You are on page 1of 21

BULLYING DALAM TELAAH KAJIAN ISLAM DAN PSIKOLOGI

DISUSUN OLEH :

Rafi Aulia Ilmi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya

dapat menyelesaikan ujian susulan yang berjudul “Bullying dalam Telaah Kajian Keislaman” ini

tepat pada waktunya. Semoga tulisan ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk

maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan saya semoga tulisan ini dapat membantu dan menambah pengetahuan serta

pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi tulisan ini

sehingga kedepannya dapat lebih baik. Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Layyinah,

M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Islam dan Psikologi yang telah memberikan tugas ini

sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Tulisan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu saya harapkan kepada para pembaca

untuk memberikan masukan masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tulisan ini.

Jakarta, 2 Maret 2022

Rafi Aulia Ilmi (Penulis)


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bullying merupakan masalah yang universal dan merupakan perilaku yang tidak
diinginkan, agresif dilakukan dikalangan anak-anak usia sekolah khususnya pada remaja.
Bullying dapat berupa memukul, menendang, mengancam, menggoda, memanggil nama yang
jelek yang dilakukan bukan hanya sekali tetapi dilakukan berulang-ulang. Bullying melibatkan
ketidak seimbangan kekuasaan fisik atau psikologis. (Fajriyah et al., 2021)

Bullying dapat terjadi secara langsung dapat menimbulkan luka fisik atau spikologis.
Salah satu faktor yang besar dari perilaku bullying pada kalangan remaja oleh adanya teman
sebaya yang memberikan pengaruh negatif, bahwa bullying merupakan suatu hal yang wajar
dilakukan. Menurut Djuita Ratna, bullying terjadi pada masa remaja karena pada masa remaja
memiliki keinginan untuk tidak tergantung pada keluarga dan mulai mencari dukungan dari
kelompok sebayanya. Jadi bullying terjadi adanya tuntuntan konformitas. Bullying memiliki
dampak serius pada anak-anak seperti cacat fisik permanen, keinginan untuk bunuh diri,
gangguan emosional, serta ketakutan kepada lingkungan sosial. (Fajriyah et al., 2021)

Sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa hampir setiap aktivitas seseorang dari anak-
anak, remaja, sampai kalangan orang tua sudah pasti mengenal apa itu media sosial seperti
facebook, twitter, instagram, bbm, path dan sebagainya. Media sosial cukup banyak
memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia, tetapi juga dapat berdampak negatif jika
penggunaanya terlalu berlebihan. Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim hendaknya
dapat memfilter dan memilah-milah mana yang baik dan mana yang tidak baik bagi diri kita
sendiri, jangan sampai penggunaan media sosial menjerumuskan kita ke dalam hal-hal yang
bersifat negatif. Salah satu dampak positif dari adanya media sosial adalah media sosial dapat
menjalin kembali tali silaturahmi dengan saudara, teman ataupun kerabat lama.

Namun, tidak terlepas dari dampak negatif penggunaan media sosial yaitu maraknya
masyarakat khususnya bagi kalangan remaja yang menggunakan media sosial hanya untuk
menjadikan remaja lain bahkan teman atau kerabatnya sendiri sebagai cyber bullying atau
kejadian manakala seorang remaja diejek, dihina, di intimidasi atau dipermalukan oleh
temannya sendiri melalui media sosial. Terlepas dari kata cyber, kata bullying itu sendiri,
berupa penyiksaan atau pelecehan yang dilakukan tanpa motif, tetapi dengan sengaja atau
dilakukan berulang-ulang terhadap orang yang lebih lemah.

Perilaku Bullying merupakan salah satu bentuk perilaku yang menyimpang dari pola
perilaku individu pada umumnya. Perilaku tersebut sering digunakan oleh remaja dalam hal ini
adalah siswa untuk menindas temannya yang lebih lemah. Perilaku ini dikenal dengan istilah
bullying. Rigby (2003) menjelaskan bullying adalah bentuk-bentuk perilaku yang berupa
pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik maupun psikologis terhadap seseorang atau
kelompok yang lebih “lemah” oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempersepsikan
dirinya “kuat”. Bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti
seseorang atau sekelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tidak berdaya.

Beberapa kasus Bullying yang pernah terjadi di Indonesia yang pernah tercatat; data
dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) atas pengaduan masyarakat di tahun 2011-
2012 menduduki peringkat atas selama 3 tahun terakhir, sebanyak 369 kasus. KPAI mencatat
bahwa kasus Bullying terjadi karena pengaruh media sosial (60% Instagram, 40% Facebook)
dan game online yang menjadi pemicu terbesarnya (Raya, 2018).

Berdasarkan data dari KPAI pada tahun 2013-2015 kasus bullying di sekolah selalu
berulang setiap tahun. Perilaku bullying diantaranya berupa ancaman fisik seperti: memukul,
mendorong, menendang, atau dalam bentuk verbal seperti mengejek, mencela, mengintimidasi,
dan mengisolasi seseorang. Perilaku bullying merupakan suatu tindakan yang scara sadar serta
disengaja dilakukan untuk menyakiti seseorang. Perilaku bullying dikalangan remaja masih
mengancam masa depan bangsa Indonesia. Sebuah penelitian yang baru-baru ini disiapkan oleh
American Psychological Association memperlihatkan 80% siswa sekolah menengah mengakui
perilaku bullying dalam 30 hari terakhir. Survei mengemukakan 40% dari anak umur 9-15
tahun mengakui telah melakukan bullying. (Fajriyah et al., 2021)

Sementara pada tahun 2019, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima
37 laporan pelanggaran hak anak di bidang pendidikan sepanjang Januari hingga April 2019.
Total 37 laporan pelanggaran hak anak di bidang pendidikan yang didapatkan dari pengaduan
secara langsung maupun online. Pelanggaran hak anak di bidang pendidikan masih didominasi
oleh perundungan, berupa kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual. Selain itu, ada juga
yang menjadi korban kebijakan. Anak korban kebijakan terdapat 7 kasus, pengeroyokan 3
kasus, korban kekerasan seksual 3 kasus. Lalu ada korban kekerasan fisik 8 kasus, ditambah
korban kekerasan psikis dan bullying 12 kasus. Bahkan, ada 4 kasus di mana anak jadi pelaku
bullying terhadap guru. (Ja, 2021)

Bullying biasanya dilakukan dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai, membuat
seseorang menjadi terasa tertekan dan takut, trauma, depresi dan tak berdaya. Secara garis besar
ada tiga bentuk bullying, antara lain: pertama bullying dalam bentuk fisik, menjahihi, memukul,
dan menendang. Kedua, bullying dalam bentuk verbal, menyakiti dalam bentuk ucapan seperti,
mengejek, mencaci, menggosip, memaki, dan membentak. Ketiga, dalam bentuk psikis seperti
mengucilkan, mengintimidasi, menekan, mendiskriminasi dan mengabaikan.

