You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar
Fenomenologi merupakaan salah satu aliran filsafat yang berupaya menelisik
esensi dari segala sesuatu yang hadir dalam ranah kesadaran manusia. Kalau semua
aliran filsafat lainnya selalu membawa asumsi-asumsi filosofis dalam kontruksi
wacana-wacana filsafat mereka, fenomenologi justru hendak menepis secara total
semua asumsi-asumsi filosofis apa pun agar sampai pada hakikat pengetahuan. Untuk
berjumpa dengan esensi pengtahuan yang pasti dan absolut, segala praduga yang
berasal dari manapun harus disaring, dikesampingkan, dan dienyahkan dari setiap
ranah kesadaran manusia.
Wacana fenomenologi ini yang dikucirkan oleh bapak fenomenologi, Edmund
Husserl yang merasa yakin bahwa metodenya ini dapat diterapkan untuk semua ilmu
pengetahuan. Husserl merasa gelisah dengan perkembangan filsafat selama ini hanya
disibukkan dengan hal-hal yang remeh-remeh ketimbang hal-hal yang esensial.
Husserl merindukan satu filsafat “yang dibangun di atas landasan yang absolut”.
Kalau begitu pertanyaannya: Apa yang bisa kita ketahui dengan kepastian absolut ?
Husserl menjawab hanya berada dalam benak kesadaran kita: kesadaran yang sudah
dibersihkan dari segala atribut-atribut prasangka.
Berangkat dari sini, tulisan bab ini akan mendiskusikan epistemology
fenomenologi yang digagas oleh Edmund Hussler tersebut. Kita akan mulai dari
pengertian dasar fenomenologi; Kemudian kita akan mengikuti bagaimana Husserl
akan membangun epistemologinya secara kokoh di atas fondasi-fondasi kesadaran,
konstitusi dari kesadaran terhadap objek-objek yang dicandranya, reduksi dan epoche
untuk sampai inti pengetahuan yang bersifat pasti dan absolut. Pada akhir wacana,
kita akan menutupnya dengan melihat sedikit kontribusi yang telah ditawarkan oleh
fenomenologi sekaligus setitik catatan kritis terhadapnya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan sejarah munculnya epistimologi fenomenologi?
2. Bagaiamana bentuk tahapan Reduksi dalam perspektif Husserl ?

C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian dan sejarah munculnya epistimologi
fenomenologi.
2. Menguraikan bentuk tahapan Reduksi dalam perspektif Husserl.

2
BAB II
PEMABAHASAN

A. Pengertian Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari kata Yunani fenomenon, yaitu sesuatu yang
tampak, yang terlihat karena bercahaya, yang di dalam bahasa Indonesia disebut
“gejala”. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena, atau
gejala sesuatu yang mentampakkan diri. Kata fenomenon (disingkat: fenomen) atau
gejala dapat dipakai dalam bermacam-macam arti. Kata fenomen atau gejala dapat
dipertentangkan dengan “kenyataan”: fenomen bukanlah hal yang nyata, tetapi hal
yang semu. Demikianlah kata fenomen dapat berarti “semu”. Kecuali itu kata
fenomen dapat dipakai sebagai lawan “bendanya sendiri”, sehingga fenomen atau
gejala berarti “pertampakan”. Penyakit (bendanya sendiri) metampakkan diri pada
demam, pilek dan sebagainya, yang adalah fenomen atau gejala penyakit tadi.
Juga kata fenomen dapat dipakai untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang
dapat diamati dengan indra. Dalam arti ini kata fenomen dipakai di dalam ilmu
pengetahuan alam. Di dalam filsafat fenomenologi ketiga arti fenomen ini tidak
dipakai. Menurut para filsuf pengikut fenomenologi suatu fenomen tidak perlu harus
dapat diamati dengan indra, sebab fenomen juga dapat dilihat atau ditilik secara
rohani, tanpa melalui indra. Juga fenomen tidak perlu suatu peristiwa. Untuk
sementara dapat dikatakan, bahwa menurut para pengikut filsafat fenomenologi
fenomen adalah “apa yang metampakkan diri dalam dirinya sendiri”, apa yang
metampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di hadapannya kita.
Dalam makna luas, fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang
berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Ada
beberapa filsuf yang mendefinisikan fenomenologi dari pandangan filosofis mereka
masing-masing. Namun, karena yang akan kita bahas di sini adalah tentang
fenomenologi Edmund Hussler dan ia juga yang menggunakan istilah tersebut secara

3
standar, maka mari kita lihat lebih detail makna fenomenologi dalam perspektif
Husserl.
Untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah bagi semua ilmu
pengetahuan, Husserl memakai apa yang disebut metode fenomenologis. Metode ini
mulai dengan reduksi (pengurungan) ganda: (a) reduksi eidetik dan (b) reduksi
fenomenologis. Reduksi eidetik menangguhkan keyakinan akan adanya ego, adanya
kegiatan persepsi dan adanya keyakinan mengenai objek. Reduksi eidetik ini hanya
mementingkan esensi (eidos) objek-objek, tetapi dalam bentuk konkritnya yang
purna. Dalam reduksi fenomenologi ketidaktergantungan objek-objek ini juga
diletakkan dalam tanda kurung untuk sementara.
Fenomenolgi Husserl dan pengalaman. Husserl memahami fenomenologi sebagai
suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk
kesadaran dan pengalaman langsung: religious, moral, estetis, konseptual, serta
indrawi. Perhatian filsafat hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang
Lebenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah).
Penyelidikan ini hendaknya menekankan ciri intensional yang terdapat pada
kesadaran, tanpa mengandaikan berbagai praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Filsafat bukan ilmu faktual dan tidak dapat menjadi ilmu faktual. Filsafat memiliki
metode serta temuan uniknya sendiri, yang secara hakiki berbeda dari metode dan
temuan ilmu-ilmu alam dan dari metode serta temuan sistem-sistem logika dan
matematika formal.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, foenomenologi
membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai kepada
fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri instirnsik
dari gejala sebagaimana gejala itu menyingkapkan dirinya pada kesadaran. Kita harus
bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali
kepada “kesadaran murni”. Unutk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus
membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Kalau hal
ini sudah dikerjakan, akan tersisa gambaran-gambaran yang hakiki atau intuisi esensi.

