dan menyejahterakan kehidupan suatu masyarakat tersebut.
4. Modal Teknologi
Modal ini mewakili modal fisik seperti teknologi pengairan sawah,
teknologi penyaringan air dan berbagai teknologi lainnya yang digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adanya modal ini dapat membantu

15
kebutuhan dan keperluan suatu masyarakat. Apabila modal ini tidak ada di dalam
suatu komunitas, maka pekerjaan suatu masyarakat akan menjadi lebih lama dan
terhambat.
5. Modal Lingkungan
Modal lingkungan merupakan aset komunitas desa yang
pentingkeberadaannya. Modal lingkungan dapat berupa sumber daya alam dan
hayati yang dapat menunjang kehidupan masyarakat. Oleh karena itu dengan
adanya modal lingkungan, maka dapat tercapainya kesejahteraan masyarakat.
6. Modal Sosial
Modal ini mewakili sumberdaya sosial seperti jaringan sosial, kepercayaan
sosial, ikatan sosial dan lain sebagainya. Sehingga dapat bermanfaat untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ada di
dalam masyarakat. Jenis-jenis dari modal sosial dapat berupa kepercayaan, norma-
norma sosial, kerjasama dan lain sebagainya.

2.4 Kebudayaan dan Gender dalam Pertanian (Ilham Prawira Hasbi)

Menurut Koentjaranigrat (2009), kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan


dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Fakih (2008)
mengemukakan bahwa gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.
Perubahan ciri dan sifat-sifat yang terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat lainnya disebut konsep gender. Santrock (2009) mengemukakan bahwa
istilah gender dan seks memiliki perbedaan dari segi dimensi. Istilah seks (jenis
kelamin) mengacu pada dimensi biologis seorang laki-laki dan perempuan,
sedangkan gender mengacu pada dimensi sosial budaya seorang laki-laki dan
perempuan.
Budaya dan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya itu terikat oleh waktu.
Budaya akan berubah, seberapa lambat dari perubahan tersebut. Kecepatan atau
kelambanan perubahannya itu antara lain bergantung dari seberapa besar
intensitas interaksinya terhadap budaya lainnya. Suatu budaya atau kebudayaan
yang lemah atau sebagai minoritas semisalnya atau komunitas yang memiliki
percaya diri yang sering berinteraksi dengan kebudayaan yang lain di mana

16
kebudayaan tersebut lebih kuat, dominan dan maju itu akan cepat mengalami
perubahan karena disebabkan pengaruh budaya luar.
Sebagian besar kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi oleh kebudayaan yang
bersumber dari masyarakat itu sendiri. Adapun fungsi kebudayaan menurut
Koentjaranigrat (2009) antara lain :
1. Hasil karya manusia menghasilkan teknologi atau kebudayaan kebendaan.
2. Kehendak masyarakat untuk mewujudkan norma dan nilai-nilai sosial di mana
dapat menghasilkan tata tertib dalam pergaulan di masyarakat.
3. Terdapat pola-pola perilaku , yang merupakan cara masyarakat untuk bertindak
atau berkelakuan yang sama, di mana harus diikuti oleh semua masyarakat.
Sementara itu Koentjaranigrat (2009) kembali menyebutkan bahwa gerak
atau dinamika kebudyaan memiliki pengertian bahwa semua kebudayaan
mempunyai gerak. Gerak kebudayaan sebenarnya adalah gerak manusia di
masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan. Gerak manusia ini terjadi karena
manusia mengadakan hubungan dengan manusia lainnya. Hal ini dapat diartikan
bahwa gerak manusia terjadi karena hubungan antar kelompok manusia di dalam
masyarakat.
Wujud kebudayaan menurut Santrock (2009) terbagi menjadi 3 yaitu:
1. Gagasan
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-
ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya
abstrak tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam
kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut
menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari
kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para
penulis warga masyarakat tersebut.
2. Aktivitas
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem
sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling
berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut
pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.

17
3. Artefak
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau
hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret
di antara ketiga wujud kebudayaan. Kenyataan yang terjadi pada kehidupan
bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari
wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh wujud kebudayaan ideal mengatur
dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

2.5 Stratifikasi dan Diferensiasi Sosial (Ilham Prawira Hasbi)

Menurut Asih (2009), stratifikasi sosial adalah sebuah konsep yang


menunjukkan adanya pembedaan dan/atau pengelompokan suatu kelompok sosial
(komunitas) secara bertingkat. Misalnya dalam komunitas tersebut ada strata
tinggi, strata sedang, dan strata rendah. Pembedaan dan/atau pengelompokan ini
didasarkan pada adanya suatu simbol-simbol tertentu yang dianggap berharga atau
bernilai, baik berharga atau bernilai secara sosial, ekonomi, politik, hukum,
budaya maupun dimensi lainnya dalam suatu kelompok sosial. Simbol-simbol
tersebut misalnya, kekayaan, pendidikan, jabatan, kesalehan dalam beragama, dan
pekerjaan. Dengan kata lain, selama dalam suatu kelompok sosial pasti ada
sesuatu yang dianggap berharga atau bernilai, maka selama itu pula akan ada
stratifikasi sosial dalam kelompok sosial (komunitas) tersebut.
Menurut Hertati (2010), diferensiasi adalah klasifikasi terhadap perbedaan-
perbedaan yang biasanya sama. Pengertian sama disini menunjukkan pada
penggolongan atau klasifikasi masyarakat secara horizontal, mendatar, atau
sejajar. Asumsinya adalah tidak ada golongan dari pembagian tersebut yang lebih
tinggi daripada golongan lainnya. Pengelompokan horizontal yang didasarkan
pada perbedaan ras, etnis (suku bangsa), klan dan agama disebut kemajemukan
sosial, sedangkan pengelompokan berdasarkan perbedaan profesi dan jenis
kelamin disebut heterogenitas sosial.
Asih (2009) kembali menyebutkan mengenai proses terbentuknya
stratifikasi sosial. Sistem lapisan dalam masyarakat terjadi dengan sendirinya
sesuai dengan pertumbuhan masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi, lapisan
atau stratifikasi sosial ini dapat terjadi dengan sengaja yang disusun untuk tujuan

18
bersama. Alasan terbentuknya lapisan masyarakat tanpa disengaja, seperti tingkat
kepandaian seseorang, usia, dekatnya hubungan kekerabatan dengan orang yang
dihormati, atau mungkin harta yang dimiliki seseorang, bergantung pada
masyarakat yang bersangkutan dalam memegang nilai dan norma sosial sesuai
dengan tujuan masyarakat itu sendiri.
Stratifikasi sosial yang dibentuk dengan sengaja, berhubungan dengan
pembagian kekuasaan dan wewenang secara resmi dalam organisasi-organisasi
formal, seperti organisasi pemerintahan, partai politik, militer, dan organisasi
sosial lain yang dibentuk berdasarkan tingkat tertentu. Sistem pelapisan sosial ini
sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu. Stratifikasi sosial yang terdapat
pada masyarakat dapat menyangkut pembagian uang, tanah, kehormatan, dan
benda-benda yang memiliki nilai ekonomis. Uang dapat dibagi secara bebas di
antara anggota suatu organisasi berdasarkan kepangkatan dan ukuran senioritas,
tanpa merusak keutuhan organisasi yang bersangkutan (Asih, 2009).
Kedudukan atau status diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam
suatu kelompok sosial. Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang dalam
suatu pola tertentu. Dengan demikian, seseorang dikatakan mempunyai beberapa
kedudukan, oleh karena seseorang biasanya ikut serta dalam berbagai pola
kehidupan. Pengertian tersebut menunjukkan tempatnya sehubungan dengan
kerangka masyarakat secara menyeluruh. Apabila dipisahkan dari individu yang
memilikinya, kedudukan hanya merupakan kumpulan hak-hak dan kewajiban.
Karena hak dan kewajiban yang dimaksud hanya dapat terlaksana melalui
perantara individu, maka agak sukar untuk memisahkan secara tegas antara
pengertian status dan status sosial (Soekanto, 1990).
Ada beberapa cara seseorang mendapatkan status sosial di masyarakat
menurut Asih (2009) yaitu :
1. Ascribed status yaitu status yang diperoleh oleh seseorang secara otomatis
berdasarkan kelahiran atau keturunan.
2. Achieved status yaitu status yang diperoleh oleh seseorang dengan usaha-usaha
yang telah ia kerjakan.
3. Assigned status yaitu status yang diberikan kepada seseorang karena telah
berjasa kepada masyarakat.

19
2.6 Kelompok Sosial dan Organisasi Sosial (Basta Ridho Sihombing)

2.6.1 Kelompok sosial .


Menurut Lukmana (2017) kelompok sosial yaitu himpunan atau kesatuan
manusia yang hidup bersama karena saling berhubungan di antara mereka secara
timbal balik dan saling mempengaruhi satu sama lain. Menurut Sari (2015) secara
umum kelompok sosial diikat oleh beberapa faktor yaitu :
1. Bagi anggota kelompok harus memiliki suatu tujuan yang realistis, sederhana
dan memiliki nilai keuntungan bagi pribadi anggota kelompok.
2. Kepemimpinan dalam kelompok berperan dalam menentukan kekuatan ikatan
antar anggotanya.
3. Interaksi dalam kelompok merupakan alat perekat yang baik dalam membina
kesatuan dan persatuan anggotanya.
Menurut Sari (2015), syarat-syarat pembentukan kelompok antara lain :
1. Seseorang menggabungkan diri dalam kelompok untuk memenuhi tujuannya.
2. Adanya kontak dan interaksi yang memberikan kepada individu untuk
menemukan kebutuhan dan kepuasan yang dapat dicapai melalui sosialisasi
dengan orang lain.
3. Tarikan interpersonal (interpersonal attraction) adalah daya tarik fisik,
kesamaan sikap, kesamaan kepribadian, kesamaan ekonomi, kesamaan rasial,
memahami kemampuan orang dan kebutuhann untuk kerukunan dan
keharmonisan.
4. Individu berkeinginan untuk bersosialisasi dengan orang lain.
5. Seseorang menggabungkan diri kedalam kelompok apabila mereka
menganggap bahwa aktivitas kelompok menarik atau memberikan imbalan.
6. Seserorang akan menggabungkan diri dalam kelompok, apabila dia menilai
baik pada kelompoknya.
7. Ada kebutuhan untuk berbisnis yang menyebabkan keanggotaan didalam
kelompok memberikan suatu imbalan yang lebih besar kerjasama daripada kalau
bekerja sendiri-sendiri.
Menurut Sari (2015) macam-macam kelompok sosial yaitu :
1. Kelompok primer (primary group).

20
Artinya suatu kelompok dimana anggota mempunyai hubungan atau
interaksi yang lebih intensif dan lebih erat antara anggotanya. Contoh : keluarga.
2. Kelompok sekunder (secondary group)
Suatu kelompok dimana anggota mengadakan hubungan yang tidak
langsung, berjauhan dan formal, kurang bersifat kekluargaan. Contoh : partai
politik, perhimpunan serikat kerja, dan organisasi profesi.
3. Kelompok stabil
Kelompok yang strukturnya tidak berubah dalam jangka waktu yang cukup
lama.
4. Kelompok tidak stabil
Kelompok yang mengalami perubahan secara progresif.

2.6.2 Organisasi sosial


Menurut Gunawan dan Muthar (2010) organisasi sosial didefinisikan
sebagai suatu perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai
sarana partisipasi masyarakat dalam melaksanakan usaha kesejahteraan sosial.
Organisasi sosial merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan
kesejahteraan sosial.
Ciri-ciri organisasi sosial menurut Limbeng dan Muchtadin (2011) yaitu:
1. Formalitas, menunjuk pada adanya perumusan tertulis pada peraturan,
ketetapan, prosedur, kebijaksanaan, dan tujuan.
2. Hierarki, menunjuk pada adanya suatu pola kekuasaan dan wewenang. Hal ini
berarti ada orang-rang tertentu yang memiliki kedudukan dan kekuasaan serta
wewenang yang lebih tinggi daripada anggota biasa pada organisasi tersebut.
3. Memiliki identitas yang jelas, identitas berkaitan dengan informasi mengenai
organisasi, tujuan pembentukan, tempat berdirinya, dan lain sebagainya.
4. Keanggotaan yang formal, status, dan peran. Pada setiap anggota memiliki
peran serta tugas masing-masing sesuai dengan batasan yang telah disepakati
bersama.
Jadi dapat disimpulkan perbedaan kelompok sosial dengan organisasi sosial
adalah di mana kelompok sosial merupakan kesatuan masyarakat yang berhimpun
atau berkumpul tidak berbadan hukum dan antara mereka terjalin hubungan

21
timbal balik yang saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Lukmana (2017) bahwa kelompok sosial merupakan himpunan atau
kesatuan manusia yang hidup bersama karena saling berhubungan di antara
mereka secara timbal balik dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sementara
itu organisasi sosial merupakan perkumpulan sosialyang sengaja dibentuk oleh
masyarakat baik berbadan hukum maupun tidak, memiliki struktur atau yang
mengepalai. Organisasi sosial sebagai sarana masyarakat berpartisipasi dalam
pembangunan bangsa dan negara. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gunawan dan
Muthar (2010) organisasi sosial merupakan suatu perkumpulan sosial yang di
bentuk oleh masyarakat, baik berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam melaksanakan
usaha kesejahteraan sosial.