Riauskina dkk. (2005) melakukan penelitian pada beberapa SMA di Jakarta dan Bogor,
menemukan fakta bahwa bullying sudah menjadi tradisi siswa-siswi di SMA tersebut.
Penelitian ini mencatat bahwa ‘penggencetan’ oleh kakak kelas pada adik kelas dapat
dikategorikan menjadi dua jenis yaitu memarahi dan mengganggu. Adik kelas dimarahi ketika
kakak kelas tidak suka, dan adik kelas diganggu ketika kakak kelas sedang ingin ‘iseng’.

Di Indonesia, hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA)


Nomor 23 Tahun 2002 pasal 54 menyatakan, "Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib
dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-
temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya". Bullying
merupakan perilaku yang tidak bisa diterima secara sosial. (Harahap & Ika Saputri, 2019)

Di Indonesia khususnya, kasus bullying tidak dapat didianggap ringan karena menurut
Kementerian Sosial RI Khofifah Indar Parawansa. Hingga 15 Juli 2017 sudah mencapai 976
pengaduan dan 117 pengaduan di antaranya adalah berkaitan dengan kasus bullying. Jadi,
sebenarnya tidak hanya satu atau dua kasus. Ada banyak, hanya memang itu yang terungkap
dan ada buktinya ke publik. angka tersebut sudah masuk ke dalam kategori mengkhawatirkan
dan tingkatannya sudah cukup tinggi di Indonesia. Oleh sebab itu, telah banyak tertulis jurnal
dan berbagai buku yang ditulis guna menanggulangi kasus tindak perilaku bullying tersebut.
(Maisah, 2020)

Menurut Andrew Mellor, Ratna Djuwita, dan Komarudin Hidayat dalam seminar
“Bullying : Masalah Tersembunyi dalam Dunia Pendidikan di Indonesia” di Jakarta tahun 2009,
mengatakan bullying terjadi akibat faktor lingkungan keluarga, sekolah, media, budaya dan
peer group. (Maisah, 2020)
Secara fisik, pelaku bullying tidak hanya didominasi oleh anak yang berbadan besar
dan kuat, anak bertubuh kecil maupun sedang yang memiliki dominasi yang besar secara
psikologis di kalangan teman-temannya juga dapat menjadi pelaku bullying. Alasan yang
paling jelas mengapa seseorang menjadi pelaku bullying adalah bahwa pelaku bullying
merasakan kepuasan apabila ia “berkuasa” di kalangan teman sebayanya. Selain itu, tawa
teman-teman sekelompoknya saat ia mempermainkan korban memberikan penguatan terhadap
perilaku bullying (Sejiwa, 2008).

Ardianti (2009) menemukan bahwa selain perasaan berkuasa, ada beberapa hal yang
menyebabkan seseorang menjadi pelaku bullying di sekolah, di antaranya: faktor penampilan
korban, lingkungan, pengalaman masa lalu, perasaan iri, dan latar belakang keluarga. Perilaku
bullying tidak bisa dibiarkan sebab menimbulkan dampak negatif pada siswa yang menjadi
korban. Rigby (1999) mengemukakan bahwa anak yang menjadi korban bullying akan merasa
terganggu secara psikologis, seperti gugup, cemas, kurang tidur, takut, tidak mau melakukan
apapun, membenci sekolah dan merasa stres setiap pagi ketika harus ke sekolah. (Harahap &
Ika Saputri, 2019)

Perilaku bullying sering terjadi di sekolah, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat,


dan lain sebagainya. Perilaku bullying biasanya dilakukan oleh senior kepada junior, anak yang
kaya pada anak yang miskin, anak yang cantik atau tampan yang memiliki kekuasaan dengan
anak yang memiliki kecacatan fisik ataupun mental seperti anak berkebutuhan khusus.
Kebanyakan pelaku bulllying mencari popularitas dengan cara menekan pihak yang lemah,
junior ataupun kecil. Perbuatan pelaku bullying biasanya berupa meminta uang, bekal, jawaban
tugas/ pekerjaan rumah, atau yang lainnya. (Maisah, 2020)

Salah satu penyebab terjadinya tindak perilaku bullying yaitu kurangnya pendidikan
dan kontrol orang tua pada anak. Dalam pendidikan Islam terdapat pembahasan tersendiri
mengenai pelarangan perilaku tersebut. Bullying merupakan hal yang dilarang karena terkait
dengan akhlak kepada sesama manusia. Bahkan dalam al-Quran pun telah menerangkan bahwa
tindak perilaku bullying merupakan akhlak tercela atau tidak baik. (Maisah, 2020)

Alqur’an surat al-Hujurat ayat 11:

ْ‫خ ْرْ قَ ْومْ ِم ْنْ قَ ْومْ عَ َس ىْ أَ ْنْ يَ ُك ونُواْ َخ ْيْراْ ِم نْ ُه ْم‬ ِ َّ