4
Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahun yang perlu
dan esensial mengenai apa yang ada. Dalam tahap-tahap penelitiannya, ia
menemukan objek-objek yang membentuk dunia yang kita alami. Dengan demikian,
fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali kepada benda itu sendiri. Dan
ini justru karena benda itu sendiri merupakan objek kesadaran langsung dalam
bentuknya yang murni. Demikianlah, pengertian-pengertian pokok fenomenologi dari
paradigma sang pencetusnya langsung. Lalu bagaimana operasionalisasi
epistemology fenomenologi Husserl secara luas dan sistematis untuk menggapai
kebenaran yang tak tergoyahkan? Inilah yang akan kita jelajahi di bawah ini.

B. Epistemologi Fenomenologi Edmund Husserl


Ketika kita hendak mengeksplorasi epistemology fenomenologi Edmund
Husserl, kiranya sangat krusial bila kita memahami istilah-istilah kunci yang
digunakan Husserl. Istilah-istilah kunci tersebut mencakup fenomena, kesadaran,
intensionalitas, konstitusi, redaksi, dan epoche. Istilah-istilah ini menjadi konsep-
konsep inti yang saling terkait satu sama lain untuk tiba pada pemahaman
epistemologi fenomenologi secara tepat. Karena itu, mari kita ikuti terlebih dulu
eksposisi tentang konsep-konsep kunci tersebut dan kemudian kita telaah pula
tahapan-tahapan dalam pendekatan fenomenologi.
1. Konsep-konsep Kunci Fenomenologi
Husserl memulai analisis filsafat fenomenologinya dengan menggunakan konsep
kesadaran atau intuisi langsung. Bagi Husserl, “prinsip segala prinsip” ialah bahwa
hanya intuisi langsung dengan tidak menggunakan pengantara apa pun juga dipakai
sebagai kriterium terakhir dibidang filsafat. Hanya apa yang secara langsung
diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap salah sejauh diberikan. Dari
situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya
ialah bahwa kesadaran secara langsung diberikan kepada saya selaku subjek.
Sebagaimana sudah tersirat dalam namanya, fenoemnologi mempelajari apa yang
tampak atau apa yang merampakkan diri atau fenomena. Tetapi istilah fenomena

5
yang digunakan Husserl memiliki makna yang sama sekali baru dan berbeda dengan
fenomena yang digunakan oleh Immanuel Kant sebelumnya. Menurut Kant, kita
sebagai manusia hanya mampu mengenal fenomena-fenomena, bukan hakikat realitas
(noumena) itu sendiri (das ding an sich). Bagi Kant (juga empirisme Inggris), yang
tampak bagi kita ialah semacam tirai yang menyelubungi realitas di belakangnya.
Kita hanya mengenal pengalaman batin kita sendiri yang—entah bagaimana—
diakibatkan oleh realitas di luar yang tetap tinggal suatu x yang tidak kita kenal.
Melihat warna merah, misalnya, tak lain tak bukan adalh pencerapan (sensation)
–jadi, pengalaman batin –yang diakibatkan oleh sesuatu di luar. Bagi Kant, fenomena
adalah sesuatu yang menunjuk kepada realitas, yang tidak dikenal in se (pada
dirinya). Dalam perspektif ini kesadaran dianggap tertutup dan terisolir dari realitas.
Sedangkan dalam paradigma Husserl, fenomena adalah sesuatu yang sama sekali lain;
fenomena ialah realitas itu sendiri yang tampak. Bagi Husserl, tidak ada selubung
atau tirai yang memisahkan kita dari realitas; realitas itu sendiri yang tampak bagi
kita. Dengan demikian, dapat kita mengerti semboyan yang dipilih Husserl bagi
filsafatnya, yaitu Zuruck zu den Sachen selbst (kembalilah pada benda-benda sendiri).
Dengan pandangan tentang fenomena ini Husserl mengadakan semacama revolusi
dalam filsafat Barat.
Dalam filsafat Barat sejak Descartes, kesadaran selalu dimengerti sebagai
kesadaran tertutup atau cogito tertutup; artinya, kesadaran mengenal diri sendiri dan
hanya melalui jalan itu mengenal realitas. Misalnya, saya mengenal pencerapan-
pencerapan (sensation) saya dan melalui jalan itu saya mengenal realitas. Husserl
berpendapat bahwa kesadaran selalu berarti kesadara akan… sesuatu. Atau menurut
istilah yang dipakai Husserl, kesadaran menurut kodratnya berfilsafat intensional;
intersionalitas adalah struktur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai
oleh intensionalitas, fenomena harus dimengerti sebagai apa yang metampakkan diri.
Mengatakan “kesadaran bersifat intensional” sebetulnya sama artinya dengan
mengatakan “realitas mentampakkan diri”. Dua ucapan ini seakan merupakan dua sisi
dari uang logam yang sama. Intensionalitas dan fenomena adalah korelatif. Korelasi