2.7 Lembaga atau Pranata Sosial (Basta Ridho Sihombing)

Menurut Nurmalisa dan Adha (2016) Lembaga sosial merupakan cara yang
mengatur bagaimana individu dan kelompok dalam bertindak. Lembaga sosial
bersifat mengikat yang diharapkan tidak melakukan tindakan menyimpang yang
dapat mengganggu keamanan dan kestabilan masyarakat. Lembaga sosial penting
agar dapat membina, mengendalikan, dan mencegah adanya penyimpangan sosial
yang dilakukan individu atau kelompok akibat menurunnya moral mereka. Peran
lembaga sosial adalah sebagai pedoman bertingkah laku atau bersikap, menjaga
keutuhan masyarakat, dan juga sebagai social control, yaitu sebagai sistem
pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.
Menurut Mawardi et al. (2012) yang mengemukakan bahwa pranata atau
lembaga sosial berarti sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi. Selain itu,
pranata sosial juga melibatkan adat istiadat dan norma yang mengatur tingkah
laku manusia di masyarakat. Dengan demikian pranata atau lembaga sosial erat
hubungannya dengan budaya manusia.
Ada lima lembaga sosial dasar yang penting dalam masyarakat menurut
Nurmalisa dan Adha (2016), yaitu
1. Lembaga keluarga adalah lembaga yang paling inti dan dasar dalam sosial
masyarakat yang dapat membentuk prilaku seorang anak.

22
2. Lembaga pendidikan, dimana sekolah adalah salah satu lembaga pendidikan
yang terlibat langsung dengan seorang anak dan ikut dalam pembentukan
karakter, budi pekerti, dan perilaku seorang peserta didik.
3. Lembaga agama, dimana agama merupakan pedoman manusia dalam berbuat,
berucap, dan bertingkah laku. Lembaga agama bisa diwakilkan oleh tokoh-tokoh
agama yang ada dalam masyarakat guna, mengingatkan dan mencegah prilaku
yang kurang pantas dalam beragama.
4. Lembaga hukum, lembaga ini mempunyai tugas untuk mengawasi dan
menangani tindakan-tindakan melanggar hukum. Lembaga hukum diwakili oleh
kepolisian yang nantinya akan dibawa ke tingkat pengadilan dan juga kejaksaan.
5. Lembaga pemerintah, dimana pemerintah juga harus ikut andil dan perihatin
terhadap penurunan kualitas moral, melalui perwakilannya yaitu anggota dalam
pemerintahan daerah atau pemerintah desa yang terdiri dari lurah , RT, RW, dan
seterusnya.
Fungsi pranata sosial menurut Koentjaraningrat (1979) yaitu :
1. Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah
laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Menjaga keutuhan masyarakat (integrasi sosial) dari ancaman perpecahan.
Sistem norma yang ada dalam suatu pranata sosial akan berfungsi menata atau
mengatur pemenuhan kebutuhan hidup para warga masyarakat secara adil dan
memadai, sehingga keutuhan masyarakat akan terjaga.
3. Melakukan pengendalian sosial (social control). Sanksi-sanksi atas pelanggaran
norma-norma sosial merupakan sarana agar setiap warga masyarakat
menyesuaikan diri terhadap norma-norma sosial itu, sehingga tertib sosial dapat
terwujud.
2.8 Perubahan Sosial Petani (Kukuh Khumairo’)

Perubahan sosial dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam unsur-unsur


geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan. Beberapa sosiolog berpendapat
bahwa ada kondisi-kondisi sosial yang menyebabkan terjadinya perubahan. Dalam
kondisi-kondisi ekonomis, teknologis, geografis, atau biologis bisa saja
menimbulkan suatu perubahan yang memengaruhi aspek-aspek kehidupan sosial
lainnya (Soekanto, 2013). Perubahan ini juga terjadi pada masyarakat petani yang

23
merupakan bagian dari suatu komunitas yang cukup peka terhadap adanya
perubahan. Hal ini dapat menjadikan mereka cenderung menuntut suatu kepuasan
atau keuntungan dari adanya perubahan sosial, sehingga mudah diserap dalam
segi ekonomis, praktis, maupun modern. Perubahan sosial dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu yang bersumber dari dalam (internal) dan dari luar
(eksternal). Beberapa faktor penyebab perubahan sosial dijelaskan oleh
Winataputra et al. (2014) sebagai berikut:
1. Perubahan Komposisi Penduduk
Pertambahan jumlah penduduk yang cepat tidak diimbangi dengan
meningkatnya produksi dapat menimbulkan perubahan sosial. Hal ini dapat
ditemukan pada kemiskinan, pengangguran, dan kejahatan. Sebaliknya,
berkurangnya jumlah penduduk yang disebabkan oleh migrasi dapat pula
menimbulkan perubahan sosial, seperti kekurangan tenaga kerja.
2. Penemuan Baru
Penemuan baru atau inovasi yaitu penemuan yang dihasilkan atau diadopsi
oleh anggota masyarakat juga dapat menimbulkan perubahan sosial. Penemuan
alat komunikasi telah membawa perubahan sosial secara luass, penemuan, dan
penggunaan alat-alat mekanik dalam bidang pertanian telah mendorong terjadinya
perubahan sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industri.
3. Konflik Sosial
Konflik sosial yaitu pertentangan yang terjadi dalam masyarakat baik secara
perorangan maupun kelompok. Pertentangan ini dapat terjadi antara generasi baru
dengan generasi tua terhadap kaidah yang berlaku, misalnya perselisihan antar
petani untuk mendapatkan air.
4. Pemberontakan
Pemberontakan terjadi pada anggota masyarakat sendiri, misalnya
pemberontakan terhadap penjajah atau pemimpin yang otoriter. Adapun muncul
pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan masyarakat desa untuk menentang
atau memberhentikan Kepala Desa. Sementara itu, perubahan sosial yang
disebabkan oleh faktor eksternal menurut Winataputra et al. (2014) dapat berasal
dari lingkungan alam maupun pengaruh dari pihak masyarakat luar. Lingkungan
alam yang bersifat alamiah dan yang berubah karena adanya campur tangan

24
manusia dapat menjadi faktor penyebab terjadinya perubahan sosial. Keadaan ini
juga dapat terjadi pada peperangan akibat intervensi pihak luar dan pengaruh
kebudayaan masyarakat lain. Masuknya kebudayaan asing baik secara langsung
dibawa oleh salah seorang anggota masyarakat maupun secara tidak langsung
(melalui media televisi, film, surat kabar, atau majalah), dapat menimbulkan
perubahan sosial. Jika unsur kebudayaan yang masuk tersebut dipandang lebih
maju dan tidak bertentang dengan kaidah yang telah ada, maka akan terjadi proses
adopsi oleh masyarakat sehingga terjadi perubahan sosial.
Adapun bentuk-bentuk perubahan sosial menurut Soekanto (2009) sebagai
berikut:
1. Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat
Perubahan-perubahan yang memerlukan waktu lama, rentetan-rentetan
perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat disebut dengan evolusi.
Pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak
tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-keadaan, dan kondis-
kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
Sementara itu, perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat
dan menyangkut pokok kehidupan masyarakat dapat disebut sebagai revolusi.
Agar revolusi dapat berjalan, maka diperlukan syarat-syarat seperti berikut ini: (a)
adanya keinginan bersama untuk mengadakan suatu perubahan, (b) adanya
seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin
masyarakat tersebut, dan (c) pemimpin diharapkan dapat menampung keinginan-
keinginan masyarakat untuk kemudian menjadi program dan arah gerakan.
2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar
Perubahan kecil adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur
struktural yangtidak membawa pengaruh langsung atau yang berarti bagi
masyarakat. Perubahan mode pakaian, misalnya, tidak akan membawa pengaruh
apa-apa bagi masyarakat dalam keseluruhannya, karena tidak mengakibatkan
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatannya. Sementara itu
perubahan besar dapat diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi pada
unsur-unsur struktural sosial yaitu membawa pengaruh besar pada masyarakat.

25
3. Perubahan yang dikehendaki (intended-change) atau direncanakan (planned-
change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unitntended-change) atau tidak
direncanakan (unplanned-change)
Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang
diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang
hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak ini dinamakan
agent of change yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat
kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin. Sementara untuk perubahan sosial
yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan merupakan perubahan-perubahan
yang terjadi tanpa dikehendaki atau berlangsung di luar jangkauan pengawasan
masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak
diharapkan masyarakat.
Perubahan sosial menurut Martono (2011) mempunyai tiga dimensi, yaitu
dimensi struktural, kultural dan interaksional. Pertama mengenai dimensi
struktural mengacu pada perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat,
menyangkut perubahan dalam peranan, munculnya peranan baru, perubahan
dalam struktur kelas sosial. Kedua mengenai dimensi kultural yang mengacu pada
perubahan kebudayaan dalam masyarakat. Perubahan ini meliputi inovasi, difusi,
dan integrasi. Ketiga mengenai dimensi interaksional yang mengacu pada adanya
perubahan hubungan sosial dalam masyarakat.
Modernisasi dapat diartikan sebagai proses perubahan corak kehidupan
masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat yang modern, terutama berkaitan
dengan teknologi dan organisasi sosial (Rifkian et al., 2017). Teori ini
diasumsikan berdasarkan perubahan sosial yang bergerak searah, progresif, dan
berlangsung perlahan-lahan. Keadaan tersebut dapat membawa masyarakat dari
tahapan primitif ke keadaan yang lebih maju. Hal ini terlihat pada proses
pengenalan mesin-mesin pertanian seperti mesin penuai dan traktor tangan yang
sebagian besar menghilangkan mata pencaharian penduduk yang selama ini
mendapatkan upah dari menuai. Kemudian pemakaian traktor tangan telah
menggunakan tenaga hewan, sehingga sebagian besar petani tidak lagi berternak
kerbau atau sapi (Scott, 2000).

26
Adapun globalisasi merupakan sebuah istilah yang dianggap sebagai suatu
proses sosial, proses sejarah, atau proses ilmiah yang akan membawa perubahan
yang menyeluruh. Mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang baru dan
mempengaruhi segala aspek seperti kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan
budaya. Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok,
dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu
sama lain (Waters, 1995).

27
III. LOKASI DAN WAKTU PRAKTIKUM (Kukuh Khumairo’)

Praktikum sosiologi pertanian ini dilaksanakan pada Sabtu, 28 April 2018


yang berlokasi di rumah Bapak Prawoto Dusun Kunci Desa Wringin Anom
Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, Jawa Timur. Secara geografis Desa
Wringin Anom terletak pada posisi 7o21’-7o31’ Lintang Selatan dan 110o10’-
111o40’ Bujur Timur. Topografi ketinggian desa ini berupa dataran sedang ayitu
sekitar 800 m di atas permukaan laut. Desa Wringin Anom berbatasan langsung
dengan Desa Duwet Krajan di sebelah utara, Desa Belung di sebelah barat, Desa
Wonorejo di sebelah selatan, dan Desa Gubuklakah di sebelah utara (Hakim,
2016).

28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Petani (Teo Pilus Priyo Wibisono)

4.1.1 Identifikasi Petani 1

Gambar 1. Petani 1

Praktikum lapang Sosiologi Pertanian dilaksanakan di Desa Wringin Anom,


Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Wawancara
dilakukan bersama Bapak Prawoto, lelaki berumur 52 tahun dan memiliki
keluarga, yaitu satu orang istri bernama Mistin berumur 29 tahun dan 1 orang
anak laki-laki bernama Widi Kurniawan yang berumur 23 tahun. Bapak Prawoto
memiliki pekerjaan utama sebagai petani. Beliau sudah bekerja sebagai petani
sejak berumur 18 tahun. Ilmu bertani didapatkan dari kedua orang tuanya serta
dari pengalamannya. Beliau memiliki lahan seluas 1 hektar yang digarap sendiri
bersama dengan 2 orang pekerja. Pekerja ini diberi upah oleh Bapak Prawoto
Rp30.000/hari. Beliau bekerja dari jam 7 pagi hingga 11 siang dengan
menggunakan kendaraan motor sebagai transportasi. Komoditas utama yang
dibudidayakan berupa tanaman kubis, cabai, tomat, dan kacang panjang. Selain
sebagai petani Bapak Prawoto juga merupakan seorang peternak sapi. Di rumah
Bapak Prawoto memiliki telepon selular dan juga televisi.

29
4.1.2 Identifikasi Petani 2

Gambar 2. Petani 2
Beliau adalah Bapak Mulyono, lelaki berusia 48 tahun. Bapak Mulyono
bermata pencaharian sebagai petani dan peternak sebagai pekerjaan sampingan.
Pekerjaan sebagai petani itu ia lakoni semenjak dia kecil karena orang tua dari
beliau yang mengajarkannya bercocok tanam. Bapak Mulyono sekarang sedang
membudidayakan komoditas kubis. Selain kubis beliau juga menanam cabai yang
dilakukan berdasarkan kondisi musim. Beliau merupakan adik sepupu dari Bapak
Prawoto. Bapak Mulyono bekerja dari jam 7 pagi hingga 12 siang, kemudian
beternak setelahnya. Beliau menggunakan kendaraan motor untuk pergi ke lahan.
Ilmu bertani didapatkan dari orang tua dan pengalamannya sendiri.

4.1.3 Skrip Rekaman Wawancara

Kukuh : “Saya boleh tanya nama Bapak siapa?”