َ ‫ينْ آمَ نُواْ َلْ يَ ْس‬
َ ‫َيْ أَيُّ َه اْ ا ل ذ‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ ُ‫َوَلْ ن َس اءْ م ْنْ ن َس اءْ عَ َس ىْ أَ ْنْ يَ ُك َّنْ َخ ْيراْ م نْ ُه َّنْْْ َوَلْ تَ لْ م ُزواْ أَنْ ف‬
ْ‫س ُك ْم‬
ِ َ‫ابْْْ بِئْ سْ ِال س مْ ا لْ فُ س و ُقْ ب ع َدْ ْاْلِ مي‬
ْْ‫انْْْ َومَ ْنْ َل‬ ِ َ‫وَلْ تَ نَاب ُزواْ ِِب ْْلَلْ ق‬
َْ ُ ُْ َ َ َ

ْ‫كْ ُه مُْ ال ظَّالِ ُم و َن‬


َ ِ‫بْ فَأُولَ ئ‬
ْ ُ‫يَ ت‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan
lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela
dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Mem-bully dilarang bukan saja karena menimbulkan perasaan malu bagi korban karena
kehormatan dirinya, tapi juga terselip perasaan bahwa kita yang mem-bully ini lebih baik dari
orang lain sehingga kita berhak melecehkan mereka, atau bisa jadi terselip perasaan iri hati
bahwa orang lain lebih baik dari kita, maka kita mem-bully mereka. Merusak kehormatan orang
lain, memiliki perasaan sombong lebih baik dari orang lain atau dengki/iri hati akan kelebihan
yang lain-semuanya tidak dibenarkan dalam Islam.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil pemaparan latar belakang yang disampaikan, penulis merumuskan


masalah sebagai berikut :

1. Apa definisi dan telaah pustaka mengenai bullying beserta sejarahnya?


2. Bagaimana Islam memandang fenomena bullying?
3. Bagaimana dampak bullying terhadap lingkungan sekitar?
4. Bagaimana cara mengatasi bullying dalam kajian keislaman?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan secara garis besar adalah untuk menjawab rumusan masalah yang
telah penulis paparkan dalam sub-bab 1.2. mengenai rumusan masalah.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Bullying

Istilah bullying berasal dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti “banteng” yang suka
menanduk. Pelaku bullying biasa disebut bully. Bullying adalah sebuah situasi terjadinya
penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok.
Maksud dari kekuatan disini adalah kekuatan fisik maupun mental. Beberapa pendapat para
ahli tentang bullying di antaranya yaitu, Prof. Sarlito menyebutkan bullying adalah penekanan
dari sekelompok orang yang lebih kuat, lebih senior, lebih besar, lebih banyak terhadap
seseorang yang lebih lemah, lebih kecil, lebih junior. (Maisah, 2020)

Bullying adalah kegiatan mengusik atau mengganggu orang lain secara terus-menerus
sehingga orang yang dibully menjadi terasingkan dari lingkungannya. Tindak perilaku bullying
tersebut, tidak sedikit kasusnya yang berujung dengan kematian korban bullying. Hal ini
dikarenakan korban telah merasa frustasi atas perilaku ataupun ucapan pelaku bullying. Korban
sudah tidak dapat lagi menahan kekalahan psikologisnya, sehingga ia hanya berpikir kematian
merupakan jalan terbaik dalam menghadapi hal tersebut. (Maisah, 2020)

Dalam teori Thornoton (2010) mengatakan bahwa bentuk perilaku tersebut dikatakan
sebagai salah satu delenkuensi (kenakalan Anak), karena melanggar norma masyarakat dan
dapat dikenai hukuman oleh lembaga hukum. Perilaku bullying disebabkan oleh sejumlah
faktor, seperti keluarga (broken home) atau pola didik keras dan berlebihan), dan lingkungan
bermain dan sekolah hingga media massa. (Firdaus & Aisyah, 2020)

Teori Olweus (1993) mendefinisikan bully yang mengandung tiga unsur mendasar dari
perilaku bully sebagai berikut: bersifat menyerang (agresif) atau negatif, dilakukan secara
berkali-kali dan adanya ketidak seimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Kemudian
Olweus mengdefinisikan dua subtype bully yaitu perilaku secara langsung (direct bully),
misalnya penyerangan secara fisik dan perilaku secara langsung (indirect bully), misalnya
pengucilan secara social. Riset menunjukkan bahwa bentuk bully tidak langsung, seperti
pengucilan secara social, lebih sering digunakan oleh perempuan dari pada laki-laki. Sementara
anak laki-laki menggunakan atau menjadi korban tipe bully secara langsung, misalnya
penyerangan secara fisik. (Firdaus & Aisyah, 2020)
Teori Rigbi (2006) mendefinisikan bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti.
Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita, Aksi ini dilakukan
secara Iangsung oleh seseorang atau kelompok yang Iebih kuat, tidak bertanggung jawab,
biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang. (Firdaus & Aisyah, 2020)

2.1.1. Sejarah “Bullying”

Bullying memiliki istilah lain dalam studi ilmiah tentang bullying di Eropa yang asal-
usul utamanya di Swedia dan Norwegia. Seorang dokter sekolah, Heinemann,
memperkenalkan istilah Swedia mobbning dalam buku Mobbning - Gruppvald bland lumbung
och vuxna (1972). Kata ini dipinjam dari istilah etis mobbing, atau ‘all against one’, yang
menggambarkan serangan kolektif oleh kelompok terhadap individu (individu yang menjadi
korban seringkali berasal dari jenis kelompok lain).

Karya Heinemann ini kemudian diambil oleh Dan Olweus, seorang warga Swedia yang
kemudian sebagian besar karir penelitiannya dilakukan ketika bekerja di Universitas Bergen
Norwegia. Olweus menggunakan istilah ini dalam bukunya Forskning om skolmobbning
(1973) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai as Aggression in the School:
Bullies and Whipping Boys (1978). Selain itu, bukunya Mobbning - vad vi vet och vad vi kan
gora (1986) juga menggunakan istilah serupa dan merupakan dasar dari bukunya yang paling
terkenal berjudul Mobbning i skolan (versi Swedia), Mobbning (versi Norwegia) dan Bullying
at School: What We Know and What We Can Do (versi bahasa Inggris) yang mana semuanya
telah dialihbahasakan ke banyak bahasa.