6
ini berlaku bagi kesadaran dan realitas pada umumnya, tetapi juga pelbagai aktus
kesadaran dan pelbagai bentuk realitas, misalanya, pengalaman estetis-objek estetis
(karya kesenian).
Kemudian istilah lain yang sering dipakai oleh Husserl adalah konsistusi. Dengan
konsistusi dimaksud proses tampaknya fenomena-fenomena kepada kesadaran.
Fenomen-fenomena mengonstitusi diri dalam kesadaran, kata Husserl. Dan karena
adanya korelasi antara kesadaran dan realitas yang disebut tadi, dapat dikatakan juga
bahwa konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkintan tampaknya realitas.
Husserl mengatakan bahwa dunia real di konstitusi oleh kesadaran. Ha.l itu sama
sekali tidak berarti bahwa kesadaran mengadakan atau menyebabkan dunia beserta
perbedaan-perbedaan yang terdapat didalamnya, melainkan hanya bahwa kesadaran
harus hadir pada dunia supaya petampakan dunia dapat berlangsung. Tidak ada
kebenaran-pada-dirinya, lepas dari kesadaran. Kesadaran hanya mungkin dalam
korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut “realitas” itu tidak lain daripada
dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran.
Konstitusi ini berlangsung dalam proses petampakan yang di alami oleh dunia ketika
menjadi fenomena bagi kesadaran intensional.
Untuk sekedar menjelaskan maksud Husserl dengan konstitusi (terutama
konstitusi aktif atau konstitusi sebagai aktus kesadaran), kita dapat memandang
sebentar proses persepsi. Saya melihat suatu gunung umpanya. Tetapi sebetulnya
yang saya lihat selalu suatu perspektif dari gunung: saya melihat gunung itu dari
sebelah timur atau utara atau dari atas, dan seterusnya. Tetapi bagi persepsi, gunung
adalah sintetis semua perspektif itu. Dalam persepsi, objek telah dikonstitusi. Tetapi
hal yang sejenis berlaku untuk setiap aktus kesadaran, juga untuk aktus-aktus
intelektual. Misalnya saya memikirkan “dalil phythagoras”. Hal itu saya ulangi terus
menerus dan setiap kali saya memandang “dalil phythagoras” yang sama. Hal itu
hanya mungkin karena suatu konstitusi oleh kesadaran.
Terakhir, konsep kunci yang sangat siknifikan dalam fenomenologi Husserl
adalah reduksi fenomenologis, atau reduksi transcendental yang juga menggunakan

7
aplikasi praktis epoche, sebuah metode penundaan atau penyaringan. Lalu apakah
yang dimaksud dengan reduksi? Secara sederhana, untuk memahami reduksi Husserl,
kita berangkat dari pengamatan yang sering kali kita lakukan. Dalam pengamatan kita
sehari-hari, kita merasa berhubungan secara langsung dengan realitas yang tampak di
hadapan kita secara dangkal atau di level permukaan saja. Kekita kita melihat,
mendengar, menyentuh, dan menangkap realitas kehidupan sehari-hari, kita segera
mengakui bahwa semua kenyataan tersebut bersifat objektif. Apapun yang kita candra
melalui pencaindra kita, begitu pula keadaan realitas itu sebenarnya. Sudut pandang
inilah yang disebut Husserl sebagai sudut pandang awam atau pendirian biasa
(naturliche Einstellung/natural standpoint).
Bagi Husserl, natural standpoint yang biasa kita gunakan dalam pengamatan
hidup sehari-hari itu belum cukup. Penglihatan itu masih diselimuti kabut yang
menutupi hakikat realitas. Kabut-kabut yang menghalangi kita dalam menangkap
hakikat dunia eksternal itu adalah konsepsi-konsepsi kita, endapan-endapan kultur
dimana kita hidup , cara-cara kita berfikir, dan semua suasana hidup yang sudah
menjadai pransangka dalam diri kita. Kabut-kabut perspektif inilah yang menjadikan
pengamatan kita terhadap realitas menjadi subjektif sifatnya, tidak lagi objektif.
Dengan apa kita dapat menangkap realitas objektif secara esensial? Husserl
menjawab dengan jalan reduksi yakni penangguhan sejenak terhadap segala
pengetahuan yang telah kita peroleh sebelum kita melakukan pengamatan intuitif.
Pencandraan awal kita bersama dengan asumsi-asumsi yang kita bawa, hanya
menjadi first look, tilikan pertama yang belum mampu menyiapkan selubung yang
membaluti hakikat realitas yang sebenarnya. karena itula hhhhhhh h, diperlukan
second look, tilikan kedua dengan melakukan pengamatan intuitif agar hakikat dunia
eksternal menampilkan wujudnya secara murni sesuai dengan realitas yang
sesungguhnya. Ketika kita menggunakan metode reduksi tersebut, maka Husserl
mengklaim bahwa kita telah mengaplikasikan sebuah sudut pandang fenomenologis,
the phenomenological stance.

8
Sebagaimana telah dikehendaki Husserl sejak awal, dengan metode reduksi ini ia
mendambakan fenomenologi menjadi suatu ilmu yang rigorus. Suatu ilmu rigorus
tidak boleh mengandung keraguan, ketidakpastian atau kedwiartian apa pun juga.
Ucapan-ucapan yang dikemukakan dalam satu ilmu rigorus harus bersifat apodiktis
(tidak mengizinkan keraguan) dan absolut (tidak mengizinkan perkembangan dan
perubahan lebih lanjut). Nah, kriteria rigorus itu tidak pernah dapat dipenuhi dalam
ucapan-ucapan kita tentang dunia real. Suatu benda material tidak pernah diberikan
kepada kita secara apodiktis dan absolut. Setiap benda material selalu diberikan
melalui profil-profil (abschattungen).
Misalnya saja, dari meja yang berdiri di depan saya, saya hanya melihat
permukaan dan sebelah depan saja; saya tidak melihat sebelah belakang. Tentu saja,
saya bisa memilih sudut lain, sehingga kita melihat sebelah belakang itu. Tetapi,
kalau begitu, saya tidak melihat lagi sebelah depan dan profil-profil lain. Inilah cara
benda material tampak bagi saya; berkeluasan dalam ruang. Suatu benda material
tidak pernah diberikan kepada saya menurut segala profilnya, secara total dan absolut.
Cara realitas material tampaknya bagi saya bersifat demikian rupa, sehingga tidak
dapat dikemukakan pertanyaan-pertanyaan apodiktis dan absolut tentangnya. Karena
alasan-alasan itu fenomenologi sebagai ilmu rigorus harus mulai dengan
mempraktikkan reduksi transendental.
Jika kita menempatkan realitas material antara tanda kurung dengan
mempraktikkan reduksi transendental tersebut, apakah yang tinggal untuk mendasari
fenomenologi sebgai ilmu rigorus? Ataukah kita harus meninggalkan saja seluruh
usaha kita? Husserl berpendapat bahwa yang tinggal adalah kesadaran atau
subjektivitas. Kesadaran tidak berkeluasan dalam ruang. Kesadaran tampak bagi saya
secara total dan langsung. Karena itu menjadi mungkin mengemukakan pernyataan-
pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Adanya kesadaran juga struktur
kesadaran dapat dinyatakan secara absolut. Jadi, kesadaran harus dipilih sebagai dasar
bagi fenomenologi secara rigorus.

