You are on page 1of 6

Pengertian kepuasan kerja adalah “ukuran dari tingkat kepuasan pekerja dengan jenis

pekerjaan mereka yang berkaitan dengan sifat dari tugas pekerjaannya, hasil kerja yang
dicapai, bentuk pengawasan yang diperoleh maupun rasa lega dan menyukai terhadap
pekerjaan yang ditekuninya.”

Robbins (2007: 148) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah sebagai suatu sikap umum
seorang individu terhadap pekerjaannya. Pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan sekerja
dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada
kondisi kerja yang sering kurang dari ideal, dan hal serupa lainnya.

Handoko (2000) menggambarkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosional
sebagai refleksi dari perasaan dan berhubungan erat dengan sikap karyawan sendiri, situasi
kerja, kerjasama antara pimpinan dengan karyawan. Hal ini akan tampak dari sikap positif
karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi dilingkungan kerjanya.

(Kreitner dan Kinicki 2004) Kepuasan kerja adalah suatu efektivitas atau respon emosional
terhadap berbagai aspek pekerjaan. Kepuasan bukanlah suatu konsep tunggal, sebaliknya,
seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan
salah satu atau lebih aspek lainnya.

Teori-Teori Kepuasan Kerja

Menurut Wexley dan Yulk (dalam As’ad, 2004), teori-teori tentang

kepuasan kerja ada tiga macam, yaitu:

a. Equity Theory (Teori Keadilan)

Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang dimotivasi oleh keinginan untuk
diperlakukan secara adil dalam pekerjaan. As’ad (2004) mengatakan bahwa orang akan
merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau
tidak atas situasi tertentu.Ada empat ukuran dalam teori ini. Pertama, orang yaitu individu
yang merasakan diperlakukan adil atau tidak adil. Kedua, perbandingan dengan orang lain,
yaitu sekelompok atau orang yang digunakan oleh seseorang sebagai pembanding rasio
masukan atau perolehan. Ketiga, masukan (input),yaitu karakteristik individual yang dibawa
kepekerjaan seperti keahlian,pengalaman atau karakteristik bawaan seperti keahlian, umur,
jenis kelamin dan ras. Keempat, perolehan (outcome), yaitu apa yang diterima seseorang dari
pekerjaannya, seperti penghargaan, tunjangan dan upah.

b. Discrepancy Theory (Teori Ketidaksesuaian)

Teori ini pertama kali dipelopori oleh Proter (dalam Mangkunegara, 2005:121). Ia
berpendapat bahwa mengukur kepuasan kerja dapat dilakukan dengan cara menghitung
selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan Karyawan. Teori ini
mempunyai pandangan bahwa kepuasan kerja seseorang diukur dengan menghitung selisih
antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Locke (dalam Landy, 1999)
mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosional yang dihasilkan dari
persepsi terhadap suatu pekerjaan karena pekerjaan tersebut memenuhi atau mengikuti
pemenuhan nilai kerja yang dimiliki seseorang dan sesuai dengan kebutuhan individu.

C. Two Factor Theory (Teori Dua Faktor)

Herzberg yang dikenal sebagai pengembang teori kepuasan kerja yang disebut teori dua
faktor, membagi situasi yang mempengaruhi seseorang terhadap pekerjaan menjadi dua
faktor yaitu faktor yang membuat orang merasa tidak puas dan faktor yang membuat orang
merasa puas terhadap pekerjaannya (dissotisfiers – satisfiers).

Ada beberapa cara untuk mengukur kepuasan kerja, diantaranya:

Menggunakan skala indeks deskripsi jabatan (Job Description Index)

Skala pengukuran ini dikembangkan oleh Smith, Kendall, dan Hullin pada tahun 1969. Cara
penggunaaanya, yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada karyawan mengenai
pekerjaan. Setiap pertanyaan yang diajukan, harus dijawab oleh karyawan dengan menandai
jawaban: ya, tidak, ragu-ragu. Dengan cara ini dapat diketahui tingkat kepuasan kerja
karyawan.

Menggunakan kuesioner kepuasan kerja Minnesota (minnesota satisfaction questionare)

Pengukuran kepuasan kerja ini dikembangkan oleh Weiss dan England pada tahun 1967.
Skala ini berisi tanggapan yang mengharuskan karyawan untuk memilih salah satu dari
alternatif jawaban: sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas, dan sangat puas terhadap
pertanyaan yang diajukan. Berdasarkan jawaban jawaban tersebut dapat diketahui tingkat
kepuasan kerja karyawan.

Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Blum dalam As’ad, (2004) bahwa faktor kepuasan kerja

sebagai berikut :

a. Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan.

b. Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat,

kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik,

dan hubungan kemasyarakatan.

c. Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman

kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu, penghargaan

terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam

menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan


c. Mengukur Kepuasan Kerja

Greenberg dan Baron (2003) menyatakan bahwa pendekatan yang paling umum untuk
mengukur kepuasan kerja ialah dengan menggunakan kuesioner yang di dalamnya
menggunakan skala rating, seperti Job Descriptive Index (JDI); Minnesota Satisfaction
Questionnaire (MSQ); serta Pay Satisfaction Questionnaire (PSQ).