Mobbning membawa konotasi pada keadaan ‘sekumpulan orang melawan satu orang'.
Namun, Olweus segera menolak pernyataan ini karena data dari studi Bergen menunjukkan
bahwa dalam sebagian besar kasus, korban bullying dibujuk oleh sekelompok kecil yang terdiri
dari dua atau tiga siswa yang sering kali dipimpin oleh pemimpin yang memunyai
kecenderungan negatif. Sebagian besar korban, sekitar 25-40 % melaporkan bahwa mereka
terutama diganggu oleh seorang siswa tunggal (1999, hal.10).

Olweus juga merancang kuesioner laporan untuk menilai bullying di sekolah. Ini
termasuk definisi yang menyebutkan berbagai jenis bullying (seperti dipukul atau diancam)
yang mana praktik bullying ini dapat sering terjadi dan sulit bagi orang yang lebih muda
usianya sebagai posisi yang diganggu untuk membela dirinya sendiri. Dengan demikian, selain
karena niat yang sengaja menyakiti, bullying didefinisikan sebagai tindakan agresif yang
dilakukan secara berulang-ulang dengan adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku
dan korban bullying. Dan Olweus adalah seorang Profesor yang melibatkan dan memfokuskan
dirinya selama bertahun-tahun dalam studi tentang bullying di Skandinavia. Definisi yang lebih
ringkas tetapi serupa pada saat itu bullying adalah penindasan berulang terhadap orang yang
kurang berkuasa baik dari segi fisik atau psikologisnya, oleh orang yang lebih kuat (Farrington,
1993). Bullying bisa dilakukan oleh satu orang – the bully – atau oleh sekelompok orang.
Demikian juga yang menjadi target bullying bisa seorang individu – the victim – atau
sekelompok orang. Perlu ditekankan bahwa istilah bullying tidak digunakan ketika dua peserta
didik yang memiliki kekuatan yang sama, baik secara fisik maupun secara psikologis, berkelahi
atau bertengkar. (Sofyan, 2019)

Namun demikian sebagaimana telah disampaikan di paragraf sebelumnya bahwa suatu


perilaku disebut bullying ketika terdapat ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan
korban bullying. Ketidakseimbangan ini ditandai dengan adanya kesulitan korban bullying
untuk membela diri dan tampak tidak berdaya ketika berhadapan dengan pelaku bullying.
Berdasarkan definisi bullying yang disampaikan oleh pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa
bullying adalah bentuk penindasan secara fisik maupun secara psikologis yang dilakukan oleh
pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah secara berulang-ulang dan biasanya
dilancarkan oleh sekelompok orang terhadap individu tertentu. (Sofyan, 2019)

2.1.2. “Bullying” dalam Sejarah Islam

Perilaku Bullying dalam Sejarah Islam Nabi Muhammad Saw pada masa awal
dakwahnya mengalami berbagai penganiayaan, ejekan, penghinaan, cemoohan dan
pemboikotan dari orang-orang kafir Quraisy (Ulum, 2021). Beberapa contoh bullying yang
dialami oleh Nabi Muhammad SAW adalah antara lain:

1. Bullying Fisik
Abdullah bin Umar menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW sedang sujud di
dekat Ka’bah, ada beberapa orang kafir Quraisy, salah seorang diantaranya yakni Uqbah
bin Abi Mu’it datang membawa kotoran binatang, lalu melemparkannya ke punggung
Nabi. Dalam riwayat yang lain menyebutkan bahwa Uqbah melingkarkan pakaian di
leher Nabi kemudian menjeratnya dengan tarikan yang keras. Nabi Muhammad pernah
mendapatkan penganiayaan dan pengusiran yang dilakukan oleh penduduk Taif. Mereka
membuntuti Nabi dan melempari dengan menggunakan batu hingga sandal Nabi
berlumuran darah. Zaid bin Haritsah yang mendampingi Nabi dan berusaha melindungi
beliau justru terluka kepalanya.
2. Bullying Verbal
Secara verbal, Nabi Muhammad sering mendapatkan bullying dari kafir quraisy,
diantaranya Nabi dituduh dengan sebutan Muhammad sebagai dukun, orang gila, penyair
dan penyihir. Dalam tafsir Ibnu Katsir, kafir Quraisy menuduh Nabi Muhammad sebagai
pembohong. Selain itu, kafir quraisy juga sering mengejek, menghina, mengolok-olok,
menertawakan dengan maksud melecehkan orang muslim. Mereka menganggap bahwa
al-Qur’an tidaklah beda dengan dongeng-dongeng saja.
3. Bullying Relasional
Bullying relasional yang pernah dilakukan kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad
SAW dan sahabatnya adalah pemboikotan secara menyeluruh terhadap Bani al-Muttolib
dan Bani Hasyim selama tiga tahun, sejak awal bulan Muharram tahun ketujuh hingga
tahun kesepuluh nubuwwah, dengan cara membuat piagam kezaliman secara sepihak. Isi
piagam tersebut adalah larangan menikah, berjual beli, berteman, berkumpul, berbicara
dengan mereka sehingga kaum muslimin sangat mengenaskan dan kelaparan.

Dalam kitab Majma’ul Zawa’id bab Makarimul akhlak wa al-afw ‘amman zhalama,
dikisahkan bahwa pernah ada seseorang yang mem-bully Abu Bakar As-Shiddiq di hadapan
Nabi Muhammad SAW. mendengar hinaan tersebut, Nabi Muhammad SAW hanya terdiam
bahkan sesekali tersenyum. Abu Bakar dihina berulang kali hingga akhirnya beliau tidak sabar
dan membalas hinaan tersebut. seketika membalas, Nabi justru pergi meninggalkan Abu Bakar,
seolah tidak suka apa yang dilakukan Abu Bakar. Abu Bakar kemudian menyusul Nabi, minta
klarifikasi dari Nabi, ternyata Nabi menjelaskan bahwa pada saat Abu Bakar dihina, ada
malaikat yang menyandingi Abu Bakar, namun ketika Abu Bakar membalas hinaannya,
malaikat tersebut langsung pergi. (Ulum, 2021)

2.2. Bullying dalam Pandangan Islam

Al-Qur’an merupakan petunjuk yang dapat menuntun manusia menuju jalan yang
benar. selain itu Al-Qur’an juga berfungsi sebagai pemberi penjelasan terhadap segala sesuatu
dan sebagai pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Untuk mengungkap petunjuk dan
penjelasan dari Al-Qur’an telah dilakukan. Berbagai upaya oleh sejumlah upaya pakar ilmu
dan ulama yang berkompeten untuk melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an, dari masa awal
hingga kini. Hadits, baik secara struktural maupun fungsional disepakati oleh mayoritas umat
Islam dan berbagai madzhab sebagai sumber ajaran Islam. Karena dengan adanya hadits dan
sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas dan rinci.