9
Tetapi, kalau begitu, apa yang terjadi dengan dunia real? Apakah itu berarti
bahwa fenomenologi sama sekali tidak dapar berbicara tentang dunia? Tidak.
Janganlah kita lupa dengan apa yang sudah dikatakan tentang intensionalitas kesdaran
yang begitu dipentingkan Hussel. Reduksi justru menyingkirkan kesadaran sebagai-
menurut kodratnya-terarah pada dunia, sebagai intensional. Dengan demikian, dunia
mendapat tempatnya lagi dalam fenomenologi. Kita tidak berbicara lagi tentang dunia
dengan cara naif, seakan-akan dunia sama sekali tidak berkaitan dengan kesadaran,
seperti dibuat dalam sikap natural. Tetapi, dalam sikap fenomenologis kita menemui
dunia sebagai korelat bagi kesadaran, dunia sebagai fenomena. Demikianlah
fenomenologi dapat mempelajari dunia dan merumuskan ucapan-ucapan apodiktis
dan absolut tentangnya. Dunia dapat diberi tempat dalam fenomenologi sebagai ilmu
rigorus. Dalam fenomenologi kita tidak bertolak belakang dengan dunia; sebaliknya,
realitas material ditemui dalam suatu perspektif baru, yaitu sebagai korelat bagi
kesadaran.
2. Tiga Tahapan Reduksi
Pertama, reduksi fenomenologis. Reduksi fenomenologis ditempuh dengan
menyisihkan atau menyaring pengalaman pengamatan pertama yang terarah kepada
eksistensi fenomena. Pengalaman indrawi itu tidak ditolak, tetapi perlu disisihkan dan
disaring lebih dahulu sehingga tersingkirlah segala prasangka, praanggapan, dan
prateori, baik yang berdasarkan keyakinan tradisional, maupun yang berdasarkan
keyakinan agamis, bahwa seluruh keyakinan dan pandangan yang telah dimiliki
sebelumnya. Segala sesuatu yang telah diketahui dan dipahami, lewat pengamatan
biasa terhadap fenomena itu, harus diuji sedemikian rupa dan tidak boleh diterima
begitu saja. Fenomena itu diamati dalam hubungannya dengan kesadaran tanpa
melakukan refleksi terhadap fakta-fakta yang ditemukan lewat pengamatan itu karena
yang utama dalam hidup ini ialah menemukan dan menyingkirkan subjektivitas-
subjektivitas yang merupakan penghambat bagi fenomena itu dalam mengungkapkan
hakikat dirinnya.

10
Kalau kita anologikan dengan fitur manusia, pada tahap pertama, dengan reduksi
fenomenologis, kita mulai membersihkan perspektif diri kita dari segala subjektivitas
yang telah menggelayuti benak kita terhadap sosok manusia. Semua bentuk
subjektivitas perspektif kita yang berasal dari pandangan filsafat, budaya,
pendidikan, politik, ekonomi, sains, bahkan agama meski kita tunda terlebih dulu
dalam menilai sosok manusia. Kalau kita melihat manusia dari perspektif mantiq atau
logika, kita membingkai seorang manusia dengan istilah animale retionale sebagai
makhluk yang berfikir (dalam istilah ilmu kalam disebut hayawanun nathiq).
Bila kita memandang manusia dari kaca mata filsafat, kita memotret manusia
sebagai homo sapiens, sebagai makhluk yang berfikir, makhluk yang mempunyai
budi pekerti. Sedangkan bila menilik manusia dari sudut pandang ilmu semiotika atau
ilmu tanda, para filsuf bahasa menamakan animal symbolicum : makhluk yang hanya
dengan menggunakan lambang-lambanglah ia dapat mencapai potensi dengan tujuan
tertinggi kehidupannya; atau homo semioticus: sebagai makhluk yang hidup dengan
tanda-tanda yang memerlukan penafsiran.
Bahkan, dalam wacana filsafat juga disebut sebagai homo ludens yakni makhluk
yang bermain, sebab manusia juga sangat menyukai permainan dan itulah alasannya
mengapa tercipta beragam bentuk permainan yang hingga saat ini terus berkembang.
Namun, sosok manusia menghasilkan konsep yang berbeda pula kalau di potret
melalui kajian filsafat agama atau spiritualitas: manusia menjelma homo religious:
makhluk yang beragama, makhluk yang senantiasa dahaga akan makna (as meaning-
seeking creatures). Atau spiritual animal being: makhluk spiritual yang selalu
memiliki kerinduan ontologis untuk mengabdi kepada sang Pencipta, Dzat Yang
Maha Agung, Maha Mulia, Maha Perkasa Sekaligus ,Maha Paripurna.
Meskipun demikian, manusia juga bisa menjadi homo economicus: manusia yang
mengetahui prinsip-prinsip ekonomi jika dilihat dari ilmu ekonomi; menjadi homo
faber: makhluk yang pandai membuat perkakas jika dilihat dari ilmu budaya; menjadi
homo socius: manusia yang hidup berkelompok dalam masyarakat jika dilihat dari
perspektif ilmu sosiologi. Dan menjadi zoon politikon makhluk yang hidup dalam