Bapak Prawoto : “Nama saya Prawoto.”
Kukuh : “Kalau Bapak yang satunya?”
Bapak Mulyono : “Nama saya Mulyono, kalau umur saya 48 tahun.”

30
Bapak Prawoto : “Ini adek sepupu saya.”
Teo : “Di sini Bapak sebagai petani apa?’
Bapak Prawoto : “Petani sayur, Mas seperti kubis, cabai, kacang panjang
dan tomat”
Bapak Mulyono : “Kalo saya kubis dan tomat.”
Kukuh : “Kalo Ibu, Pak?
Bapak Prawoto : “Ibu ya petani.”
Teo : “Untuk lahan Bapak sendiri berapa, ya, Pak?”
Bapak Prawoto : “1 Hektar. Sekitar, ya 1 Hektar.”
Fenti : “1 Hektar itu Bapak sendiri yang kerjain?”
Bapak Prawoto : “Ya, ada tenaga kerja.”
Kukuh : “Itu tadi kan Bapak bilang bekerjanya bersama tenaga kerja,
nah itu bagi hasilnya bagaimana, Pak?”
Bapak Praworo : “Oh itu pekerja harian. Ya, itu hasilnya tiap hari kerja
diupah Rp30.000 per hari.”
Teo : “Bapak bekerja 1 hari dari jam berapa sampai berapa
Pak?”
Bapak Prawoto : “Dari jam 7 sampai jam 11”
Fenti : “Nama istri bapak siapa ya?”
Bapak Prawoto : “Nama ibunya Mistin”
Fenti : “Umur ibunya berapa, Pak?”
Bapak Prawoto : “Umur istri saya 49 tahun”
Kukuh : “Lalu kalau anaknya, Bapak?”
Bapak Prawoto : “Anak saya satu, namanya Widi Kurniawan umurnya 23
tahun”
Teo : “Ilmu pertanian Bapak didapat darimana?”
Bapak Prawoto : “Dari pengalaman”
Teo : “Bapak di sini menanam sayur apa ya?”
Bapak Prawoto : “Biasanya sayur kubis, tomat, kacang panjang, tergantung
dengan musim.”
Teo : “Bapak biasanya ke lahan menggunakan apa?”
Bapak Prawoto : “Biasanya jalan kaki, kadang juga pakai sepeda motor.”

31
4.2 Interaksi dan Proses Sosial (Kukuh Khumairo’)

Petani di Dusun Kunci Desa Wringin Anom menjalin hubungan yang erat
antara satu dengan yang lainnya. Biasanya para petani saling bekerja sama dan
membantu dalam masalah pestisida yang dilakukan di lahan ataupun di rumah
masing-masing. Bapak Prawoto menyebutkan bahwa ada perkumpulan yang bisa
dibilang sebagai pusat interaksi para petani. Dulu biasanya para petani
berbincang-bincang saat ronda malam di Pos Kamling Dusun. Namun, semakin
lama semakin tidak pernah ada lagi karena kesibukan dari petani masing-masing.
Oleh karena itu, menurut Bapak Mulyono jika ada yang perlu didiskusikan,
biasanya petani datang ke rumah petani lainnya untuk saling kerjasama
memecahkan masalah. Hal ini seperti yang dilakukan Bapak Mulyono yang sering
berkunjung ke rumah Bapak Prawoto.
Selain para petani yang mempunyai tempat berdiskusi, adapun para ibu
rumah tangga yang sering berbincang melalui perkumpulan arisan dan pengajian
yang dilakukan setiap seminggu sekali. Bahkan tidak jarang para ibu rumah
tangga ikut bercocok tanam membantu para bapak di lahan. Hal ini secara tidak
langsung para bapak dan ibu telah melakukan kerjasama untuk mengurus lahan
agar pekerjaan cepat selesai dan juga dapat bertemu teman sesama petani untuk
sekadar berbincang.
Adapun kegiatan lain di Dusun Kunci yang menunjukkan adanya simpati
antar warganya. Saat ada warga yang meninggal, tanpa diundang para warga di
Dusun Kunci langsung meninggalkan pekerjaan mereka dan pergi ke rumah duka.
Bahkan bukan hanya warga Dusun Kunci saja, warga dusun lain pun ikut. Lain
halnya jika ada pernikahan, mereka yang tidak diundang atau istilahnya “diulemi”
tidak akan datang. Sifatnya berbeda jika ini mengenai urusan keluarga. Tetapi
untuk ibu-ibu biasanya ikut membantu memasak atau mengurusi masalah
makanan saat selametan pernikahan. Bagi ibu-ibu yang merupakan tetangga
terdekat atau sekitar rumah biasanya datang membawa beras atau gula, kegiatan
ini disebut “buwuh”.
Penduduk petani di Dusun Kunci cenderung akrab satu sama lain dan tidak
sering ada masalah atau pertikaian antar warganya. Namun masalah atau kendala
yang dialami rata-rata mengenai lahan mereka, seperti masih susahnya

32
mendapatkan pupuk subsidi dari pemerintah. Jangkauan yang terlalu jauh menjadi
hal yang perlu dicatat. Hal seperti ini bisa berpotensi menjadi suatu konflik. Jika
dilihat dari beberapa tahapan konflik menurut Robbin dan Judge (2008), keadaan
ini termasuk ke dalam suatu pertentangan atau ketidakselarasan, yaitu adanya
komunikasi atau kepribadian yang tidak sesuai dengan keinginan pribadi
masyarakat.
Selain itu, Bapak Mulyono bercerita mengenai masalah tanaman tomat yang
ditanamnya sekitar 50% mengalami layu. Beliau bertanya pada petani yang lebih
berpengalaman dan mendapati bahwa tanah yang digunakan untuk menanam
tomat diduga telah banyak terkontaminasi bahan-bahan kimia akibat penggunaan
pupuk kimia. Meskipun beliau mengatakan bahwa pupuk kimia yang digunakan
tidak sering, namun efek yang ditimbulkan pada tanah akan berkepanjangan.
Lebih lanjut Bapak Prawoto menambahkan bahwa tidak jarang lahannya
mengalami gagal panen akibat masalah-masalah seperti pupuk. Keadaan ini juga
termasuk ke dalam tahapan konflik kognisi dan personalisasi yang didefinisikan
oleh Robbin dan Judge (2008) sebagai tahap di mana pihak mulai memutuskan
permasalahan atau konflik yang terjadi.
Penggarapan lahan pertanian di Dusun Kunci biasanya dilakukan sendiri-
sendiri. Maksudnya, antar petani tidak saling bantu tetapi mereka biasanya
menyewa penggarap seperti yang dilakukan oleh Bapak Prawoto. Saat panen,
Bapak Prawoto mengangkut hasil panennya menggunakan motor atau biasanya
para tengkulak datang ke lahan untuk mengangkut hasil panen yang akan
didistribusikan. Bapak Mulyono menuturkan bahwa beliau bersama Bapak
Prawoto biasanya tinggal menunggu hasil timbangan panen dan menerima uang
langsung dari tengkulak. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa hasil
timbangan sesuai dengan harganya, asal mereka tahu berat dan harga jual sesuai.

4.3 Komunitas Desa Pertanian (Fenti Rahma Khoirunisa)

Dusun Kunci Desa Wringianom merupakan tipe komunitas desa pertanian,


karena mayoritas masyarakat yang menetap disini memiliki profesi sebagai petani.
Masyarakat di desa ini ada yang bertani sayuran dan buah-buahan seperti kubis,
tomat, apel, jeruk dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan perkataan bapak
Prawoto yaitu “Iya mbak, mayoritas disini bekerja sebagai petani. Sayur, cabai,

33
kubis, tomat bisa. Berganti bergantung musim hujan. Kalau kemarau kacang
panjang.”. Oleh karena itu mata pencaharian sebagian besar masyarakat di desa
ini adalah petani yang memiliki jumlah presentase sebanyak 70%. Desa ini juga
memiliki beberapa unsur, yaitu :
1. Manusia
Menurut Bagian Pengelola Data Elektronik Malang (2014) Kecamatan
Poncokusumo memiliki jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak 99.389 jiwa
dengan memiliki jumlah jiwa laki-laki sebesaar 49.900, 49.480 jiwa perempuan
dan 27.420 Kepala Keluarga. Tanpa adanya manusia di desa ini, maka interaksi
sosial tidak akan bisa terjalin, karena manusia merupakan unsur utama terjadinya
interaksi sosial. Hal ini terbukti bahwa di Dusun Kunci Desa Wringinanom
memiliki warga yang merupakan unsur manusia.
2. Kelompok Sosial
Kelompok sosial dapat terbentuk apabila unsur manusia ada, sehingga
dengan adanya unsur manusia maka unsur kelompok sosial dapat terbentuk. Hal
ini terbukti dengan adanya keluarga pada tiap-tiap rumah yang ada di Dusun
Kunci ini yang dimana keluarga merupakan kelompok sosial terkecil.
3. Kebudayaan
Desa ini memiliki kebudayaan turun-temurun, yaitu kegiatan bertani. Hal ini
sesuai dengan perkataan Bapak Prawoto yang mayoritas warga di desa ini
berprofesi sebagai petani yang memang merupakan pekerjaan sejak jaman dulu.
Hal ini sesuai dengan perkataan bapak Prawoto “Pertanian di desa ini sejak dulu.
Kalo dulu nenek moyang sebagaian besar itu kopi, lalu ada apel, bongkar nanem
apel. Sekitar 15 atau 20 tahun bongkar lalu dilihat dari cuaca atau ketinggian itu
udah tidak mungkin.” Masyarakat disini mayoritas saat bekerja juga masih
menggunakan alat tradisional seperti cangkul daripada menggunakan alat modern.
Kebiasaan lainnya yang sering dilakukan yaitu setiap pada bulan Syuro awal.
Warga sekitar sering menyebutnya Syuro’an, di bulan Syuro ini diadakan
selametan panen yang bertempat di rumah RT “Kalau disini ritual biasanya
dilakukan bulan Syuro. Tahun baru islam, Hijriyah, Syuroan. Syukuran biasanya
di rumah RT.” Selain itu desa ini memiliki kebudayaan yang masih ada berupa
Kuda Lumping hal ini sesuai dengan perkataan bapak Mulyono “Kuda lumping

34
sering ada, di Dusun gubuk lakah. Dari dulu sampai sekarang kuda lumping.
Dulu ada pencak tapi sekarang gak ada penerus.”
4. Teritorial
Desa ini memiliki batasan yang jelas antara dusun satu dengan dusun
lainnya. Selain itu antar desa satu dengan desa yang lainnya juga memiliki
batasan-batasan yang sudah ada. Menurut Bagian Pengelola Data Elektronik
Malang (2014) Kecamatan Poncokusumo memiliki batas-batas wilayah yang
dimana Kecamatan Tumpang berada di sebelah Utara.
5. Status dan Peran
Desa ini memiliki beberapa profesi selain penduduknya bekerja sebagai
petani, seperti ada yang bekerja sebagai guru, buruh tani, tengkulak, pegawai dan
lain sebagainya. Guru berperan untuk memberikan ilmu kepada murid yang
mencari ilmu kepadanya. Buruh tani di desa ini berperan sebagai penggarap atau
membantu pekerjaan petani. Tengkulak di desa ini ada juga yang berperan sebagai
petani, hal ini sesuai dengan perkataan bapak Mulyono “Ada petani yang tidak
menjual ke tengkulak. Tengkulak juga petani, jadi ada kemungkinan yg tidak jual
ke tengkulak itu juga dia tengkulak.”

4.4 Aset Komunitas (Fenti Rahma Khoirunisa)

Sesuai dengan pendapat Adi (2008), suatu desa mempunyai beberapa aset
komunitas yang dimiliki desa untuk menunjang kehidupan masyarakat adalah
yang pertama modal manusia. Adanya aset komunitas di suatu desa maka akan
mempermudah masyarakat untuk menjalani kehidupannya. Berikut beberapa aset
yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup suatu masyarakat:
1. Modal Manusia
Desa ini memiliki warga yang semuanya memiliki keahlian dan juga
pengetahuan. Beberapa petani memiliki penggarap untuk lahan mereka. Bapak
Prastowo sendiri memiliki 1-2 orang untuk membantu kegiatan bertaninya,
“Kerja harian, setiap hari kerja, bayaran ya harian itu. Satu hari 30rb satu
orang. 2 orang itu membantu dari pagi sampai jam 11 siang.” Warga di desa ini
umumnya untuk golongan orang yang sudah berumur tua memiliki riwayat
sekolah sampai SMP saja. Sedangkan untuk golongan yang masih muda memiliki
riwayat sampai lulus SMA atau bahkan sarjana, “Kalo remaja, arek nom2 itu wis