Dalam beribadah, setiap manusia adalah sama-sama memiliki posisi sebagai hamba dan
memiliki hak yang sama pula untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Satu hal yang
membedakan derajat setiap hamba adalah tingkat ketakwaannya dan klaimisme ketakwaan
tersebut hanya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Adapun paradigma yang menjadi landasan
pendidikan Islam adalah paradigma humanisme-teosentris yang nilai-nilainya berasal dari
agama Islam. Di satu sisi, paradigma ini menjunjung tinggi nilai-nilai universal seperti
mementingkan hak-hak kemanusiaan, menjunjung tingi harkat serta martabat manusia akan
tetapi di sisi lain tetap dalam bingkai nilai-nilai transendental yang ujung-ujungnya untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Jika dilihat orientasi dari perilaku bullying yang mengarah pada suatu tindakan yang
merendahkan orang lain, terdapat satu hadis yang secara spesifik menjelaskan tentang hal
tersebut (Saefulloh A, 2020). Hadis tersebut terdapat dalam kitab Sunan Ibnu Majah dengan
redaksi sebagai berikut:

‫امر‬
ِ ‫ع‬َ ‫س ِعيد َم ْولَى بَنِي‬ َ ‫ع ْن أَبِي‬ َ ‫ع ْن دَ ُاودَ ب ِْن قَيْس‬
َ ‫يز بْنُ ُم َح َّمد‬ِ ‫ع ْبدُ ْالعَ ِز‬َ ‫وب بْنُ ُح َميْد ْال َمدَنِي َحدَّثَنَا‬ ُ ُ‫َحدَّثَنَا يَ ْعق‬
‫ش ِر أَ ْن يَحْ ِق َر أَخَاهُ ْال ُم ْس ِل َم‬
َّ ‫ام ِرئ ِم ْن ال‬ْ ‫ْب‬ ُ ‫س َّل َم قَا َل َحس‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ّللا‬ ُ ‫ع ْن أَ ِبي ه َُري َْرةَ أَ َّن َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬ َ

Telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Humaid Al Madani telah menceritakan
kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Daud bin Qais dari Abu Sa'id bekas budak 'Amir
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cukuplah
seseorang dikatakan telah berbuat jahat jika ia merendahkan saudaranya muslim."

Memanusiakan manusia dalam pendekatan pendidikan Rasulullah Saw. sepenuhnya


mengacu ke hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Manusia seutuhnya sesuai
dengan status dan fungsinya menurut konsep Sang Maha Pencipta itu sendiri. Dengan alur
pemahaman yang demikian, maka dalam memanusiakan manusia melalui pendidikan juga
mesti dikaitkan dengan tuntutan Sang Maha Pencipta sebagaimana salah satunya tercantum
dalam QS. Ar-Ra’d ayat 17. Perumpamaan yang termuat di rangkaian tersebut bahwa
pendidikan berintikan penegakan kebenaran. Di rangkaian kebenaran yang demikian itu akan
terbentuk nilai-nilai manfaat bagi kehidupan. Kebenaran yang membentuk nilai-nilai manfaat
ini pula yang mampu bertahan secara lestari, sebab hal itu sejalan dengan fitrah manusia itu
sendiri. Pendidikan Islam berupaya memanusiakan manusia dengan berlandaskan paradigma
humanisme-teosentris.

Humanisme dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip teosentrisme.
Di satu sisi keimanan “tauhid” sebagai inti ajaran Islam, menjadi pusat seluruh orientasi nilai.
Akan tetapi semua itu kembali untuk manusia yang dieksplisitkan dalam tujuan risalah Islam
rahmatan lil’alamin. Upaya pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia ini
sesungguhnya merupakan upaya pendidikan Islam untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang sifatnya universal. Semangat inipun juga ditemukan dalam disiplin ilmu
tasawuf yang merupakan landasan psikologi sufistik. Dari segi metafisik, manusia mempunyai
persamaan total dengan sesama manusia dalam sifat kehambaannya pada Allah SWT.

Di dalam kesamaan visi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. inilah letak
pertemuan antara tasawuf dan pendidikan Islam sehingga kedua disiplin ilmu ini dapat
diintegrasikan dalam rangka menangani praktik bullying. Secara lebih detail, pengetahuan
tentang unsur jasad dan rohani manusia yang dijabarkan dalam disiplin ilmu tasawuf akan
menguatkan teori pengembangan fitrah dalam pendidikan Islam kaitannya dengan
memaparkan secara lebih komprehensif apa yang tercantum pada tujuan pendidikan Islam
yakni untuk mengembangkan fitrah manusia. (Sofyan, 2019)

2.3. Dampak Bullying terhadap Lingkungan Sekitar

Pengaruh perilaku bullying dilihat penting karena dapat memberikan dampak yang
serius kepada korban. Perilaku bullying bukan hanya dilihat dari sudut dampaknya saja tetapi
juga perlu dilihat dari sudut faktor yang menyebabkan perilaku itu terjadi. Kegagalan
memahami penyebab perilaku tersebut terjadi akan menyebabkan kesulitan dalam usaha
mengatasi perilaku itu sendiri. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh perilaku bullying itu sendiri
yang dilihat sangat kompleks karena terdapat pelbagai faktor yang menyebabkan perilaku itu
terjadi di tempat kerja. Keadaan ini sekiranya dibiarkan terus menerus akan menyebabkan
organisasi terpaksa mengeluarkan biaya yang besar untuk tujuan mencari pekerja baru. (Khalib,
A.L. and Ngan, H.U, 2006).