11
polis, atau makhluk sosial, makhluk yang pandai bekerja sama dalam kehidupan
politik bila ditilik dari perspektif wacana politik. Demikian seterusnya, dimana setiap
sudut pandang tentang manusia akan menghasilkan lebel-lebel spesifik yang
menggambarkan aktifitas manusia secara unik.
Namun, pertanyaan yang mengganggu benak kita ialah apakah semua konstruksi
yang dibangun dari semua pemikiran di atas sudah melukiskan hakikat kodrat
manusia? Tentu saja masing masing pandangan di atas memiliki kebenarannya
masing-masing secara perspektivistik. Artinya, ketika figur manusia di soroti
eksistensinya dari sebuah sudut pandang yang spesifik, maka akan menghasilkan
gambaran tentang manusia yang sesuai dengan sudut pandang tersebut secara spesifik
pula. Ada kebenaran dalam pandangan spesifik itu tentang manusia. Setiap sudut
pandang di atas menyuguhkan kebenarannya masing-masing sesuai dengan
paradigma yang digunakannya. Tapi dalam konteks ini pula, kita akan menyadari
bahwa kebenaran yang telah dibentangkan oleh beragam pemikiran tersebut bersifat
fragmentaris, terpecah-pecah dan belum utuh dalam membingkai makna tentang
manusia. Hakikat kodrat manusaia dalam segala kompleksitas dan keunikannya
belum tergambarkan secara komprehensif.
Dalam perspektif Husserl, tatkala kita melihat sosok manusia melalui kaca mata
dari berbagai konstruksi filosofis di atas, pandangan kita terhadapmanusia sudah
bersifat subjektif: kita menggunakan asumsi, konsep, teori atau perspektif-perspektif
dari orang lain, siapapun mereka. Kita belum memotret eksistensi manusia apa
adanya, sebagaimana ia hadir menyapa kehidupan kita secra transparan, sederhana,
dan murni. Disinilah reduksi fenomenologis harus memainkan perannya. Husserl
menyarankan kita menggukan metode yang disebutnya dengan epoche menempatkan
sesuatu diantara dua tangan kurun atau bracketing, pengurungan/(), yang berarti
penundaan atau penghentian. Metode epoche itu digunakan dengan cara yang sangat
literal. Tetapi yang dimaksud dengan epoche adalah melupakan pengetahuan-
pengetahuan tentang objek untuk sementara dan berusaha melihat objek secara

12
langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengetahuan-pengetahuan yang ada
sebelumnya.
Semua paradigma para ilmuwan filsuf di atas mengenai manusia kita letakkan
dulu dalam dua tanda kurung/ ( ). Sebab sewaktu kita menggunakan konsep-konsep
mereka terhadap manusia , maka kita sudah melihat eksistensi manusia dari sudut
pandang ilmu logika dan filsafat, dari prespektif semiotika atau filsafat bahasa, dari
sudut pandang ilmu ekonomi dan politik, dari prespektif ilmu budaya dan politik, dari
prespektif sejarah agama atau filsafat agama. Kita tidak menggukan intuisi kita secara
langsung terhadap manusia, tapi ktita justru memakai pandangan-pandangan orang
lain terhadap manusia: sehingga penglihatan kita mengenai hakikat keberadaan
manusia tidak objektif apa adanya, tapi sudah bisa dengan menggunakan salah satu
atau beberapa sudut andang tentang manusia. Karena itu, reduksi fenomenologis
tahap pertama ini berfungsi membersihkan diri kita dari segala subjektivitas yang
mendistorsi padangan kita tentang hakikat realitas, tentang esensi objek, tentang
hakikat manusia. Dengan reduksi fenomenologis inilah, diharapkan kita sudah bisa
memahami lebih awal utnuk melihat hakikat eksistensi manusia.
Tahap kedua, reduksi eidetis. Istilah eidetis ini berasal dari kata eidos yang
berarti intisari atau esensi sesuatu. Reduksi eidetis berupaya melakukan penyaringan
dan penundaan penilaian dengan menempatkan dalam kurung (proses epache)
terhadap segala hal yang bukan eidos, bukan intisari, bukan esensi dari sebuah objek.
Dalam tilikan Husserl reduksi eidetis tidak lain dari upaya untuk menemukan eidos
atau hakikat fenomena yang tersembunyi. Pada tahap ini, segala sesuatu yang
dianggap sebagai hakikat fenomena yang di amati harus disaring untuk menemukan
hakikat yang sesungguhanya dari fenomena itu. Itu berarti segala sesuatu yang dilihat
harus dianalisis secara cermat dan lengkap agar tidak ada yang terlupakan. Dalam
upaya menganalisis fenomena yang diamati dengan cermat dan lengkap itu, perhatian
pengamat harus senantiasa terarah kepada isi yang paling fundamental dan segala
sesuatu yang bersifat paling hakiki.

13
Dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek dan profil dalam fenomena yang
hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah
menggambarkan objek secara utuh . setiap objek adalah kompleks mengandung aspek
dan profil yang tiada terhingga. Hakikat (realitas) yang dicari dalam hal ini adalah
struktur dasar yang meliputi isi fundamental dan semua sifat hakiki. Untuk
menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai
prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang
represntatif melukiskan fenomena. Kemudian dikurangi atau ditambah salah satu
sifat. Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna
fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.
Reduksi eidetis ini menujukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria koherensi
berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat
disatukan dalam suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan
akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya. Bila
kita kembali melihat kepada ilustrasi manusia, reduksi eidetis hendak mengetahui
esensi manusia. Pada sosok setiap manusia, bila kita melihat berbagai atribut yang
bisa kita kurangi atau kita tambahkan untuk melihat sejauh mana esensi manusia
masih tersisa-ada.
Atribut-atribut yang melekat dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial
misalnya status-status yang mereka kenakan: status seorang menteri, gubernur, dan
bupati; status sebagai seorang ilmuwan, filsuf, ekonom, politikus, budayawan,
sejarawan, agamawan, dan anggota legislatif; status sebagai seorang guru, dosen,
dokter, petani, pedagang, dan nelayan; ataupun juga berbagai title-titel yang melekat
pada manusia, seperti title profesor, doktor, master, sarjana, insinyur, dan lain lain.
Ataupun kondisi-kondisi yang melekat dalam kehidupan mereka, seperti sebagai
orang kaya dan miskin, orang terkenal dan orang biasa, para konglomerat dan orang-
orang melarat, para ningrat keturunan bangsawan dan kaum papa keturunan rakyat
jelata.