35
kuliah. Disini juga ada insyirur pertanian namanya pak Juli. Kalo yang tua-tua
paling SMP kalo orang seumur saya yg lebih tua itu SMP pling atas atau SD.”
2. Modal Fisik
Desa ini memiliki modal fisik yang dapat membantu kehidupan masyarakat
seperti adanya masjid, jalan raya, puskesmas pembantu, jembatan, sekolah,
jaringan telefon dan pasar.
“Tempat pasar disini ke Tumpang, kalo belanja ke Tumpang. Kalo
pembantu puskesmas ada satu.”
Desa ini memiliki sekolah mulai dari TK dan SD/MI. Akan tetapi letak
jembatan di desa ini sangat jauh apabila ditempuh dari desa ini. Adanya jaringan
telefon di desa ini terbukti saat hendak menuju desa untuk melakukan wawancara
kami bisa melakukan chatting melalui WhatsApp. Dulu di desa ini menggunakan
sistem pengairan dengan jedingan, namun sistem ini dianggap kurang efisien.
Selain itu memakai coblosan pipa juga tidak efisien sehingga berdasarkan
pengalaman maka terciptanya alat yang disebut dengan SPIT untuk membantu
pengairan dan dibagi rata pembagiannya untuk lahan dan untuk rumah seluruh
masyarakat. Hal ini sesuai dengan perkataan bapak Mulyono “Namanya SPIT,
penggunaan bebas tanpa meteran nah ini dianggap adil namun kendalanya harus
disogok dulu (mengambil airnya mencuri-curi) sehingga kemungkinan juga tidak
efisien. Mungkin kapan itu juga mau dikasi meteran namun yang mengelola
bukan dari PDAM tapi juga masyarakat.”
3. Modal Finansial
Modal finansial yang ada di desa ini yaitu untuk memulai usaha tani para
petani mendanai pengeluaran dengan uang dari hasil panen sebemunya, apabila
tidak memiliki uang yang cukup untuk dijadikan modal, maka para petani akan
berhutang dengan tengkulak atau bakul. Desa ini juga memiliki koperasi yang
dapat membantu masyrakat di desa ini, namun sudah jarang diakses oleh
masyarakat. Hal ini sesuai dengan perkataan bapak Prawoto bahwa “Kalo mupuk
biaya nya pakai anggaran sendiri2. Modal ya sendiri, kalau pinjem ya ke bakul
itu. Kalo panen baru bayar, disini ada Koperasi, Gapoktan dari kecamatan”
4. Modal Teknologi

36
Modal teknologi merupakan modal yang dapat melengkapi modal fisik. Di
Dusun Kunci ini tidak terdapat modal teknologi karena para petaninya masih
menggunakan cara tradisional atau konvensional. Tidak semua petani perlu
menggunakan modal teknologi, misalnya traktor. Hal ini sesuai dengan perkataan
bapak Prawoto “Pengolahan lahan masih memakai cangkul. Gak ada traktor, ya
pakai cangkul itu.” Menurut penyataan Adi (2008), yang menyatakan bahwa aset
komunitas atau modal dapat disebut sebagai aset komunitas apabila semua
anggota komunitas mendapatkan kemudahan dan dapat meningkatkan juga
menunjang kehidupannya masing-masing. Bapak Mulyono juga menambahkan
bahwa di kelompok taninya tidak pernah mendapatkan alat-alat pertanian seperti
traktor untuk memudahkan kegiatan bertaninya. Lain halnya dengan kelompok
tani lain yang menurut beliau selalu mendapat bantuan dari pemerintah. Hal ini
sesuai dengan perkataan bapak Mulyono “Pengolahan lahan masih memakai
cangkul. Gak ada traktor, ya pakai cangkul itu. Pernah punya keinginan makai
traktor tapi disini kan gak ada. Disini ketua kelompok tani nya ga pernah maju
gitu lho. Jadi yang dapet traktor quick itu cuma di desa lain, disini gak dapet,
kelompok tani ga pernah jalan.” Oleh karena itu, tidak adanya modal teknologi
yang dapat digunakan secara bersama oleh semua anggota komunitas di dalam
kelompok tani ini.
5. Modal lingkungan
Modal lingkungan yang terdapat di desa ini adalah adanya sumber daya
alam dan hayati seperti di desa ini memiliki hewan ternak berupa sapi dan ayam.
Selain itu sumber daya alam di desa ini adalah adanya sungai, gunung, dan coban
pelangi. Desa ini juga memiliki lahan atau ladang masing-masing untuk
menghidupi kebutuhan keluarganya.
6. Modal sosial
Modal sosial yang terdapat di desa ini yaitu adanya norma-norma dan juga
kepercayaan. Petani dengan petani lainnya memiliki hubungan yang sangat baik
dan jarang terjadi perselisihan antara satu dengan yang lainnya. Kepercayaan yang
dipercaya di desa ini yaitu apabila seorang petani kekurangan memiliki modal
maka petani akan meminjam modal kepada bakul atau tengkulak. Hal ini sesuai
dengan perkataan bapak Prawoto “Mupuknya biaya nya pake anggaran sendiri2.

37
Modal ya sendiri. Kalo pinjem ya ke bakul itu. Kalo panen bayar. Bakul dtg
sendiri, namanya cari pelanggan.” Sementara itu, norma yang ada di desa ini
yaitu orang tua harus dihormati. Hal ini sesuai dengan perkataan bapak Prawoto
“Ketemu orangtua harus salam. Perawan (anak gadis) makan sambil jalan ga
boleh, gak elok. Ga boleh berdiri di depan pintu, jodohnya jauh.” Selain itu,
norma-norma yang ada di desa ini yaitu antara petani dan tengkulak memiliki
perjanjian yang dimana sudah disepakati oleh keduanya.

4.5 Kebudayaan dan Gender dalam Pertanian (Ilham Prawira Hasbi)

Konsep kebudayaan dalam ilmu sosiologi sangat penting karena objek studi
pokok sosiologi adalah masyarakat, di mana masyarakat tidak dapat dilepaskan
dari kebudayaan. Kebudayaan adalah sesuatu yang kompleks yang mencangkup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan
serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Salah satu kebudayaan petani yang ada di desa Wringin Anom adalah
kuda lumping dan pencak silat. Berdasarkan hasil wawancara yang telah
dilakukan dengan bapak Mulyono, beliau menjelaskan bahwa kuda lumping dan
pencak silat menjadi suatu kebudayaan di desanya. Namun dengan seiring
berjalannya waktu, kuda lumping jarang dipentaskan. Sementara pencak silat
sudah tidak ada, karena tidak yang meneruskan ilmu bela diri tersebut. Selain itu
masih ada kebudayaan di desa tersebut yang masih berlangsung sampai sekarang.
Beberapa diantaranya yaitu budaya kesopanan, mitos, dan agama. Kebudayaan
tentang kesopanan yang ada di desa tersebut seperti harus salam apabila lewat di
depan orang yang lebih tua. Di desa tersebut masih dipercayai mitos seperti anak
gadis tidak boleh duduk di depan pintu, yang akibatnya nanti “jodohe adoh” atau
jodohnya akan menjauh. Di desa tersebut juga masih diadakan ritual keagamaan,
beberapa diantaranya yaitu seperti sholawatan setiap minggu, pergi nyekar setiap
malam jumat legi, malam sehari menjelang idhul adha mengadakan hajatan di
rumah pak RT, dan pemotongan daging qurban ketika idhul adha. Bapak Mulyono
juga menjelaskan bahwa, di desa ini masyarakat tidak terpengaruh dengan
kebudayaan yang terjadi di daerah perkotaan, seperti perayaan malam tahun baru.
Dalam usaha tani perbedaan gender masih sangat kentara. Sejauh ini laki-
laki masih menjadi pemegang dalam usaha taninya, sedang perempuan masih

38
sebatas sebagai pelaksana apa yang diperintahkan oleh suaminya. Artinya istri
(perempuan) hanya sebagai orang yang berperan di balik layar. Namun meskipun
hanya sebatas sebagai orang yang berada di balik layar, tidak bisa dipungkiri
bahwa perannya sungguh luar biasa. Hal ini berarti apapun yang ditugaskan oleh
seorang suami akan benar-benar dikerjakannya. Padahal sebagai orang bekerja di
balik layar, seorang petani perempuan mempunyai peran yang sangat vital.
Sebagai contoh, dalam masa tanam seorang petani perempuan menyiapkan benih
atau bibit dengan telaten dan sabarnya seorang perempuan memilah dan memilih
benih yang akan digunakan sebagai bahan tanam.

4.6 Stratifikasi dan Diferensiasi Sosial (Ilham Prawira Hasbi)

Peran dan kedudukan petani dalam kegiatan partisipasi (paguyuban) di desa


Wringin Anom sangat penting, karena sebagian besar masyarakat di desa ini
bekerja sebagai petani. Selain itu, penggolongan kelas dalam masyarakat Dusun
Kunci lebih nampak kepada kedudukan atas pekerjaan, misalnya orang lebih
dihormati jika bekerja sebagai pegawai negeri daripada petani saja. Hal ini pun
berpengaruh pada profesi ketua RT yang dulunya memang sebagai petani, namun
menurut Bapak Mulyono sekarang menjadi guru.
Diferensiasi sosial yang ada di lingkungan masyarakat Desa Wringin Anom
sangat terlihat, contohnya saja mengenai penggunaan alat-alat pertanian.
Kelompok tani yang diikuti oleh Bapak Mulyono dan Prawoto masih
menggunakan alat tradisional seperti cangkul. Namun, ada kelompok tani lain
yang mendapat hadiah traktor Quick dari pemerintah dan dapat digunakan untuk
seluruh kelompok tani tersebut. Dari segi pengolahan lahan pun sama. Bapak
Prawoto menuturkan bahwa jika ada yang punya mobil pick up pun itu dipakai
sendiri oleh yang punya untuk mengangkut hasil pertanian. Bapak Prawoto saja
harus pulang pergi dari lahan ke rumah untuk mengangkut hasil pertanian
menggunakan motor. Oleh karena itu, daripada mengangkut sendiri dan akhirnya
dijual ke tengkulak yang merupakan petani juga, akhirnya Bapak Prawoto dan
Bapak Mulyono menjual hasil pertaniannya langsung di lahan. Hal ini dilakukan
untuk mengefisiensi waktu dan tenaga. Selain itu, tanaman yang akan dipanen pun
terkadang dipanen sendiri oleh si tengkulak. Jadi, petani di Dusun Kunci hanya
tinggal menimbang dan menerima uang hasil jual kemudian pulang.

39
“Ya, kalo yang punya pick up sendiri ya dipake sendiri, Mbak. Gak
dipinjam-pinjamkan.”
“Lho, tengkulaknya juga panen di lahan, Mbak. Jadi ikutan membantu
panen sayur.”
“Ya betul. Saya nunggu ditimbang dan tahu berapa kilo dan harganya
sesuai ya saya terima.”

4.7 Kelompok Sosial dan Organisasi Sosial (Basta Ridho Sihombing)

Berdasarkan hasil dari wawancara bersama petani di Dusun Kunci Desa


Wringin Anom Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang memiliki kelompok
sosial yaitu kelompok tani, karena kelompok tani memiliki struktur yang fleksibel
sehingga menimbulkan ikatan sosial atau kerukunan. Namun kelompok tani
tersebut tidak lagi berjalan karena dianggap ketua kelompok taninya tidak mau
berpikir maju dalam memajukan kelompok tani, sehingga membuat kurang
berpartisipasinya anggota kelompok. “Ada kelompok tani, Mas tapi ya gitu, udah
ga jalan karena ketua kelompok taninya tidak mau maju, Mas.” ujar Bapak
Mulyono. Seperti pernyataan Sari (2015), kelompok sosial diikat oleh beberapa
faktor salah satunya adalah interaksi dalam kelompok merupakan alat perekat
yang baik dalam membina kesatuan dan persatuan anggotanya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Mulyono dan Prawoto, ketua
kelompok tani dipilih berdasarkan kesepakatan bersama bukan berdasarkan latar
belakang pendidikan, kekuasaan, ataupun kekayaan. Dulu kelompok tani desa
sempat melakukan kegiatan penyuluhan pertanian seperti cara memakai alat
pertanian, pembudidayaan, dan bagaimana cara mencari bibit. Namun karena
sekarang kelompok tani sudah tidak lagi berjalan. Selain kelompok tani, Dusun
Kunci Desa Wringin Anom Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang juga
memiliki kelompok ibu-ibu pengajian yang biasanya dilakukan di masjid desa.
Ada juga kelompok ibu-ibu arisan yang dilakukan seminggu sekali dan bagi para
orang tua juga mendaftarkan anak-anaknya ke Taman Pendidikan Al-qur’an.
Sementara itu bagi para bapak jarang untuk berkumpul karena sudah letih seharian
di lahan dan memilih menghabiskan waktu di rumah untuk beristirahat. “Ga ada
kumpul, Mas, udah pada capek, paling kalau mau ngobrol main ke rumah-
rumah.’’ Ujar Bapak Mulyono.

40
Organisasi sosial yang ada di Dusun Kunci Desa Wringin Anom Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang yaitu seperti karang taruna, menurut peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia nomor 77/HUK/2010 pasal 1 angka 1, karang
taruna adalah organisasi sosial kemasyarakatan sebagai wadah dan sarana
pengembangan setiap anggota masyarakat yang tumbuh dan berkembang atas
dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk masyarakat
terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan terutama bergerak dibidang
usaha kesejahteraan sosial. Namun sama halnya dengan kelompok tani, karang
taruna sudah tak lagi berjalan. Hal itu karena pemuda warga desa yang memilih
untuk menjadi pencari tamu ataupun tour guide untuk wisata ke gunung Bromo.