Penelitian mengenai perilaku bullying telah muncul di United Kingdom pada tahun
1990, seorang wartawan bernama Andrea telah membawa isu ini kepada perhatian umum di
Inggris melalui siaran radio di BBC (British Broadcasting Corporation) dan melabelkan
fenomena mobbing tersebut sebagai bullying. Perkembangan ini diikuti oleh beberapa
penelitian internasional berskala besar yang secara jelasnya menunjukkan keseriusan fenomena
yang terjadi di tempat kerja. Pengaruh daripada upaya yang dilakukan oleh Adrea
menyebabkan istilah bullying lebih banyak digunakan di United Kingdom (Hoel, H. & Cooper,
C.,2008).

Di Amerika Serikat, fenomena bullying di tempat kerja telah diuraikan oleh Carrol
Brodsky pada tahun 1990 melalui bukunya yang bertajuk The Harassed Worker pengaruh
daripada trend yang terjadi di Inggris. Melalui penelitian yang dilakukan, Brodsky telah
menguraikan pelbagai kasus yang menunjukkan semua tahapan organisasi menyatakan bahwa
terjadinya penzaliman secara sistematis oleh atasan dan rekan sejawat di tempat kerja dengan
pengaruh buruk terhadap produktivitas dan kesejahteraan mereka.

Pada akhir 1990, penelitian berkenaan bullying di tempat kerja lebih memfokuskan
kepada korban. Penelitian berkenaan bullying terus berkembang dengan secara cepat di
Amerika Serikat pada tahun 2000 setelah usaha Gary dan Ruth Namie menerbitkan buku dan
mewujudkan Workplace Bullying Institute (WBI) untuk membantu korban bullying. Di
Taiwan Studi keperawatan klinis oleh Pai dan Lee, melaporkan angka tinggi insiden yang
melibatkan intimidasi di tempat kerja. Penelitian yang dilakukan di RSUP M. Djamil Padang,
menjelaskan bahwa sebanyak 42,2% perawat mengalami bullying verbal (Dewi, S. P, 2013).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying di tempat kerja dapat dilihat dari
sudut organisasi dan juga individu. Namun begitu, fokus penelitian terdahulu lebih terarah
terhadap faktor organisasi berbanding individu. Faktor-faktor organisasi seperti
kepemimpinan, budaya organisasi, struktur kerja merupakan penyebab terjadinya bullying di
tempat kerja. Namun begitu, faktor individu seperti kepribadian seorang atasan yang lebih
menjurus kepada perlakuan bullying karena tidak memiliki kemampuan dan kecerdasan emosi
yang baik untuk disesuaikan dengan iklim organisasi. (Budiman et al., 2018)

Aspek kepribadian memainkan peran penting terhadap terjadinya perilaku bullying di


tempat kerja. Hal ini menunjukkan bahwa ciri kepribadian korban memberikan pengaruh
terhadap perilaku bawahan di tempat kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Einarsen, diperoleh ada pengaruh akibat perilaku bullying yang dilakukan oleh atasan lebih
serius daripada bullying yang dilakukan oleh rekan kerja. Selain atasan memiliki jabatan dalam
suatu organisasi, tindakan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan secara negatif dan
kasar dilihat sulit untuk dibendung disebabkan tindakan atasan akan dibenarkan oleh pihak
organisasi sehingga meninggalkan pengaruh yang serius kepada korban bullying (Zapf, D., and
Einarsen, S, 2001).

Oleh karena itu, setidak-tidaknya kepribadian jika dilihat dari sudut agama (baca:
Islam) idealnya adalah, kepribadian muslim mampu merealisasikan kehendak Tuhan dan
mampu mengoptimalkan pelbagai fungsi seperti, akal, hati dan nafs. Dengan demikian, dalam
berpikir, berbicara, merespon dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan
isyarat al-Qur‟an dan tentunya tidak keluar dari etika atau moral sebagaimana harusnya,
kepribadian muslim. (Budiman et al., 2018)

2.4. Cara mengatasi Bullying dalam Kajian Keislaman

2.4.1. Komunikasi Terapeutik Islam

Berbagai problematika psikologis yang dihadapi oleh anak korban Bullying, rupanya
titik point agar dapat menyelesaikan problematika psikologis yang berujung pada tingkatan
stress adalah dengan komunikasi. Faktor yang paling penting agar timbulnya stress dapat
diminilmalisir adalah dengan komunikasi. Dan juga salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan pasien yaitu komunikasi, karena dalam pelayanan keperawatan
komunikasi sangat penting dan dibutuhkan sebagai sarana untuk menggali kebutuhan pasien.
Karena komunikasi dalam keperawatan bertujuan untuk terapi maka komunikasi dalam
keperawatan disebut komunikasi terapeutik. (Raya, 2018)

Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari merupakan sarana yang penting untuk


menjalin relasi dengan orang lain. Komunikasi juga dapat memberikan pertukaran informasi
dan dukungan emosional pada saat mengalami stress. Pemahaman ini merujuk pada sebuah
komunikasi yang fokusnya memberikan efek yang lebih mendalam kepada si penerima pesan
(reciever). Pengertian seperti ini merujuk pada terminologi komunikasi dalam bidang
keperawatan, yang disebut dengan komunikasi terapeutik. Apalagi dalam komunikasi
terapeutik Islam ditekankan untuk berusaha memberikan sugesti positif kepada pasien dengan
melakukan kegiatan interaksi komunikasi yang baik bahwa dalam sakit dan problematika hidup
ada hikmah yang sangat besar dibaliknya. Komunikasi terapeutik dalam Islam menganggap
bahwa sakit dan problematika dalam hidup adalah sesuatu yang membawa kemanfaatan dan
kebaikan, selama tendensi yang dipakai bahwa sakit adalah sarana untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Problematika psikologis yang biasa dihadapi oleh korban bullying adalah
terkait dengan 2 hal, yaitu penyakit nafsani dan ruhani. Penyakit nafsani tidak lain adalah
segala gangguan dan penyakit jiwa. Sedangkan penyakit ruhani adalah segala gangguan dan
penyakit mental, yaitu segala gangguan dan penyakit yang mengotori kesucian ruhani manusia,
yang dalam hal ini terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu: mental, spiritual, dan moral. (Raya, 2018)