14
Dengan reduksi eidetis, kita bisa meletakkan semua status status sosial, titel-titel
keahlian, dan kondisi-kondisi yang menyertai hidup mereka dalam epoche, dalam
pengurungan untuk mencari inti sari seorang manusia yang sesungguhnya. Apakah
dengan menghikangkan semua atribut-atribut sosial dan titel-titel keahlian mereka,
akan menyebabkan manusia kehilangan asensinya? Apakah ketika atribut menteri dan
gubernur, ilmuwan dan filsuf, ekonom dan anggota legislatif kita hilangkan, maka
mereka yang menyandangnya menjadi berubah bukan lagi manusia? Apakah ketika
titel-titel mentereng bergengsi sebagai gubernur dan doctor, master dan sarjana atau
insinyur dienyahkan dari seorang manusia, maka mereka menjelma bukan lagi
menjadi sosok manusia? Ketika kekayaan dan kemiskinan, bangsawan dan kejelataan
tidak lagi menghiasi kehidupan seorang anak manusia, apakah dengan tiba-tiba
mereka tidak pantas lagi disebut manusia?
Fakta kehidupan menampilkan dirinya secara langsung dihadapan kita bahwa
sosok manusia yang hakiki bukan ditentukan oleh beragam emblem-emblem sosial
tersebut. Seorang manusia tidak disebut manusia hanya karena status sosialnya,
pangkat jabatannya, gelar-gelar yang disandangnya, ataupun kondisi kekayaan dan
kemiskinan mereka semata. Kita semua sadar bahwa segala bentuk atribut, status, dan
kondisi sosial seseorang sering kali bersifat dangkal dan tidak mencerminkan karakter
pribadi sejati orang-orang yang menyandangnya. Sayangnya, banyak diantara kita
memberikan penilaian kepada manusia berdasarkan status dan jabatan-jabatan sosial
tersebut. Banyak di antara kita yang meletakkan standar kriteria pada
kebangsawanan, kekayaan, dan kemasyhuran seseorang. Kita terpukau dengan segala
bentuk emblem-emblem sosial yang tidak autentik.
Kita katakan tidak autentik, sebab hukum kehidupan telah mengisahkan kepada
kita bahwa semua bentuk atribut-atribut sosial itu dapat digantikan oleh siapa pun,
kapan pun, dan di mana pun. Seorang presiden yang begitu ditakuti ketika berkuasa,
namun justru mengundang hujatan tanpa henti saat turun dari singgasana
kekuasaannya. Seorang menteri dan gubernur, bupati dan anggota legislatif, bisa
diganti oleh orang lain kapan pun saja. Ilmuwan, dokter, ekonom dan agamawan pun

15
satu waktu akan pudar dikikis putaran zaman dan diganti tunas-tunas baru yang lebih
berarti dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, misalnya. Apalagi faktor kekayaan
yang sebenarnya amat fluktuatif: banyak orang-orang kaya yang tiba-tiba langsung
jatuh miskin dan tidak sedikit orang-orang miskin dengan cepat menjadi orang kaya
baru.
Dengan alasan-alasan inilah reduksi eidetis hendak mengatakan kepada setiap
kita bahwa semua atribut-atribut sosial yang mengiringi kehidupan manusia, entah itu
pangkat jabatan, titel yang mentereng, kebangsawanan ataupun kekayaan dunia,
bukanlah inti sari yang menggambarkan sosok manusia sebenarnya. Esensi sejati
seorang manusia tidak ditentukan oleh segala macam atribut, titel, pangkat sosial dan
kemewahan dunia yang disandangnya. Jika semua atribut-atribut yang memayungi
manusia itu sudah kita hilangkan dengan reduksi eidetis, kita mulai melihat titik-titik
terang esensi seorang manusia yaitu rohani dan jasmani yang menyatu dalam dirinya:
hati, perasaan, emosi dan akal yang bersemayam dalam diri mereka; yang dengan
semua fakultas-fakultas itulah mengalir dalam bentuk tutur kata, sikap, dan perilaku
yang menjadi cermin jernih yang mampu memantulkan otentitas seorang manusia
yang sejati.
Tahap ketiga, reduksi fenomenologi-transdental. Dalam reduksi tahap ketiga ini,
yang harus kita tunda penilaiannya dengan menggunakan epoche, kita tempatkan
dalam tanda kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak ada hubungan
timbal balik dengan keasadaran murni, agar dari objek itu akhirnya orang sampai
kepada apa yang ada pada subjek itu sendiri. Reduksi ini dengan sendirinya bukan
lagi mengenai objek, atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang metampakkan diri
kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-
hal yang metampakkan diri dalam kesadaran.
Dengan demikian, yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah aktus kesadaran
sendiri. Kesadaran di sini bukan pula kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam
arti menyandarkan diri berdasarkan penemuan dengan fenomena tertentu. Kesadaran
yang ditemukan adalah kesadaran yang bersifat murni dan transdental, yaitu yang ada

16
bagi diriku di dalam aktus-aktus. Dengan singkat dapat disebut sebagai subjektivitas
atau “aku” transdental. Dengan kata lain, reduksi transdental ini diterapkan kepada
subjeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran yang murni.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa dunia yang tampak kepada kita dapat
memberi kepastian, bahwa pengertian kita tentang realitas adalah benar. Dunia tidak
dapat memberikan kebenaran kepada kita. Agar supaya ada kepastian akan kebenaran
pengertian kita, menurut Husserl, kita harus mencari dalam erlebnisse, yaitu
pengalaman yang dengan sadar. Di dalam pengalaman yang sadar ini kita mengalami
diri kita sendiri atau “aku” kita senantiasa berhubungan dengan dunia benda di luar
kita. Aku kita senantiasa berada di dalam situasi jasmaniah tertentu, umpamanya: aku
sedang duduk, sedang membaca, sedang bercakap-cakap dan lain sebagainya.
Pengalaman ini tidak termasuk “aku” kita yang sejati. “Aku” di dalam pengalaman ini
adalah “aku yang empiris”, yang dijangkiti oleh dunia benda. Oleh karena itu, untuk
sementara waktu “aku yang empiris” ini harus kita tempatkan di antara tanda kurung,
harus kita saring dahulu. Setelah “aku yang empiris” kita beri tanda kurung akan
tinggal “kesadaran yang murni”, yang tidak empiris lagi, atau “aku yang murni”, yang
tidak empiris lagi, yang mengatasi segala pengalaman, yang transdental. Inilah dasar
yang pasti dan tidak dapat dibantah lagi bagi segala pengertian.
Dengan kembali kepada kesadaran murni, kembali kepada ego transcendental,
atau kembali kepada intuisi murni, membawa Husserl merumuskan konsepnya yang
termasyhur: evidenz. Evidenz adalah sesuatu yang hadir langsung, niscaya, dan
absolut, sehingga tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Intuisi selalu
menghasilkan pengetahuan yang membuktikan dirinya sendiri, sebuah evidenz.
Konsep evidenz berakar dari pemikiran Descartes. Cogito adalah sebuah evidenz bagi
Descartes. Namun, Husserl mengambil jalan berbeda. Bagi Husserl, metode
meragukan segala sesuatu memang menyisakan satu yang tidak bisa diragukan lagi.
Namun, yang tidak bisa diragukan lagi bukan hanya aku berpikir, melainkan juga
semua aktivitas mental lainnya. Segala aktivitas mental hadir secara langsung dan
niscaya, berbeda dengan benda-benda. Jadi, saya tidak perlu tahu apakah pengtahuan