4.8 Lembaga atau Pranata Sosial (Basta Ridho Sihombing)

Lembaga atau pranata sosial merupakan cara atau sistem yang mengatur
bagaimana individu dan kelompok dalam bertindak. Berdasarkan hasil wawancara
bersama petani di Dusun Kunci Desa Wringin Anom Kecamatan Poncokusumo
Kabupaten Malang, salah satu lembaga atau pranata sosial yang terjadi yaitu dapat
dilihat dari sistem kerja bertani yang dilakukan petani. Khususnya Bapak
Prawoto, Di mana beliau memiliki lahan seluas 1 hektar yang digarap bersama
dengan 2 orang pekerja. Pekerjaan ini diberi upah oleh Bapak Prawoto sebesar
Rp30.000/hari. Di lahan para penggarap dan Bapak Prawoto bekerja dari jam 7
pagi hingga 12 siang.
Selain itu dapat dilihat dari segi pemasaran hasil pertanian, pada umumnya
petani desa memilih untuk menjual hasil pertanian mereka ke tengkulak atau
kerap dipanggil“bakul”. Sistem pemasarannya yaitu tengkulak akan datang ke
lahan petani dan mengangkut hasil produksi langsung ke pasar, bahkan ada
sebagian tengkulak yang memanen langsung sendiri di lahan milik petani dan
petani hanya akan ikut dalam proses penimbangan. Harga jual sesuai dengan
ketersediaan pasokan di pasar. Alasan para petani memilih untuk menggunakan
jasa “bakul” karena mereka tidak mengerti bagaimana sistem dan keadaan pasar
ditambah dengan jarak pasar yang cukup jauh dari desa. Tengkulak pun
sebenarnya juga berprofesi sebagai petani, sehingga saat menjual ke pasar pun
yang membeli juga para tengkulak itu lagi. “Ya kita nggak ngerti gimana di
pasarnya, gimana sistemnya, Mas. Sebenarnya kita juga pernah jual ke pasar,

41
tapi yang beli ya tengkulak itu lagi. Jadi ya mau gimana.” Ujar Bapak Mulyono.
Tidak jarang juga mereka meminjam modal ketengkulak.
Di Dusun Kunci Desa Wringin Anom Kecamatan Poncokusumo Kabupaten
Malang juga terdapat sistem atau norma-norma yang hingga saat ini masih
mengikat dan menjadi pedoman hidup mereka. Seperti di antaranya, bagi kaum
muda jika bertemu yang lebih tua harus salam mencium tangan, anak gadis tidak
boleh makan sambil jalan, dan tidak boleh duduk di depan“lawang”−pintu. Selain
itu masyarakat juga memiliki kebiasaan-kebiasaan yang telah membudaya yaitu
seperti pada malam bulan syuro’ mereka mengadakan selametan panen di rumah
ketua RT, setiap malam jum’at legi mereka melakukan“nyekar’’ ke makam, dan
pada malam Idul Adha dilakukan hajatan ke rumah ketua RT.

4.9 Perubahan Sosial Petani (Kukuh Khumairo’)

Perubahan atau perkembangan sosial sangat mempengaruhi terkait usaha


tani. Berdasarkan wawancara yang didapat, di Dusun Kunci menurut Bapak
Mulyono dan Bapak Prawoto tidak terjadi perubahan sosial yang signifikan.
Namun, perubahan sosial yang disebabkan oleh faktor eksternal terjadi pada
penggunaan pupuk yang awalnya menggunakan pupuk kandang hasil dari ternak
sapi atau kambing yang beralih ke penggunaan pupuk subsidi dari pemerintah.
Perubahan ini didasari oleh pengaruh secara tidak langsung yang dibawa melalui
televisi dan surat kabar lain. Perubahan ini juga terbilang lambat, karena
masyarakat petani Dusun Kunci juga menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi
di lingkungan masyarakat.
Pupuk subsidi dari pemerintah pada awalnya masih rutin digunakan, namun
semakin lama tidak ada pasokan pupuk lagi.Hal ini menyebabkan para petani di
Dusun Kunci menurut Bapak Mulyono melakukan percobaan seperti membuat
pupuk dari kotoran ayam petelur. Sebelumnya beliau hanya menggunakan pupuk
kandang hasil dari ternak sapi. Kemudian para petani di Dusun Kunci melakukan
percobaan membuat pupuk dari kotoran ayam petelur yang ternyata ketika diuji
coba pada tanaman kubis memang hasilnya bagus. Keadaan ini tidak berlangsung
lama, Bapak Mulyono mengatakan bahwa pupuk dari ayam petelur hanya bekerja
pada tanaman kubis saja dan berlangsung hanya pada musim pertama. Ketika diuji
cobakan pada musim kedua, hasilnya berbeda saat penanaman kubis pada musim

42
pertama. Menurut beliau, lebih enak membuat suatu inovasi yang sudah terbukti
hasilnya daripada menerima sesuatu yang baru namun tidak tentu atau pasti
hasilnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa petani di Dusun Kunci cukup
terbuka akan informasi namun tidak langsung menerima informasi begitu saja.
Mereka akan menerima suatu informasi jika memang itu terbukti hasilnya dan
memberikan dampak yang baik.
“Pernah gak menggunakan pupuk kimia, sering nggak, Pak?”
“Sering kalau yang kimia.”
“Seringan mana pupuk yang digunakan?”
“Ya seimbanglah pakainya.”
“Sesuai kebutuhan ya, Pak?”
“Ya betul.”
“Jadi gak punya pandangan, kalau pupuk kimia itu lebih baik, gitu, ya,
Pak?”
“Malah di sini kebanyakan pakai pupuk kandang yang banyak.”
“Terus Bapak tadi ada bilang kalau pupuk dari ayam petelur khusus untuk
sayur, itu Bapak tau sendiri atau ada yang ngasih tau?”
“Pertama itu kami perlu bukti.”
“Jadi coba-coba, Pak?
“Ya coba-coba, dan kok bagus,”
“Jadi dari dulu petani di sini coba-coba sendiri?”
“Kan dulu di sini gak ada ternak ayam petelur, tapi sekarang ada.”
“Jadi emang dari dulu tuh nyoba sesuatu, Bapak kan peternak sapi, jadinya
penghasilan lebih itu juga didapat dari ayam petelur.”
“Maksudnya ginikan, pakai pupuk kandang kotoran sapi, perbandingan
sama pupuk kotoran ayam itu bagus mana. Sebenarnya sama, cuma kotoran
ayam bisa digunakan satu musim saja, misalkan kita nanam kubis, ya satu
kubis itu aja, tapi kalau pakai pupuk kandang sapi bisa digunakan sampai 1
tahun. Pupuk kandang ayam itu padat, kurang tau kenapa, cuma memang
segitu, pernah di sebelah itu pakai pupuk ayam petelur tapi waktu dipakai
lagi suburnya habis. Tapi kalau pakai kotoran sapi, kotoran kambing, 1
tahun masih subur. Jadi pupuk ayam petelur itu instan.”

43
“Umpamanya ya, Pak berarti”
“Umpamanya gitu, pupuk petelur itu sebenarnya kurang baik, tapi karena
sudah kebiasaan, jadi diseimbangkan dengan pupuk kandang kotoran
sapi.”
Dusun Kunci selain sebagai sektor pertanian, beberapa tahun belakangan
mengembangkan sektor pariwisata melalui wisata ke Gunung Bromo dan Gunung
Semeru. Sudah mulai banyak rumah yang menyediakan penginapan untuk para
pengunjung. Ada juga yang menjual bensin karena menurut warga sekitar akan
menambah finansial dengan memanfaatkan kesempatan ini berhubung Dusun
Kunci merupakan salah satu jalur utama wisata. Secara teoritis hal ini dapat
dikategorikan sebagai perubahan cepat, yaitu perubahan yang berlangsung dengan
cepat dan menyangkut pokok kehidupan masyarakat. Perubahan ini timbul adanya
keinginan bersama untuk mengadakan sebuah perubahan. Pernyataan ini sesuai
dengan Soekanto (2009) yang menyebutkan bahwa perubahan cepat atau revolusi
dapat berjalan jika ada keinginan bersama dari sekelompok masyarakat untuk
mengadakan suatu perubahan. Selain itu, keadaan ini juga dapat dikategorikan
sebagai dimensi perubahan sosial struktural yang menurut Martono (2011)
mengacu pada perubahan-perubahan dalam peranan seperti munculnya peranan
baru masyarakat yang dulunya hanya sebagai petani, tetapi sekarang ada yang
juga sebagai tour guide.
Selain itu, modernisasi juga terjadi di lingkungan masyarakat Dusun Kunci.
Hal ini terwujud dari adanya perayaan tahun baru yang pada umumnya tidak
dirayakan oleh warga awam, sekarang pun sudah menjadi suatu hal yang biasa.
Setiap malam tahun baru biasanya para warga berkumpul, terkadang melihat
kembang api bersama. Kebiasaan yang baru ini memungkinkan adanya dimensi
perubahan sosial kultural yang menurut Martono (2011) berpengaruh kepada
kebudayaan masyarakat yang terjadi di Dusun Kunci.
Terlepas dari banyaknya perubahan-perubahan yang terjadi di Dusun Kunci,
semuanya hampir berpengaruh dan membawa perubahan. Pada akhirnya Bapak
Mulyono mengutarakan pendapatnya jika petani di Dusun Kunci sebenarnya ingin
maju dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi, namun terdapat beberapa
kendala. Kendala ini biasa dirasakan oleh keseluruhan petani di Dusun Kunci

44
seperti biaya, susah dalam mendapatkan pupuk terutama pupuk bersubsidi karena
harus mendaftar dulu (sistemnya terlalu ribet bagi petani awam), sedangkan
tanaman harus selalu dipupuk. Selama perubahan yang terjadi membawa manfaat
dan hasilnya menguntungkan pada petani di Dusun Kunci, itu tidak akan menjadi
permasalahan.

45
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan (Fenti Rahma K. dan Kukuh Khumairo’)

Dusun Kunci Desa Wingin Anom merupakan desa dengan mayoritas


penduduknya berprofesi sebagai petani. Desa ini juga memiliki beberapa aset
komunitas berupa aset fisik, aset finansial, aset manusia dan sebagainya untuk
menunjang kegiatan pertanian dan hidup bermasyarakat. Pengolahan lahan yang
digunakan oleh petani di Dusun Kunci ini masih menggunakan alat tradisional
berupa cangkul. Petani-petani di Dusun Kunci juga cenderung memiliki hubungan
yang baik dengan para bakul atau tengkulak maupun dengan petani lainnya dan
masyarakat sekitar. Adapun kebudayaan, norma-norma, dan kebiasaan yang
sampai sekarang masih dilakukan rutin.
5.2 Saran (Fenti Rahma Khoirunisa)
Kegiatan untuk melakukan wawancara terhadap petani di desa Wringin
Anom sudah berjalan dengan baik, namun diharapkan ked epannya agar surat izin
untuk ke desa bisa lebih awal keluar agar dapat menggunakan waktu yang ada
dengan sebaik mungkin. Semoga dalam kegiatan wawancara dengan petani dapat
diberikan penyuluhan terkait dengan isi laporan agar semua dapat memahami
dengan baik dan tidak kebingungan di tengah-tengah kegiatan berlangsung.

46
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat
sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Asih,Dwi Setyo.2009.Sosiologi SMA/MA Kelas XI.Kudus:Prasasti
Bagus, L. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Fakih, M. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar.
Jakarta: Rineka Cipta
Gunawan dan Muthar. 2010. Kontribusi Organisasi Sosial dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial. Jakarta: P3KS Press (Anggota IKAPI)
Hakim, Luchman. 2016. Peran serta Masyarakat Desa dalam Inisiasi
Pengembangan Wisata Alam Desa Wringin Anom Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang. Jurnal Administrasi Bisnis. 30(1): 28-34
Hertati. 2010. Materi Pokok Ilmu Sosial Budaya Dasar. Universitas Terbuka
Kertajaya, H. 2008. Pembangunan Masyarakat. Bandung: Pustaka Pilar
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Limbeng, Julianus, dan Muchtadin. 2011. Suku Akit di Pulau Rupat. Jakarta:
Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Lukmana, Belva Hendry. 2017. Hubungan antara Dukungan Kelompok Sosial
dengan Perilaku Pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten
Sukoharjo Tahun 2015. Sosiologi DILEMA. 32(1): 1-8
Lumintang, Fatmawati M. 2013. Analisis Pendapatan Petani Padi di Desa Teep
Kecamatan Langowan Timur. Jurnal EMBA. 1(3): 991-998
Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Rajagrafindo
Persada
Mawardi, Iman dan Usman Nuroddin. 2012. Pranata Sosial dalam Islam.
Magelang. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Studi Islam (P3SI)
Nurmalisa, Yunisca dan Adha Muhammad Mona. 2016. Peran Lembaga Sosial
terhadap Pembinaan Moral Remaja di Sekolah Menengah Atas. Jurnal
Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. 1(1): 64-71
Pranadji, T. 2004. Perspektif Pengembangan Sosial Budaya. dalam Frinaldi,
Aldri. 2014. Konflik dan Pengaruh Budaya Kerja Etnik dalam Kalangan
Kakitangan Awam di Pihak Berkuasa Tempatan Pasaman Barat, Wilayah
Sumatera Barat, Indonesia.Tesis. Graduate School of Government
Universiti Utara Malaysia
Rifkian, B. E., Pudjo Suharso, dan Sukidin. 2017. Modernisasi Pertanian (Studi
Kasus tentang Peluang Kerja dan Pendapatan Petani dalam Sistem Pertanian