Komunikasi terapeutik Islam berprinsip bahwa setiap individu berhak untuk sembuh
tanpa dibeda-bedakan bagaimana individu tersebut dan segala problematikan yang
dihadapinya. Komunikasi terapeutik pada hakekatnya merupakan bentuk dari komunikasi
interpersonal yang secara khusus ditujukan untuk proses pemulihan atau terapi tertentu.
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi profesional ditujukan untuk membina
hubungan antara perawat dan klien yang terapeutik, ditandai dengan tukar menukar perilaku,
perasaan, pikiran, dan pengalaman dalam membina hubungan intim terapeutik dalam lingkup
yang terbatas. (Raya, 2018)

2.4.2. Kembali ke Ajaran Agama

Dalam kaitannya dengan perilaku bullying sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja,
data-data tentang dekadensi moral dan faktor-faktor penyebabnya perlu menjadi keprihatinan
semua pihak, orang tua, maupun masyarakat pada umumnya untuk senantiasa berupaya antara
pihak-pihak terkait untuk meningkatkan kualitas pendidikan (baik di lingkungan keluarga,
sekolah mupun masyarakat), dan menciptakan lingkungan yang bersih dari kemaksiatan dan
kemungkaran agar tercipta lingkungan kehidupan masyarakat yang kondusif dan religius.
Nilai-niai religiusitas menjadi faktor yang dominan dalam upaya pencegahan terjadinya
kenakalan remaja dalam suatu lingkungan masyarakat. (Mahmudi, 2016)

Berikut ini akan dikemukakan pendapat para ahli tentang pengaruh agama terhadap
kesehatan mental.

1. William James (filosuf dan ahli psikologi Amerika) berpendapat sebagai berikut:
a) Tidak diragukan lagi bahwa terapi terbaik bagi keresahan adalah keimanan kepada
Tuhan.
b) Keimanan kepada Tuhan merupakan salah satu kekuatan yang harus terpenuhi untuk
menopang seseorang dalam hidup ini.
c) Antara kita dengan Tuhan terdapat suatu ikatan yang tidak terputus apabila kita
menundukkan diri di bawah pengaruh-Nya, maka semua cita-cita dan harapan kita
akan tercapai.
d) Gelombang lautan yang menggelora, sama sekali tidak membuat keruh relung hati
yang dalam dan tidak membuat resah. Demikian halnya dengan individu yang
keimanannya mendalam, ketenangannya tidak akan terkeruhkan oleh gejolak
superficial yang sementara sifatnya. Sebab individu yang benar-benar religius akan
berlindung dari keresahan, selalu terjaga keseimbangannya, dan selalu siap untuk
menghadapi segala malapetaka yang terjadi.

2. Carl Gustave Jung (ahli psikoanalisis dari Jerman) mengemukakan, “Selama tiga puluh
tahun yang lalu, pribadi-pribadi dari berbagai bangsa di dunia telah mengadakan konseling
dengan saya, dan saya pun telah banyak menyembuhkan pasien, tidak saya dapatkan
seorang pasien pun diantara yang telah berada pada penggal kedua umur mereka, yakni
dari 35 tahun yang problem esensialnya bukan kebutuhan akan wawasan agama tentang
kehidupan. Dan dapat saya katakan bahwa masing-masing mereka telah menjadi mangsa
penyakit, sebab mereka telah kehilangan sesuatu yang telah diberikan oleh agama-agama
yang ada di setiap masa. Sungguh, tidak ada seorang pun diantara mereka yang menjadi
sembuh kecuali setelah ia kembali pada wawasan agama tentang kehidupan.”

3. Arnold Toynbe (sejarawan Inggris) mengemukakan bahwa krisis yang diderita orang-
orang Eropa pada zaman modern ini pada dasarnya terjadi karena kemiskinan ruhaniah
dan terapi satu-satunya bagi penderita yang sedang mereka alami ialah kembali kepada
agama.

4. Dadang Hawari (psikiater Indonesia) mengemukakan bahwa dari sejumlah penelitian para
ahli bisa disimpulkan (1) komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari
penyakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penyakit, dan mempercepat pemulihan
penyakit, (2) agama lebih bersifat protektif dari pada problem producing, dan (3)
kemitmen agama mempunyai hubungan signifikan dan positif dengan clinical benefit.

5. Larson berpendapat, “untuk mengemudikan atau mengendalikan kompleksitas hubungan


dan kesehatan manusia, maka komitmen terhadap agama merupakan suatu kekuatan yang
patut diperhatikan.”
6. Zakiah Darajat (psikolog muslimah Indonesia) mengemukakan, “Apabila manusia ingin
terhindar dari kegelisahan, kecemasan, dan ketegangan jiwa serta ingin hidup tenang,
tenteram, bahagia, dan dapat membahagiakan orang lain maka hendaklah manusia percaya
kepada Tuhan dan hidup mengamalkan ajaran agama. Agama bukanlah dogma, tetapi
agama adalah kebutuhan jiwa yang perlu dipenuhi.” Berdasarkan pendapat -pendapat yang
dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa agama mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap kesehatan mental individu.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa individu tidak akan mencapai atau memiliki
mental yang sehat tanpa keberadaan agama. (Mahmudi, 2016)
BAB 3

PENUTUP

Dari berbagai penjelasan dalam penulisan ini, dapat disimpulkan bahwa bullying
merupakan masalah yang universal dan merupakan perilaku yang tidak diinginkan, agresif
dilakukan dikalangan anak-anak usia sekolah khususnya pada remaja. Bullying dapat berupa
memukul, menendang, mengancam, menggoda, memanggil nama yang jelek yang dilakukan
bukan hanya sekali tetapi dilakukan berulang-ulang. Bullying melibatkan ketidak seimbangan
kekuasaan fisik atau psikologis. (Fajriyah et al., 2021)