17
ini benar atau tidak, sesuai dengan kenyataan atau tidak. Metode keraguan Descartes
masih dipusingkan dengan pertanyaan dunia ada atau tidak. Sedang Husserl
mengambil sikap indiferen (acuh) apakah dunia ada atau tidak. Bagi Husserl, yang
paling dapat dipastikan adalah berbagai tindak mental saya, karena mereka hadir
secara apodiktis (tanpa setetes pun keraguan).
Husserl menginginkan fenomenologi dikuras dari segala sesuatu yang sifatnya
faktual. Ia bahkan membuat bahwa fenomenologi dapat terus berjalan meski dunia
lenyap. Ini disebabkan fenomenologi tidak berbicara tentang eksistensi faktual,
melainkan struktur konstitusi-makna yang memungkinkan kesadaran. Husserl
menginginkan fenomenologi bertindak sebagai ilmu “murni” yang bebas lepas dari
muatan empiris. Fenomena tidak dipahami sebagai sesuatu yang faktual. Artinya,
perbincangan tentang fenomena tidak lagi berurusan dengan eksistensi dan
noneksistensi. Fenomena adalah korelat kesadaran sebagai sesuatu yang imanen
dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga turut mencakup yang transenden.
Pengalaman saya tentnag satu objek selalu berarti adanya objek diluar pengalaman
yang memiliki kualitas berbeda dengan pengalaman saya tentangnya. Menangkap
esensi adalah menangkap sesuatu yang memiliki transendensi dalam imanensi.
Akan tetapi, di sini perlu ditegaskan bahwa melalu tahapan-tahapan reduksi
tersebut dan dengan menggunakan cara penundaan epoche, bukanlah kita harus
bersikap skeptis. Dalam perspektif Donny Gahral Adian, kita akan melakukan
kesalahmengertian yag cukup fatal bila mempersamakan antara metode penundaan
dalam epoche dengan sikap skeptic. Menempatkan sesuatu dalam kurung (epoche)
tidak berarti meragukan eksistensinya, melainkan hanya menunda semua asumsi
tentangnya. Seperti sudah dijelaskan, Husserl lebih memilih sikap indiferen (acuh)
daripada ragu. Ada tidaknya objek-objek tidak ditanggapi secara serius. Apa yang
menjadi fokus semata struktur tidak psikis dan korealtnya, bukan objek-objek yang
terhampar faktual.
Epoche mengandaikan adanya kebebasan. Kebebasan kita dalam memilih sudut
pandang. Kita tidak perlu hanyut dalam sudut pandang naturalism maupun

18
psikologisme. Kita sepenuhnya bebas mengubah sudut pandang kita seiring arus
pengalaman. Epoche mengatasi karakter faktual dari kesadaran manusia. Artinya,
sifat kesadaran yang melulu percaya akan sesuatu yang hadir terlepas darinya harus
dilepas. Lepasnya sifat faktual dari kesadaran akan membawa kita pada fenomena
murni.
Saat kita mendayahgunakan penundaan fenomenologis, semua karakter faktual
lenyap dan menyisakan kita kesadaran murni, kesadaran sebagai eksistensi absolut di
mana objek-objeknya selalu korelat baginya. Dunia tampil dalam terang baru, yaitu
sebagai korelat bagi kesadaran, sebagai sesuatu yang memiliki modus berada tertentu.
Kesadaran oleh Husserl tidak cukup cogito. Husserl membaginya menjadi dua
bagian: cogitationes dan cogitata. Cogitationes adalah tindak ego, sedang cogitata
adalah objek tindak kesadaran tersebut, apakah itu fisikal ataupun mental.
Kesadaran kita memiliki keterarahan. Kesadaran selalu terarah pada objek. Ini
disebut sebagai intensionalitas kesadaran. Tindakan intensionalitas menyeruak ke luar
menuju objek transenden. Jika saya memikirkan sebuah kardus, maka objek pikiran
saya adalah kardus; sedang jika saya mengimajinasikan sebuah pulau fantasi, maka
pulau fantasi adalah objek imajinasi saya. Intensionalitas artinya kita tidak pernah
memikirkan atau membayangkan kekosongan. Ini adalah kritik keras terhadap konsep
cogito (aku berpikir) Descartes. Cogito Descartes adalah cogito tertutup, bersibuk
dengan isi pikiran sendiri, dan memisahkan diri dari dunia luar serta cogito lainnya.
Cogito selalu cogito yang berintensionalitas. Artinya, pikiran selalu pikiran tentang
sesuatu. Pikiran mengimplikasikan objek. Berdasarkan itu, Husserl menambahkan
konsep cogitationes dan cogitata. Jika cogito adalah aku yang berpikir, maka
cogitationes adalah tindak pikiran, sedang cogitata adalah objek sebagai korelat
cogitatationes.
Sampai di sini, kiranya cukup jelas bahwa melalui tahapan-tahapan ketiga
macam reduksi tersebut, akhirnya Husserl hendak menunjukkan kesadaran murni,
kesadaran transendental, atau ego transendental-lah yang menjadi pijakan
fundamental bagi semua ilmu pengetahuan dan wacana filsafat yang bersifat absolut,