47
di Desa Dukuhdempok Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember. Jurnal
Pendidikan Ekonomi: Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Ilmu Ekonomi, dan
Ilmu Sosial. 11(1): 39-48
Robbin, S. P. dan Judge. 2008. Perilaku Organisasi Buku 2. Jakarta: Salemba
Santrock, J. 2009. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta:
Erlangga
Sapardi. 2006. Antropologi Agama. Surakarta: LPP UNS
Sari, Riski Melia. 2015. Komunitas 234 SC di Pekanbaru (Studi tentang
Kelompok Sosial). Jom FISIP. 2(1): 1-13
Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-Orang yang Kalah: Bentuk Perlawanan
Sehari-Hari Kaum Petani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana
Setiadi, Elly M, Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press
Soekanto, Soerjono. 2009. Peranan Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru.
Jakarta: Rajawali Pers
Soekanto, Soerjono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar (Edisi Revisi). Jakarta:
Rajawali Pers
Walgito, Bimo. 2010. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: CV. Andi
Offset
Waters, M. 1995. Globalisation. 2nd Edition. London: Taylor and Francis Group
Winataputra et al. 2014. Materi dan Pembelajaran IPS SD. Edisi 1. Tangerang
Selatan: Penerbit Universitas Terbuka

48
LAMPIRAN

Lampiran 1. Skrip Rekaman Wawancara


Teo : “Sebelumnya kami kan sudah tau kalau bapak ini seorang petani
sayur, apakah bapak sendiri di rumah ini yang menjadi petani?”
Pak Prawoto : “Saya sendiri. Kalo anak saya gak kerja petani.”
Teo : “Kenapa, Pak?”
Pak Prawoto : “Gak tau, ya. Itu lho, yang jadi guide-guide di gunung. Yang suka
nganter-nganter orang ke gunung.”
Teo : “Tapi Bapak ada tidak keinginan untuk supaya anak Bapak jadi
petani?”
Pak Prawoto : “Ya ada lah. Nanti siapa yang ngelanjutin.”
Ilham : “Itu sampingan gitu ya Pak?”
Pak Prawoto : “Ya, ya mungkin belumlah gitu belum, masih muda.”
Kukuh : “Kalo ibu, Pak?”
Pak Prawoto : “Ibu ya petani.”
Kukuh : “Di lahan yang sama dengan Bapak atau berbeda, Pak?”
Pak Prawoto : “Ya, sama.”
Kukuh : “Jadi kayak membantu Bapak begitu?”
Pak Prawoto : “Ya, membantu.”
Teo : “Untuk lahan Bapak sendiri berapa, ya, Pak?”
Pak Prawoto : “1 hektar. Sekitar, ya 1 hektar.”
Fenti : “1 hektar itu Bapak sendiri yang kerjain?”
Pak Prawoto : “Ya, ada tenaga kerja.”
Teo : “Sebelumnya Bapak sudah memberitahu kami kalau bapak petani
sayur, sayur apa aja itu, Pak?”
Pak Prawoto : “Sayur kubis, cabai, tomat dan kacang panjang.”
Teo : “Bapak menanamnya itu kan bergantian, itu berdasarkan apa ya
Pak?”
Pak Prawoto : “Berdasarkan musim, musim hujan, musim kemarau. Ya, kalau
musim kemarau ya itu nanam kacang panjang.”
Kukuh : “Itu tadi kan Bapak bilang bekerjanya bersama tenaga kerja, nah
itu bagi hasilnya bagaimana, Pak?”

49
Pak Prawoto : “Oh itu pekerja harian. Ya, itu hasilnya tiap hari kerja diupah
Rp30.000 per hari.”
Fenti : “Yang bekerja bersama bapak berapa orang?”
Pak Prawoto : “Ada 2 orang.”
Kukuh : “Yang bekerja itu ganti-ganti apa gimana, ya, Pak?”
Pak Prawoto : “Ya, dua orang itu terus.”
Teo : “Bapak kerjanya berapa lama, Pak?”
Pak Prawoto : “Saya bekerja dari jam 7 pagi sampai 11 siang.”
Teo : “Di daerah ini kan kebanyakan petani, bagaimana hubungan
Bapak dengan petani lain?”
Pak Prawoto : “Ya, konsultasinya kalau ada obat-obatan, hama, itu obatnya apa
kalo ada. Ya, saling membantu, pokoknya saling membantu.”
Teo : “Apakah pernah petani di sini punya masalah, misalnya konflik?”
Pak Prawoto : “Ya itu, biasanya masalah pupuk, kita belinya yang pupuk mahal
itu.”
Kukuh : “Yang dari pemerintah itu, ya, Pak?”
Pak Prawoto : “Ya, yang dari pemerintah itu. Yang subsidi itu gak pernah ada.”
Pak Mulyono : “Ya, sekarang petani itu belinya pupuk yang mahal itu.”
Pak Prawoto : “Petani di sini rata-rata ya itu masalahnya, pupuk. Kalo pupuk
kandang di sini banyak, tiap rumah hampir selalu ada pupuk
kandang.”
Teo : “Oh berarti selain menanam juga ternak, ya, Pak?”
Pak Prawoto : “Ya, di sini banyak yang punya ternak, sapi.”
Kukuh : “Terus ini, Pak berkaitan dengan tenaga kerja tadi. Itu dalam
pengolahan lahan Bapak apakah masih menggunakan alat
tradisional?”
Pak Prawoto : “Ya, cangkul itu masih pake. “
Kukuh : “La kalo peralatan yang modern gitu.”
Fenti : “Kaya traktor.”
Pak Prawoto : “Gak ada. Ya, cangkul itu.”
Teo : “Apa tidak ada keinginan untuk pake kaya gitu, Pak, traktor
misalnya.”

50
Pak Prawoto : “Ya pernah sih, tapi kan di sini gak ada. Di sini kelompok taninya
seperti gak pernah maju gitu lho.”

Basta : “Gimana, Pak tadi?”


Pak Prawoto : “Ketua kelompok taninya gak pernah maju gitu, lho. Di desa lain
itu dapat hadiah dari pemerintah seperti Quick itu dapat di desa-
desa lain. Di sini lho gak dapat.”
Basta : “Itu emang gak ada yang ngurus apa gimana, Pak?”
Pak Prawoto : “Ya, karena tidak ada yang ngurus, kelompok tani gak jalan.”
Basta : “Jadi hanya sebatas ada aja, gitu, ya, Pak?”
Pak Prawoto : “Ya, gitu. Tapi, ini ada pengurus baru dibentuk. Mungkin yang ini
mungkin berjalan mungkin.”
Teo : “Di tempat ini, apakah pernah terjadi masalah di antara petani,
Pak?”
Pak Prawoto : “Kalau seperti itu tidak pernah sejak dulu. Dulu di sini banyak
petani apel, tapi berat katanya. Lahannya gak sesuai dengan
keinginan lahan itu. Jadi dibongkar. Ada satu petani apel di sebelah
barat musholla itu.”
Basta : “Satu orang saja, Pak?”
Pak Prawoto : “Ya yang sering berhasil satu orang itu.”
Teo : “Apakah petani di sini panennya bersama-sama?”
Pak Prawoto : “Gak, biasanya panen tergantung dengan petani, kalau
menanamnya lebih duluan, maka panennya pun akan duluan.”
Fenti : “Pernah nggak pak jika ada petani yang sedang panen, adakah
petani lain yang saling membantu?”
Pak Prawoto : “Kalau itu tidak ada.”
Teo : “Kalau Bapak sendiri pernah bantu petani lain yang sedang
panen?”
Pak Prawoto : “Tidak pernah.”
Teo : “Biasanya kalau ibu-ibu jadi petani di sini, apakah itu tidak
masalah di sini?”
Pak Prawoto : “Tidak masalah.”

51
Teo : “Jadi kalau ibu-ibu menjadi petani di sini tidak akan jadi masalah
ya, Pak?”
Pak Prawoto : “Ya, malah kami akan dukung.”
Basta : “Bapak biasanya jual hasil panen bapak secara langsung atau
lewat pengantara?”
Pak Prawoto : “Lewat pengantara, sebutannya bakul.”
Teo : “Bagaimana harga jual yang bapak tarif pada hasil panen,
Bapak?”
Pak Prawoto
dan Pak : “Bergantung sama harga pasar.”
Mulyono
Teo : “Biasanya berapa, Pak?”
Pak Mulyono : “Kalau musim seperti ini murah.”
Pak Prawoto : “Dapatnya Rp2000.”
Teo : “Musim seperti ini maksudnya yang seperti apa, Pak?”
Pak Prawoto : “Maksudnya kalau banyak yang jual pasti harganya lebih murah.”
Basta : “Apakah petani di sini semuanya pakai perantara atau jual sendiri,
Pak?”
Pak Prawoto : “Kalau petani di sini rata-rata lewat perantara.”
Teo : “Saat masa panen apakah di sini ada suatu kebiasaan, Pak?”
Pak Prawoto : “Tidak ada.”
Basta : “Maksudnya seperti ada kebiasaan, misalnya kalau panen itu
dibagi-bagikan.”
Fenti : “Ya, Pak, misalnya seperti di tempat saya di Madiun, di jalan raya
buka pasar setiap ada panen, Pak.”
Pak Mulyono : “Kalau di sini biasanya dilakukan saat tahun baru islam.”
Teo : Oh ya pak, sebelumnya tadi lupa, nama Ibunya siapa ya, Pak?
Pak Prawoto : “Nama Ibunya Mistin.”
Teo : “Kalau anak Bapak?”
Pak Prawoto : “Satu, laki laki.”
Basta : “Kalau umur ibunya, Pak?”
Pak Prawoto : “Umurnya 49 tahun.”

52
Pak Mulyono : “Kalau saya 48 tahun.”
Teo : “Kalau nama anaknya, Pak.”
Pak Prawoto : “Namanya Widi Kurniawan.”
Teo : “Umurnya, Pak?”
Pak Prawoto : “23 tahun.”

Kukuh : “Tadi, Pak, sewaktu perjalanan ke sini saya melihat TK Dharma


Wanita, apakah itu masih aktif, Pak?”
Pak Prawoto : “Aktif, gurunya ada di sebelah rumah saya.”
Teo : “Jadi TK itu dibuat oleh Dharma Wanita?”
Pak Mulyono : “Itu cuma sekadar nama saja, Dharma Wanitanya sudah bubar.”
Teo : “Di sini TKnya cuma itu saja ya, Pak?”
Pak Prawoto : “Ya cuma satu.”
Teo : “Bagaimana dengan SD, SMP atau SMA, Pak?”
Pak Mulyono : “Di sini ada SD, kalau SMP ada, hanya saja tidak berjalan, di sini
juga ada MI.”
Kukuh : “Sebelumnya maaf, Pak, kalau petani di sini rata-rata sekolahnya
sampai mana ya, Pak?”
Pak Mulyono : “Kalau untuk remaja ada yang kuliah.”
Teo : “Kalau yang sudah lanjut usia?”
Pak Mulyono : “Rata rata SD, SMP dan SMA.”
Teo : “Kalau ilmu pertanian Bapak dapat darimana?”
Pak Prawoto : “Dari pengalaman, jadi belajar sambil menanam.”
Teo : “Nggak ada belajar khusus ya, Pak?”
Pak Prawoto : “Tidak ada.”
Basta : “Apakah di sini ada acara penyuluhan, Pak?”
Pak Prawoto : “Tidak ada kalau di sini.”
Pak Mulyono : “Sebenarnya ada, hanya saja diselenggarakan oleh kelompok
tertentu saja, tetapi kalau untuk masyarakat umum tidak ada.”
Teo : “Apakah pertanian di sini sudah ada sejak dulu, Pak?”
Pak Prawoto : “Dulu dari zaman nenek moyang sudah ada pertanian, dulu
menanam kopi.”

53
Basta : “Dalam kegiatan pertanian, Bapak biasanya menggunakan biaya
dari kelompok tani atau dari biaya sendiri?”
Pak Prawoto : “Ya dari biaya sendiri-sendiri.”
Teo : “Pernah nggak Bapak meminjam dari orang lain buat modal
bertani?”
Pak Prawoto : “Kalau meminjam dari bakul biasanya, jadi kalau sudah panen,
bayar langsung ke bakulnya.”
Basta : “Itu dulu bakulnya itu datang sendiri ke sini atau didatangkan ke
sini?”
Pak Prawoto : “Datang sendiri, ya namanya mencari pelangganlah.”
Kukuh : “Tadi Bapak menjelaskan ada petani yang punya gelar insinyur,
apakah bapak itu pernah memberi ilmu pertaniannya ke petani
lain?”
Pak Prawoto : “Tidak pernah, malah sekarang beliau bukan menjadi insinyur
pertanian, tetapi sebagai guru.”
Kukuh : “Jarak Bapak ke lahan berapa jauh?”
Pak Mulyono : “1 kilometer.”
Basta : “Perjalanannya memakai motor?”
Pak Prawoto : “Biasanya jalan kaki, kadang juga naik sepeda motor.”
Fenti : “Berangkatnya saat subuh, Pak?”
Pak Prawoto : “Nggak, biasanya jam setengah 7.”
Pak Mulyono : “Terus kalau saya pulangnya jam 12.”
Teo : “Bapak kan sebelumnya bilang tidak pernah memakai alat modern
seperti traktor saat bertani, apakah petani lain ada yang memiliki
alat tersebut?”
Pak Prawoto : “Kalau petani lain ada.”
Basta : “Itu banyak yang pakai nggak, Pak?”
Pak Prawoto : “Tidak, kebanyakan menggunakan cangkul.”
Pak Mulyono : “Ini karena medan di lahan tidak selalu bisa menggunakan
traktor.”
Teo : “Tapi Bapak pernah tidak meminjam alat traktor pada orang
lain?”