1. Job Descriptive Index (JDI).

Sebuah kuesioner pengukuran yang di dalamnya menggambarkan beberapa aspek


pekerjaan, diantaranya mengenai pekerjaan itu sendiri, gaji, peluang promosi, supervision,
dan hubungan kerja. Bentuk jawaban atas pertanyaan digambarkan dengan 2 penilaian "iya"
atau "tidak", yang tergolong dalam skala nominal.

2. Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ).

Sebuah kuesioner pengukuran yang di dalamnya orang-orang mengindikasikan


kepuasan dengan memperluas aspek-aspek mengenai pekerjaannya. Bentuk jawaban atas
pertanyaan digambarkan dengan skala likert, dimana nilai tertinggi merupakan tingkatan dari
kepuasan kerja.

3. Pay Satisfaction Questionnaire (PSQ).

Sebuah kuesioner yang di rancang untuk menilai tingkat kepuasan pegawai dengan
berbagai aspek mengenai gaji, level gaji, kenaikan gaji, dan benefit yang diperoleh.

d. Pengaruh Kepuasan Kerja

George dan Jones (2007) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi


kepuasan kerja pegawai adalah:

1. Kepribadian
Kepribadian sebagai karakter yang melekat pada diri seseorang seperti perasaan,
pemikiran, dan perilaku adalah determinan utama yang menunjang setiap orang yang
berpikir dan merasakan mengenai pekerjaan atau kepuasan kerjanya. Kepribadian
memberi pengaruh terhadap pemikiran dan perasaan seseorang terhadap
pekerjaannnya sebagai hal positif atau negatif. Seorang individu pegawai yang agresif
dan kompetitif akan memiliki target kepuasan kerja yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu pegawai yang tenang dan santai dalam bekerja.
2. Nilai-nilai.
Nilai (values) berpengaruh terhadap tingkat kepuasan kerja karena nilai
mencerminkan keyakinan pegawai atas hasil kerjanya dan tata cara pegawai harus
berperilaku di tempat kerjanya. Pegawai dengan nilai kerja intrinsik yang kuat
(berhubungan dengan jenis kerja itu sendiri), cenderung lebih puas dengan pekerjaan
yang menarik (interesting) dan berarti (personally meaningful) seperti pekerjaan yang
bersifat sosial (social work) ketimbang pegawai dengan nilai kerja intrinsik lemah,
meskipun pekerjaan bersifat sosial ini memerlukan waktu kerja yang panjang dan
bayaran yang kecil. Pegawai dengan nilai kerja ekstrinsik yang kuat (berhubungan
dengan konsekuensi kerja) cenderung lebih puas dengan pekerjaan yang dibayar
tinggi tetapi jenis pekerjaannya monoton (monotonous) ketimbang pegawai dengan
nilai ekstrinsik rendah.
3. Pengaruh Sosial.
Determinan terakhir dari kepuasan kerja adalah pengaruh sosial atau pengaruh sikap
dan perilaku pegawai. Rekan kerja, budaya kerja, dan gaya hidup pegawai berpotensi
untuk mempengaruhi tingkat kepuasan kerja. Misalnya, pegawai yang berasal dari
keluarga mapan akan merasa tidak puas dengan pekerjaan sebagai guru sekolah dasar
karena pendapatan yang diterima tidak sesuai dengan gaya hidup yang dijalaninya
selama ini. Pegawai yang tumbuh dari budaya yang menekankan pentingnya
melakukan pekerjaan yang berguna bagi semua orang seperti budaya Jepang, tentunya
akan kurang puas dengan pekerjaan yang kompetitif.
4. Situasi Kerja.
Merupakan situasi yang terbentuk karena pekerjaan itu sendiri, rekan kerja,
supervisor, pegawai dengan level lebih rendah, kondisi fisik, wewenang, hubungan
dengan pimpinan, pengawasan teknis, keberagaman tugas, dan kondisi kerja. Selain
itu, berkenaan dengan:
a. Seberapa menarik atau seberapa membosankan tugas yang diberikan kepada
pegawai;
b. Orang-orang yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti pelanggan;
c. Suasana atau iklim yang berada di sekeliling tempat kerja, seperti tingkat
kebisingan, keramaian, dan temperatur udara yang ada di ruang kerja pegawai;
d. Bagaimana organisasi merancang kondisi kerja, seperti jumlah jam kerja,
kenyamanan kerja, dan keadilan dalam pemberian gaji dan fasilitas lainnya.

e. Organizational citizenship behavior.

Organizational citizenship behavior (OCB) atau yang juga dikenal dengan perilaku ekstra
peran adalah perilaku pegawai untuk membantu rekan kerja atau organisasi. Berbeda dengan
kinerja, OCB menurut Schnake (Spector, 1997) adalah perilaku di luar tuntutan pekerjaan.
Perilaku meliputi tindakan sukarela pegawai untuk membantu rekan kerja mereka dan
organisasi. Contohnya antara lain tepat waktu, membantu rekan kerja, memberikan usulan
untuk memperbaiki organisasi, dan tidak menyia-nyiakan waktu di tempat kerja.

You might also like