Dalam kaitannya dengan perilaku bullying sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja,
data-data tentang dekadensi moral dan faktor-faktor penyebabnya perlu menjadi keprihatinan
semua pihak, orang tua, maupun masyarakat pada umumnya untuk senantiasa berupaya antara
pihak-pihak terkait untuk meningkatkan kualitas pendidikan (baik di lingkungan keluarga,
sekolah mupun masyarakat), dan menciptakan lingkungan yang bersih dari kemaksiatan dan
kemungkaran agar tercipta lingkungan kehidupan masyarakat yang kondusif dan religius.
Nilai-niai religiusitas menjadi faktor yang dominan dalam upaya pencegahan terjadinya
kenakalan remaja dalam suatu lingkungan masyarakat. (Mahmudi, 2016)

Dalam beribadah, setiap manusia adalah sama-sama memiliki posisi sebagai hamba dan
memiliki hak yang sama pula untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Satu hal yang
membedakan derajat setiap hamba adalah tingkat ketakwaannya dan klaimisme ketakwaan
tersebut hanya menjadi hak prerogatif Allah SWT.

Di dalam kesamaan visi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. inilah letak
pertemuan antara tasawuf dan pendidikan Islam sehingga kedua disiplin ilmu ini dapat
diintegrasikan dalam rangka menangani praktik bullying. Secara lebih detail, pengetahuan
tentang unsur jasad dan rohani manusia yang dijabarkan dalam disiplin ilmu tasawuf akan
menguatkan teori pengembangan fitrah dalam pendidikan Islam kaitannya dengan
memaparkan secara lebih komprehensif apa yang tercantum pada tujuan pendidikan Islam
yakni untuk mengembangkan fitrah manusia. (Sofyan, 2019)
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, L., Psikolog, M. P., & Mukhlis, M. S. (2022). Model Intervensi Psikologi Islam
Konseling Kelompok Tazkiyatun Nafsi; Salah Satu Bentuk Upaya dalam Menangani Siswa
Korban Bullying. Malang : CV Literasi Nusantara Abadi.

Ahmad, A., Mansur, R., & Faisol, A. (2020). Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Agama
Islam dalam Mencegah Perilaku Bullying. Vicratina: Jurnal Pendidikan Islam, 5(1), 8-16.

Budiman, B., Hadinata, E., & Apriatna, A. (2018). Kepribadian Muslim terhadap Perilaku
Bullying Di Rumah Sakit Islam Wilayah Kota Palembang. Psikis : Jurnal Psikologi Islami,
3(2), 118-124. https://doi.org/https://doi.org/10.19109/psikis.v3i5.1756

Fajriyah Kamila03, Firdauziyah, A., Afifah, R., Setiawati, W., & Suhada’, H. (2022). Agama
dan Bullying Perspektif Psikologi Agama. Al Ghazali, 4(2), 114-125.
https://ejournal.stainupwr.ac.id/index.php/al_ghzali/article/view/250

Firdaus, J., & Aisyah, N. (2020). Revitalisasi Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam dalam
Menanggulangi Problematika Bullying di Pesantren. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 4(2),
898–907. https://doi.org/10.22437/jssh.v4i2.11734

Fitriyah, Anis. (2017). Prevensi Bullying Siswa Dyslexia Dalam Praktiknya di Lembaga
Pendidikan Islam. Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 12(1) 165-188.

Fitri, W., & Putri, N. (2021). Kajian Hukum Islam atas Perbuatan Perundungan (Bullying)
Secara Online di Media Sosial. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(1), 143-
157. http://dx.doi.org/10.23887/jpku.v9i1.31438

Fuad Raya, M. (2018). Terapi Komunikasi Terapeutik Islam untuk Menanggulangi


Gangguan Psikologis Anak Korban Bullying. Proceedings of Annual Conference for Muslim
Scholars, (Series 1), 321-329. https://doi.org/10.36835/ancoms.v0iSeries%201.135

Hana, D. R., & Suwarti, S. (2020). Dampak Psikologis Peserta Didik yang Menjadi Korban
Cyber Bullying. Psisula: Prosiding Berkala Psikologi, 1, 20-28.
http://dx.doi.org/10.30659/psisula.v1i0.7685

Harahap, E., & Saputri, N. M. I. (2019). Dampak Psikologis Siswa Korban Bullying di SMA
Negeri 1 Barumun. Ristekdik: Jurnal Bimbingan dan Konseling, 4(1), 68-75.
http://dx.doi.org/10.31604/ristekdik.v4i1.68-75
Mahmudi, Ibnu. (2016). Perilaku Bullying dalam Persektif Bimbingan dan Konseling Islam.
Counsellia: Jurnal Bimbingan dan Konseling, Vol.2, No.2.
http://doi.org/10.25273/counsellia.v2i2.213

Maisah, S. (2020). Bullying dalam Perspektif Pendidikan Islam. Al-Tarbawi Al-Haditsah:


Jurnal Pendidikan Islam, 4(1), 147-163. http://dx.doi.org/10.24235/tarbawi.v5i1.6317

Mierrina, M., & Ja’far, S. (2021). Pengaruh Penguatan Karakter Islam terhadap Sikap
Tentang Bullying. Al-Tazkiah : Jurnal Bimbingan Dan Konseling Islam, 10(2), 59–78.
https://doi.org/10.20414/altazkiah.v10i1.3035

Saefulloh, A. (2020). Bullying dalam Pandangan Islam. https://doi.org/10.31219/osf.io/2v84t

Sofyan, N. H. (2019). Bullying di Pesantren: Interaksi Tasawuf dan Teori Pengembangan


Fitrah dalam Pendidikan Islam. Journal of Islamic Studies and Humanities. 4(1), 74-103.
https://doi.org/10.21580/jish.41.3842

Ulum, M. M. (2021). Sirkulasi Sosiologis dan Psikologis dalam Fenomena Bullying di


Pesantren. Islamic Review: Jurnal Riset dan Kajian Keislaman, 10(2), 191-204.
https://doi.org/10.35878/islamicreview.v10i2.285

You might also like