54
Pak Prawoto : “Pernah, tetapi menyewa, per lahan.”
Fenti : “Jadi membayarnya sekali pakai gitu, Pak?
Pak Mulyono : “Ya benar.”
Teo : “Kelompok tani di sini punya kegiatan khusus nggak, Pak?”
Pak Mulyono : “Penyuluhan itu pernah ada, seperti memakai alat alat tertentu dan
cara budidaya tanaman tertentu juga ada.”
Basta : “Kalau ketua kelompok tani di sini itu dipilih berdasarkan apa ya,
Pak?”
Pak Mulyono : “Biasanya akan ditunjuk berdasarkan kesepakatan bersama.”
Basta : “Di sini organisasi selain kelompok tani ada nggak, Pak?”
Pak Mulyono : “Kalau di sini banyak.”
Basta : “Contohnya, Pak?”
Pak Mulyono : “Karang taruna ada, Mas.”
Basta : “Kalau kelompok seperti ibu-ibu pengajian itu ada nggak, Pak?”
Pak Prawoto : “Kalau itu ada.”
Basta : “Kalau untuk anak-anak, Pak?”
Pak Mulyono : “Untuk anak-anak dari mulai TK ada pengajian.”
Basta : “Itu diwajibkan atau bagaimana?”
Pak Mulyono : “Dak diwajibkan, tetapi kebanyakan orang tuanya punya
keinginan supaya anaknya dapat mengaji jadi dimasukkan ke
sana.”
Teo : “Jadi di sini ada masjid....”
Pak Mulyono : “Musholla juga ada.”
Teo : “Nah di sini musholanya ada berapa, Pak?”
Pak Mulyono : “Di sini 1 rt ada dua.”
Teo : “Kalau satu desa, Pak?”
Pak Mulyono : “Kalau tidak salah sekitar 10.”
Teo : “Bagaimana dengan masjidnya?”
Pak Mulyono : “Masjidnya hanya satu.”
Teo : “Apakah ada tempat ibadah yang lain, Pak?”
Pak Mulyono : “Tidak ada.”
Teo : “Jadi mayoritas di sini Islam ya, Pak?”

55
Pak Mulyono : “Ya, Mas.”
Teo : “Terus, Pak, di tempat ini ada semacam pasar?”
Pak Mulyono : “Ada, Mas.”
Teo : “Kalau rumah sakit, Pak?”
Fenti : “Atau puskesmas?”
Pak Prawoto : “Kalau puskesmas pembantu ada 1.”
Teo : “Kalau sakit, semua warga ke situ semua, Pak?”
Pak Prawoto : “Tidak juga, kadang ada yang ke rumah sakit di Tumpang.”
Basta : “Di sini ada bidan desa, Pak?”
Pak Prawoto : “Bidan desanya ada.”
Fenti : “Kalau ibu ibu di sini ada melaksanakan arisan nggak, Pak?”
Pak Prawoto : “Ada.”
Fenti : “Terstruktur tidak, Pak, maksudnya ada berapa kali gitu?”
Pak Prawoto : “Biasanya seminggu sekali.”
Teo : “Terus, Pak, untuk jaringan internet, di sini sampai gak, Pak?”
Pak Mulyono : “Kalau yang kaya gitu kurang ngerti ya, Mas.”
Teo : “Tapi buat nelpon masih bisa ya, Pak?”
Pak Mulyono : “Kalau nelpon iya.”
Teo : “Kalau di sini ada nggak jembatan yang digunakan bersama?”
Pak Mulyono : “Kalau jembatan seperti itu ada, seperti jembatan swadaya.”
Teo : “Pak, saat bertani, dapat air biasanya di mana ya, Pak?”
Pak Mulyono : “Biasanya kami memakai air swadaya.”
Fenti, Kukuh : “Oh. Jadi air yang ada dibuat di pinggir jalan itu ya, Pak?”
Pak Prawoto : “Iya.”
Teo : “Itu sengaja dibuat ya, Pak?”
Pak Mulyono : “Iya.”
Pak Prawoto : “Buat minum, buat pertanian, ya buat sehari hari.”
Teo : “Itu airnya dari mana ya, Pak?”
Pak Mulyono : “Kalau dari sini sekitar 10 kilometer di gunung.”
Basta : “Itu ada sistem pembagiannya gak, Pak, untuk pengairannya?”
Pak Prawoto : “Kalau yang seperti itu tidak ada, jadi bagi rata aja.”
Teo : “Apa ada pematokan biaya untuk penggunaannya ini, Pak?”

56
Pak Mulyono : “Kalau pemasangan ada yaitu 1 juta, tetapi ditarif biaya per
bulannya Rp2000.”
Teo : “Uangnya itu dipakai untuk merawat pipanya itu, Pak?”
Pak Prawoto : “Ya.”
Kukuh : “Ide membuat sistem pengairan ini dari mana, Pak?”
Pak Mulyono : “Ini juga berdasarkan dari pengalaman.”
Fenti : “Ini sudah berjalan berapa lama, Pak?”
Pak Mulyono : “Kalau itu sudah lama.”
Teo : “Kalau di sini sungai nggak ada ya, Pak?”
Pak Mulyono : “Ada, tapi jauh sekitar 3-4 kilometer, tapi pengairannya ini dari
sungai.”
Teo : “Di lahan, jarak antar lahan bapak sama petani lain berdekatan ya,
Pak?”
Pak Prawoto : “Ada yang berdekatan ada juga yang sendiri-sendiri.”
Teo : “Di tempat ini berdasarkan apa ya pak orang bisa terpandang?”
Pak Mulyono : “Di sini asalkan dia baik dan bermasyarakat maka akan dihormati,
di sini kegotongroyongan di sini itu kuat.”
Pak Prawoto : “Biasanya kalau ada yang meninggal, 1 desa pasti datang untuk
membantu, bahkan pekerjaan pun bisa ditinggal.”
Basta : “Jadi nggak mandang orang itu siapa, pasti langsung ditinggal.”
Pak Mulyono : “Ya.”
Teo : “Meskipun bukan kerabat ataupun orang yang tidak dikenal, tetap
bantu ya, Pak?”
Pak Prawoto : “Ya, langsung bantu, di pemakaman aja langsung penuh
biasanya.”
Teo : “Oh, pemakaman di sini ada ya, Pak?”
Pak Prawoto : “Ada.”
Basta : “Hal tersebut sudah dilakukan dari sejak lama atau baru baru ini
saja, Pak.”
Pak Prawoto : “Kalau itu sudah dari jaman dulu.”
Basta : “Selain acara kematian, ada juga gak selain itu, Pak?
Pak Prawoto : “Ada pernikahan, tapi datang kalau saudara saja.”

57
Pak Mulyono : “Untuk pernikahan itu.”
Teo : “Jadi, langsung kalau misalnya ada berita ada orang yang
misalnya ada seseorang yang meninggal langsung tau semuanya,
Pak?”
Pak Mulyono
dan : “Ya.”
Pak Prawoto

Pak Prawoto : “Diumumkan lah diumumkan.”


Teo : “Oh ya, Pak diumumkan, pasti, Pak.”
Fenti : “Itu yang pernikahan yang kaya nggak, kalo nggak disuruh nggak
mau bantu itu emang dari dulu, Pak?”
Pak Mulyono : “Ya, sudah kebiasaan.”
Fenti : “Soalnya kalo di desa nenek saya yang di Madiun itu gak disuruh
gitu... Saya kira di sini...”
Pak Mulyono : “Kalau itu masalah kedatangan itu biasanya (bahasa jawa) apa....”
Fenti : “Oh itu rewang.”
Ilham : “Rewang.”
Pak Prawoto : “Kalo rewang, nggak.”
Pak Mulyono : “Kaya beras, di situ terus itu, setelah makan, pulang.”
Kukuh : “Buwuh, Pak.”
Pak Mulyono : “Ya, itu buwuh.”
Teo : “Eh di sini, selain petani ada yang bekerja sebagai e... Profesinya
selain petani gitu, Pak?”
Kukuh : “Selain petani, Pak.”
Pak Prawoto : “Gak ada.”
Pak Mulyono : “Kalau khusus petani, petani biasanya...”
Teo : “Ternak saja.”
Pak Mulyono : “Oleh Bapak ini, kan dari jam setengah tujuh sampai jam dua
belas itu di lahan, di lahan pertanian, terus jam 1 sampai jam ini
jam 3 sampai jam 4 itu ngurusi ternak.”
Teo : “Tapi ada gak selain peternak?”

58
Basta : “Kaya pegawai negeri gitu, Pak?”
Pak Prawoto : “Oh ada, sini pegawai negeri ya juga petani.”
Teo : “Oh ini semuanya petani tapi punya pekerjaan lain juga.”
Pak Prawoto : “Iyaa, mesti pegawai negeri.”
Basta : “Kalo dokter atau bidan-bidan gitu, Pak?”
Pak Mulyono : “Oh ada, cuma ada satu itu, lupa tapi bidan.”
Teo : “Jadi petani sudah mayoritas ya, Pak?”
Pak Mulyono : “Mayoritas sudah, pegawai negeri juga petani, cuma pegawai
negeri juga sampingannya tani.”
Teo : “Kalo kebudayaan, Pak, misalnya kebudayaan yang di sini?”
Fenti : “Dari turun-temurun kaya dari dulu udah sering dilakuin sampai
sekarang, itu ada nggak?”
Pak Mulyono : “Biasanya...”
Pak Prawoto : “Kuda lumping.”
Pak Mulyono : “Kuda lumping.”
Basta : “Apa, Pak?”
Pak Prawoto : “Kuda lumping.”
Basta : “Oh kuda lumping.”
Pak Prawoto : “Sering di sini dulu, tapi bukan di dusun sini.”
Pak Mulyono : “Yo itu anu, Mas, opo iku kadang-kadang ada, gak selalu ada.”
Pak Prawoto : “Tapi, ya, wayang di Indonesia sampai sekarang itu ya kuda
lumping.”
Pak Mulyono : “Dulu pencak, tapi sekarang gak ada yang neruskan lagi.”
Basta : “Di sini kaya ada aturan-aturan gitu gak, Pak, kaya norma-norma
gitu, misalnya, kalo anak gadis tu nggak boleh keliaran maghrib-
maghrib?”
Pak Mulyono : “Ada.”
Basta : “Apa aja, Pak? Yang Bapak pertahanin sampai sekarang?”
Pak Mulyono : “Misalnya sini kan bicara-bicara, ada perawan atau anak gadis itu
jangan menghalang jalan.”
Basta : “Ada lagi gak, Pak, misalnya kalau di daerah saya itu anak gadis
gak boleh berdiri di depan pintu.”

59
Pak Mulyono : “Oh ada, terus itu ada gadis, wah jodohnya adoh.”
Teo : “Berarti itu masih ada, Pak, di sini itu sering nggak, Pak ada
orang yang ngasih inovasi ke pertanian di sini?”
Pak Prawoto : “Nggak ada, sih?”
Teo : “Misalnya ada orang yang mau bawa cara bertani yang lebih baik
gitu, ke sini dan ngasih tau ke Bapak, terus buat kaya seminar?”
Pak Mulyono : “Gak pernah ada.”
Kukuh : “Dulu kalo misalnya Bapak ini masih pakai pupuk kandang terus
beralih ke pupuk yang buatan, ada gak, Pak?”
Pak Prawoto : “Maksudnya?”
Kukuh : “Dulu itu Bapak itu masih pakai pupuk kandang terus semakin
maju ada perubahan gitu, Pak?”
Pak Prawoto : “Ada kalau itu.”
Kukuh : “Kalau selain pupuk, ada gak, Pak?”
Pak Mulyono : “Pupuk kandang, biasanya pakai kotoran sapi dan kambing, tapi
sekarang pakai kotorannya ayam petelur.”
Ilham : “Kenapa, Pak?”
Pak Mulyono : “Pupuk kandang itu kalau dibuat untuk apel, gak efisien.”
Pak Prawoto : “Kalau pakai pupuk kandang waktu musim hujan kan gak bisa.”
Pak Mulyono : “Terus untuk sayuran, pupuk dari ayam petelur itu, memang
bagus, khusus untuk sayur.”
Teo : “Pernah gak menggunakan pupuk kimia, sering nggak, Pak?”
Pak Prawoto : “Sering kalau yang kimia.”
Teo : “Seringan mana pupuk yang digunakan?”
Pak Prawoto : “Ya seimbanglah pakainya.”
Kukuh : “Sesuai kebutuhan ya, Pak?”
Pak Mulyono : “Ya betul.”
Teo : “Jadi gak punya pandangan, kalau pupuk kimia itu lebih baik?”
Pak Prawoto : “Malah di sini kebanyakan pakai pupuk kandang yang banyak.”
Kukuh : “Terus Bapak tadi ada bilang kalau pupuk dari ayam petelur
khusus untuk sayur, itu Bapak tau sendiri atau ada yang ngasih
tau?”