19
tak tergoyahkan. Akan tetapi, konsep ego transendental akan sangat berisiko terjebak
pada solipsisme. Solipsisme adalah penyangkalan ego lain dengan membekukan
kebenaran pada egoku saja. Pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin kebenaran
egoku orang lain? Persoalan “ego lain” selalu menggayuti konsep ego transendental.
Husserl mengatasi kesulitan ini dengan mempekenalkan konsepnya tentang
intersubjektivitas. Pengalaman manusia, menurut Husserl, adalah pengalaman
intersubjektif. Persepsi saya tentang pohon di luar sana senantiasa menunjukkan saya
bahwa pohon itu hadir juga bagi orang lain. Manusia senantiasa berkubang dalam
dunia intersubjektif. Dia terisolasi ke dalam dunia yang diahayati bersama. Tidak ada
satupun yang murni subjektif. Dunia yang kita amati, pikirkan, rasakan, bayangkan
adalah dunia bersama (shared world). Dunia senantiasa ada di sana bagi kita (us)
melalui saya (me). Intersubjektivitas adalah karakteristik utama ego. Sesuatu yang
menyelamatkan fenomenologi Husserl dari jebakan solipsisme.
C. Konklusi: Antara Apresiasi dan Kritik
Kita sudah melihat keistimewaan epistemologi yang digagas oleh Edmund
Husserl dalam membawa kita memasuki esensi sebuah fenomena. Bila Immanuel
Kant menyatakan bahwa kita tidak bisa mengetahui hakikat realitas (noumena) yang
berada dibalik selubung fenomena, Husserl justru mengajak kita untuk menyibak
lapisan demi lapisan selubung tersebut melalui penglihatan intuitif sehingga realitas
hakiki tersingkap dalam ranah kesadaran kita. Bila Descartes menggulirkan konsep
cogito, aku berpikir yang bersifat tertutup dan terisolasi dari setiap objek selain diriku
sendiri, Husserl justru menyadarkan kita bahwa konsep cogito selalu terbuka dan
mengarah kepada sebuah objek; entah objek-objek tersebut bersifat konkret maupun
objek-objek imajinatif-konseptual.
Begitupun slogan yang disuarakan Husserl: zuruch zu den sachen selbst,
kembalilah kepada benda0benda iru sendiri, bukan sembarang slogan. Sebab selain
slogan itu merefleksikan filosofi epistemologi fenomenologi dalam memahami
realitas sejati, slogan ini juga menohok sebagian doktrin-doktrin filsafat sebelumnya.
terhadap aliran skeptisisme yang meragukan semua konsepsi tentang kebenaran,

20
Husserl seakan-akan berteriak lantang: hayatilah objek-objek kehidupan secara lebih
dalam, maka engkau akan menemukan hakikat kebenaran.
Terhadap paham relativisme yang meyakini tidak ada sebuah kebenaran
universal yang bisa diteriam semua umat manusia, dengan slogan tersebut Husserl
hendak menujukkan bahwa kebenaran absolut bagi semua orang dapat ditemukan
dengan menyelami dasar realitas kehidupan: kepada doktrin idealisme yang
memandang realitas hakiki bersifat abstrak, tidak riil, slogan fenomenologi malah
membawa kita berjumpa langsung dengan realitas yang benar-benar riil: nyata secara
subjektif dalam kesadaran sekaligus nyata secara objektif dalam kenyataan. Demikian
pula, terhadap doktrin materialisme yang menolak semua realitas di luar pancaindra,
slogan fenomenologi bersuara lantang unutk menembus dinding-dinding material
kehidupan melalui fakultas kesadaran autentik hingga bisa bersentuhan langusung
dengan esensi kehidupan.
Kendati demikian, dibalik sejumlah keistimewaan epistemologi fenomenologi
yang dibangun Husserl, sebagian filsuf melihat pula beberapa kelemahannya. Dalam
metode reduksi terakhir fenomenologi, Husserl lebih menekankan untuk berpijak
pada ego transednental. Sikap tersebut menunjukkan filsafat fenomenologi Husserl
semakin cenderung metampakkan ciri-ciri idealism. Itulah alasannya mengapa
sebagian pengikut-pengikut Husserl hanya mengambil sebagian pendekatan
epistemologinya dan menolak reduksi tahap terakhir yang menimbulkan idealisme
transcendental.
Begitu pula dengan impian epistemologi fenomenologi yang hendak menyajikan
ilmu pengetahuan dan wacana filsafat tanpa digelayuti prasangka sama sekali,
sebagian filsuf dari aliran Hermeneutik, seperti Martin Heidegger dan Hans Georg
Gadamer tidak menyepakati inti tesis fenomenologi yang mampu menghilangkan
semua prasangka secara total. Bagi Gadamer, sebagai manusia kita sudah berada di
dalam lingkaran ruang dan waktu, baik masa silam, masa kini, maupun masa depan.
Setiap kita pasti sudah mempunyai jejak tradisi kita masing-masing meskipun

21
terkadang tidak kita sadari. Karenanya, setiap aktivitas kita pasti meruang dan
mewaktu, sebab kita makhluk yang menyejarah.

22
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pemabahsan di atas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwasanya,tidak ada pandangan manusia manapun yang dapat bersifat objektif
seratus persen tanpa dipengaruhi endapan-endapan prasangka historisnya masing-
masing: kultur, pendidikan, keyakinan, politik, sosial, ekonomi, agama, bahkan
bahasa yang digunakannya. Denga demikian, dalam setiap objektivitas yang
digunakan oleh fenomenologi, tetap meniscayakan terselip unsur-unsur subjektivitas
yang tidak pernah bisa dielakkan.
Meskipun begitu, filsafat fenomenologi mengajarkan kita agar menumbuhkan
sikap kritis dalam memhami fenomena kehidupan. Artinya, kita jangan mudah
menerima informasi, pandangan, dan paradigm pemikiran sebelum diri kita sendiri
menyelami hakikat smeua informasi dan pandangan yang sampai kepada kita.
Dengan kata lain, setiap pandangan pertama yang kita lakukan mesti kita ikuti dengan
pandangan kedua; setiap first look harus diikuti dengan second look supaya kita dapat
menyingkap hijab-hijab yang menutupi realitas dan memasuki esensi realitas itu
sendiri.

23
DAFTAR PUSTAKA

Zaprulkhan. (2016). Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta:


RajaGrafindo Persada.

24

You might also like