60
Pak Mulyono : “Pertama itu kami perlu bukti.”
Fenti : “Jadi coba-coba, ya, Pak.”
Pak Prawoto : “Ya coba-coba, dan kok bagus.”
Kukuh : “Jadi dari dulu petani di sini coba-coba sendiri, gitu, Pak?”
Pak Mulyono : “Kan dulu di sini gak ada ternak ayam petelur, tapi sekarang
ada.”
Kukuh : “Jadi emang dari dulu tu nyoba sesuatu, Bapak kan peternak sapi,
jadinya penghasilan lebih itu dari ayam petelur?”
Pak Mulyono : “Maksudnya gini kan, pakai pupuk kandang kotoran sapi,
perbandingan sama pupuk kotoran ayam. Sebenarnya sama, cuma
kotoran ayam bisa digunakan satu musim saja, misalkan kita
nanam kubis, ya satu kubis itu aja, tapi kalau pakai pupuk kandang
sapi bisa digunakan sampai 1 tahun. Pupuk kandang ayam itu
padat, kurang tau kenapa, cuma memang segitu, pernah di sebelah
itu pakai pupuk petelur tapi waktu dipakai lagi suburnya habis.
Tapi kalau pakai kotoran sapi, kotoran kambing, 1 tahun masih
subur. Jadi pupuk ayam petelur itu instan.”
Fenti : “Umpamanya ya, Pak?”
Pak Mulyono : “Umpamanya gitu, pupuk petelur itu sebenarnya kurang baik, tapi
karena sudah kebiasaan, jadi diseimbangkan dengan pupuk
kandang kotoran sapi.”
Kukuh : “Kalau misalnya ada yang ngasih penyuluhan tentang inovasi
tertentu gitu, terus kalau benar-benar ada itu, bagaimana pendapat
Bapak kalau ada yang masukkan inovasi baru, sedangkan
kebiasaan di sini kan nyoba-nyoba?”
Pak Mulyono : “Kalo saya pribadi ya, bukan kelompok, kalo mau nanam itu liat
bukti.”
Teo : “Jadi Bapak bakal terima, asal benar-benar ada buktinya?”
Pak Prawoto : “ya, pernah berhasil pakai bibit ini dan bibit ini pasti dipakai.
Kalau banyak orang datang untuk memberitahu yang bagus-bagus
itu, petani di sini rata-rata tidak gampang percaya. Jadi liat
buktinya dulu.”

61
Teo : “Jadi Bapak gak punya prinsip untuk “Saya tidak mau menerima
inovasi apapun”. Tapi asalkan itu terbukti ya, Pak, selama bisa
dipakai tidak masalah.”
Basta : “Jadi petani di sini terbuka ya, Pak asalkan ada buktinya?”
Pak Mulyono : “Ya.”
Teo : “Acara-acara khusus di sini ada nggak, Pak, kaya acara tahunan
atau yang ada di sini?”
Pak Mulyono : “Biasanya itu suroan, pengajian juga.”
Pak Prawoto : “Itu tiap minggu.”
Pak Mulyono : “Kalau suroan itu tiap tahun di desa.”
Teo : “Saat idul adha, itu ada potong sapikan, Pak?”
Pak Mulyono : “Ya ada.”
Teo : “Ada, potong sapinya rame-rame, Pak?”
Pak Mulyono : “Bukan satu desa nggak, bukan satu dusun gak, tapi dibagi,
misalnya di langgar tengah, di masjid, jadi gotong royong.”
Basta : “Terus, Pak, ada nggak yang mau dilakukan saat mau bulan
puasa, misalnya ngaji rame-rame atau ada nggak mengunjungi ke
makam?”
Pak Mulyono : “Biasanya sebagian itu tiap malam jumat legi.”
Fenti : “Atau nggak di sini ada waktu mau sholat idul fitri, ada yang
bawa kaya makanan yang ada di bancakan?”
Pak Prawoto : “Oh nggak ada.”
Pak Mulyono : “Kalau di sini itu acaranya sebelum shalat ied, itu biasanya
malamnya seperti ini, besok sholat ied, malamnya ini ke rumah,
Pak RT.”
Pak Prawoto : “Acaranya hajatan.”
Teo : “Yang menyelanggarakannya itu satu desa atau gimana?”
Pak Mulyono : “Acara ini bukan 1 desa, tapi satu dusun.”
Teo : “Kalau di sini itu kebudayaan dari kota yang masuk ke sini itu
diterima gak, Pak?”
Pak Mulyono : “Kalau di sini contohnya tahun baru melek-an itu kan yang ada di
kota kita lakukan di sini selama tidak merugikan.”

62
Teo : “Ada gak, Pak, di sini yang pekerjaannya bukan petani?”
Pak Mulyono : “Sebagian ada.”
Teo : “Bapak menjual hasil tani Bapak ke bakul itu berdasarkan apa ya,
misalnya per kilo gitu, Pak?”
Pak Mulyono : “Ya per kilo.”
Teo : “Itu biasanya berapa, Pak?”
Pak Mulyono : “Ya contohnya kubis, itu paling mahal pernah merasakan Rp7000
per kilo.”
Teo : “Dalam sekali panen itu biasanya hasil panen Bapak berapa
kilo?”
Pak Mulyono : “Kalau satu lahan tanamannya sekitar 5000 bibit itu 6 ton.”
Teo : “Sering nggak, nggak berhasil, Pak?”
Pak Prawoto : “Pernah, rugi sering. Banyakan rugi.”
Kukuh : “Pernah ga, Pak jual hasil panennya ga ke tengkulak tapi harga
jualnya lebih tinggi?”
Pak Mulyono : “Enggak, gak pernah sebagian besar di sini jual ke tengkulak.”
Basta : “Bapak pribadi kenapa memilih jual ke tengkulak daripada
langsung jual ke pasar?”
Pak Mulyono : “Karena ribet.”
Basta : “Ribetnya itu seperti apa, Pak?”
Pak Mulyono : “Kita kan gak kenal pasar.”
Pak Prawoto : “Gak kenal pasar-pasar, gak kenal.”
Pak Mulyono : “Nanti kalau jual ke pasar yang beli juga tengkulak itu lagi.”
Teo : “Tapi Bapak punya motor?”
Pak Prawoto : “Punya, saya ga pernah make, Mas.”
Basta : “Di sini kan ada ibu-ibunya ada kelompok arisan nah kalau
Bapak-Bapaknya juga ada kelompok-kelompok juga gak, Pak?”
Pak Prawoto : “Gak ada itu.”
Pak Mulyono : “Itu biasanya anak-anak muda, nongkrong, dulu ada, Mas tapi
gak nongkrong tapi kamling.”
Fenti : “Tapi itu masih ada, Pak?”
Pak Mulyono : “Sekarang enggak.”

63
Kukuh : “Tapi ada pos siskamlingnya, Pak?”
Pak Mulyono : “Ada, tapi gak jalan.”
Basta : “Itu gak jalannya kenapa, Pak?”
Pak Mulyono : “Ya karena gak ada yang koordinasi dulu kan yang koordinasi
perangkat desa sekarang enggak.”
Basta : “Desa ini kayak jalur wisata ke Semeru gak, Pak?”
Pak Prawoto : “Ini jalur utamanya Semeru.”
Basta : “Nah itu kan jadi jalur utama wisata kan, Pak, itu masyarakatnya
ada yang berubah gak, misalnya kayak jadi jual-jual bensin gitu?”
Pak Mulyono : “Ada seperti adek Widi itu jadi pencari tamu, nah sekarang home
stay itu mulai berjalan mulai ada.”
Teo : “Berarti sudah mulai ada ya, Pak.”
Fenti : “Oh ya, Pak tadi kan hasil panen nya 6 ton, nah itu Bapak angkut
hasil panennya gimana, Pak?”
Pak Mulyono : “Biasanya pake sepeda.”
Kukuh : “Oh itu pulang pergi berarti, Pak.”
Fenti : “Di sini petaninya ga ada yang punya mobil pick up yang bisa
dipinjam?”
Pak Prawoto : ”Ya kalau punya pick up dipakai sendiri-sendiri.”
Pak Mulyono : “Biasanya bakul Mas yang ngangkut, bahkan yang suka panen itu
bakul, kita petani cuma nimbang.”
Pak Prawoto : “Tengkulaknya itu yang membiayai.”
Kukuh : “Oh berarti itu distribusinya diserahkan ke tengkulak?”
Teo : “Tapi ga jarang juga hasil Bapak itu dikonsumsi sendiri?”
Pak Mulyono : “Ya ada Mas seperti cabai tapi gak seluruhnya.”
Kukuh : “Oh iya Bapak namanya siapa?”
Pak Mulyono : “Mulyono.”
Kukuh : “Biasanya petani di sini itu lebih sering berbincang-bincang itu di
mana, Pak?”
Pak Mulyono : “Kalau kita berbagi keadaan tanaman itu biasanya di lahan, kalau
udah malam seperti ini udah kecapean, Mas.”
Teo : “Jadi ga ada ya yang ngumpul di warung kopi gitu, Pak?”

64
Pak Prawoto : “Ga ada, Mas.”
Teo : “Ini masjidnya dibangun bersama atau bantuan gitu, Pak?”
Pak Mulyono : “Ini dibangun bersama, 3 tahun mas, modalnya pertama itu 60
juta.”
Teo : “Itu semua dari masyarakat desa?”
Pak Mulyono : “Ya ada, Mas bantuan dari luar desa.”
Teo : “Pemerintah ada yang bantu, Pak?”
Pak Mulyono : “Pemerintah provinsi, Mas.”
Basta : “Di situ ada kayak lembaga-lembaga keamanannya kayak hansip
gitu, Pak?”
Pak Mulyono : “Hansip ada Mas, biasanya pake linmas.”
Basta : “Kalau misalnya ada pernikahan itu pas akadnya penghulu datang
ke desa atau ke KUA Pak?”
Pak Prawoto : “Kalau dulu penghulu datang sekarang kan sudah diharuskan ke
KUA.”
Teo : “Bapak modal pernah minjam gak, Pak?”
Pak Mulyono : “Kalau di kecamatan ada GAPOKTAN, tapi kita gak minjem.”
Teo : “Tapi setahu bapak GAPOKTAN itu sering gak ada yang datang
minjem gitu?”
Pak Mulyono : “Jarang Mas, kan harus datang ke pihak peminjam.”
Pak Mulyono : “Kalau di sini kalau tanam padi itu gak ada, tapi kalau untuk
penghasilan musim kemarau juga ada seperti buncis, tapi di sini
penghasilannya sudah merosot ada virus soalnya, sak iki boso jowo
ne iku opo kuning, jadi pucuk daunnya itu kuning-kuning.”
Teo : “Terus ga ada penanganannya gitu, Pak?”
Pak Mulyono : “Cara penanganan ga ada, kita cabut.”
Teo : “Tapi pernah gak Bapak mau mendatangkan orang untuk meneliti
keadaan?”
Pak Mulyono : “Ya kita kalau kena penyakit pakai pestisida.”
Teo : “Sering Bapak gunakan pestisida?”

65
Pak Mulyono : “Tiap-tiap tanaman gunakan, pakai organik kan juga gak bisa,
dulu ada penyuluhan semprot pakai organik cuman ya gak
berhasil.”
Fenti : “Ketua RT di sini pekerjaannya apa, Pak?”
Pak Mulyono : “Ketua RT sekarang buruh tani, pegawai tengkulak itu loh,
Mas.”
Teo : “Pegawai tengkulak banyak di sini, Pak?”
Pak Mulyono : “Ya beberapa itu, Mas.”
Teo : “Rata-rata penghasilan petani di sini berapa ya, Pak?”
Pak Mulyono : “Itu liat keberhasilan, Mas, kalau kubis 3000 bibit itu 750 ribu per
lahan.”
Teo : “Di sini juga ga ada komunitas ya Pak, kayak komunitas khusus
petani?”
Pak Mulyono : “Ga ada Mas.”
Teo : “Berarti tergantung individu masing-masing?”
Pak Mulyono : “Kalau sekarang keluh kesahnya serangan hama, Mas.”
Teo : “Itu sering ya, Pak?”
Pak Mulyono : “Ada kalau kubis itu keper, keper itu kayak kupu-kupu kecil
warna putih.”
Teo : “Oalah.”
Pak Mulyono : “Kalau sekarang keluh kesah saya nanem tomat tapi layu.”
Teo : “Tapi ada gak kayak serangan hama gitu?”
Pak Mulyono : “Layu aja Mas, hampir 50% layu, mengerjakan wes maksimal
tapi ya layu, tapi saya tanyakan kemana-mana faktornya keasaman
tanah.”
Teo : “Bapak tanyainnya kemana?”
Pak Mulyono : “Ya ke teman-teman petani.”
Teo : “Tapi ada gak Bapak ingin bertanya ke pihak-pihak yang lebih
ahli gitu?”
Pak Mulyono : “Ya kepingin, Mas, cari solusi, saya ingin menimba ilmu dari
mas-masnya.”

66
Teo : “Ya kami di sini juga ingin mendengar keluh kesah petani, kalau
masalah layu gitu mungkin penyebab utamanya gitu tanah misalnya
keasaman tanah, mungkin ada bahan kimia di tanah nya sendiri itu
bikin tanaman nya layu, tapi bener ga ada gejala serangan hama
gitu ya, Pak?”
Pak Mulyono : “Ga ada, Mas.”
Teo : “Mungkin misal ya Pak. Bapak sering pakai pestisida nanti bahan
kimia di pestisidanya akan kumpul di tanahnya Pak walaupun
sedikit-sedikit nanti itu akan berefek ke tanahnya, tapi untuk lebih
lanjut itu bisa diteliti lebih lanjut, Pak.

67
Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan

SD di Dusun Kunci Home Stay di Dusun Kunci Poskamling

TK Dharma Wanita Rumah Pak Prawoto Masjid

Foto bersama Pak Prawoto dan Pak Mulyono

68

You might also like