You are on page 1of 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342411246

SASTRA LISAN SUKU BAJO: SASTRA NUSANTARA YANG TERABAIKAN

Conference Paper · July 2019

CITATIONS READS
0 478

1 author:

Fathu Rahman
Universitas Hasanuddin
76 PUBLICATIONS   188 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

International Journal of Multidisciplinary Research and Growth Evaluation View project

Function of Language View project

All content following this page was uploaded by Fathu Rahman on 24 June 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ARKEOLOGI, SEJARAH, BAHASA DAN
BUDAYA DI ALAM MELAYU MELALUI
PENDEKATAN MULTI-DISIPLIN
JILID 2

PROSIDING
Seminar Antarabangsa
Arkeologi, Sejarah, Bahasa Dan
Budaya
Di Alam Melayu (ASBAM) ke-8
Port Dickson, 27-28 Julai 2019

Editor:
Zuliskandar Ramli
Akin Duli
Muhlis Hadrawi
Shamsuddin Ahmad
Muhamad Shafiq Mohd Ali
Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA)
Universiti Kebangsaan Malaysia
43600 UKM, Bangi, Selangor Darul Ehsan

Lembaga Muzium Negeri Sembilan


Jalan Sungei Ujong, 70200 Seremban
Negeri Sembilan

© Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), UKM & Lembaga Muzium Negeri
Sembilan (LMNS) 2019
Hak cipta terpelihara. Tiada bahagian daripada terbitan ini boleh diterbitkan semula,
disimpan untuk pengeluaran atau ditukarkan ke dalam sebarang bentuk atau dengan sebarang
alat juga pun, sama ada dengan cara elektronik, gambar serta rakaman dan sebagainya tanpa
kebenaran bertulis daripada Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), UKM dan
Lembaga Muzium Negeri Sembilan (LMNS)

Reka bentuk kulit : Sri Yanti Mahadzir


Tata letak : Nasiyati Abdul Hamid

Cetakan Pertama, 2019

Dicetak di Malaysia oleh:


S&T Creative Trading
Jalan Reko, Sg. Tangkas
43000 Kajang, Selangor Darul Ehsan, MALAYSIA

Perpustakaan Negara Malaysia Data Pengkatalogan-dalam-Penerbitan

ISBN 978-983-2457-97-8 (Jilid 2)

Seminar Antarabangsa Arkeologi, Sejarah dan Budaya di Alam Melayu


(Ke-8: 2019: Port Dickson, Negeri Sembilan)
ARKEOLOGI, SEJARAH, BAHASA DAN BUDAYA DI ALAM MELAYU
MELALUI PENDEKATAN MULTI-DISIPLIN. JILID 2 : PROSIDING Seminar
Antarabangsa Arkeologi, Sejarah, Bahasa dan Budaya di Alam Melayu (ASBAM)
Ke-8, Port Dickson, Negeri Sembilan, 27 -28 Julai 2019 / Editor : Zuliskandar
Ramli, Muhlis Hadrawi, Akin Duli, Shamsuddin Ahmad, Muhamad Shafiq Mohd
Ali
ISBN 978-983-2457-97-8
1. Archaeology and History--Malaysia--Congresses. 2. Civilization, Malay-
-Malaysia--Congresses. I. Zuliskandar Ramli. II. Akin Duli. III. Muhlis
Hadrawi. IV. Shamsuddin Ahmad. V. Muhamad Shafiq Mohd Ali. VI.
Judul. 901
Prosiding Seminar Antarabangsa Ke-8 Arkeologi, Sejarah dan Budaya di Alam Melayu

18

SASTRA LISAN SUKU BAJO: SASTRA NUSANTARA YANG TERABAIKAN

(ORAL LITERATURE SUKU BAJO: THE NEGLECT OF LITERATURE IN


ARCHIPELAGO)

FATHU RAHMAN

Universitas Hasanuddin
fathu.rahman@unhas.ac.id

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang penyebaran dan kebertahanan sastra lisan Suku Bajo yang
ditengarangai terancam punah. Kehadiran tekhnologi digital yang begitu deras yang
digandrungi oleh kaum muda dipandang sebagai salah penyebab terkikisnya sastra lisan ini.
Sebagai manusia laut atau manusia perahu, suku Bajo menjelajahi nusantara sejak berabad-
abad silam. Penyebaran mereka tercatat sejak ratusan silam, dan menyebar membawa Bahasa
dan budayanya. Di tempat baru, mereka bersentuhan dengan kebudayaan baru dan bahkan
berbenturan dengan kebudayaan asli mereka. Tujuan penelitian ini 1) untuk menelusuri jejak
penyebaran Sastra Lisan Suku Bajo di wilayah Nusantara, dan 2) untuk merumuskan strategi
pemertahanan yang adaptif dan berterima secara kultural bagi komunitas suku Bajo pada
umumnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keterancaman dan gejala kecendrungan
kepunahan Sastra lisan suku Bajo karena disebabkan oleh tiga hal; 1) sikap bahasa dan
budaya yang sangat rendah, 2) pewarisan sastra lisan yang tidak berjalan dengan baik, dan 3)
kepedulian dan kebijakan pemeritah belum sepenuhnya memihak akan pentingnya pelestarian
budaya etnis minoritas, termasuk Suku Bajo. Implikasi penelitian ini adalah timbulnya
kesadaran baru, khususnya Etnik Bajo, sebagai warga bangsa untuk turut serta memelihara
salah satu aset budaya yang terancam punah di wilayah Nusantara.

Kata Kunci: sastra lisan, suku bajo, strategi penyelamatan, kepunahan.

ABSTRACT

This study discusses the dissemination and residency of the oral literature of Suku Bajo that is
threatened with extinction. The presence of so many digital technologies that have been chosen
by young people is seen as one of the causes of eroding these oral literature. As a sea man or a
boat man, the Suku Bajo explored the archipelago for centuries. Their spread was recorded
hundreds of years ago, and spread its language and culture. In new places, they come in
contact with new cultures and even clash with their native cultures. The purpose of this study is
1) to track the spread of the Oral Letters of the Suku Bajo in the archipelago, and 2) to
formulate adaptive and culturally acceptable strategies for the Bajo community in general. The
results of this study indicate that the threats and symptoms of the extinction of oral Literature
of Suku Bajo because of three things; 1) very low language and cultural attitudes, 2) inherited
oral literature, and 3) the care and policy of government have not been fully aligned with the
importance of preservation of ethnic minority cultures, including the Suku Bajo. The
268 / Fathu Rahman

implication of this research is the emergence of new consciousness, especially the Bajo Ethnic,
as a citizen to participate in maintaining one of the endangered cultural assets in the
archipelago.

Keywords: oral literature, suku bajo, rescue strategy, extinction.

PENDAHULUAN

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya yang berjudul


Pemertahanan Ancaman Kepunahan Sastra Lisan Suku Bajo di Sulawesi Selatan, sebuah
terobosan proaktif untuk menyelamatkan salah satu aset budaya bangsa yang terdapat pada
Suku Bajo di Sulawesi Selatan, suku bahari yang termarginalkan karena beberapa faktor, satu
diantaranya adalah faktor pendidikan dan asesibilitas dalam politik dan pemerintahan. Sebagai
suku minoritas, Suku Bajo patut memperoleh perhatian sebagai wujud keprihatinan bersama
terhadap ancaman kepunahan warisan budaya mereka. Studi awal penelitian ini menunjukkan
bahwa Sastra Lisan Iko-iko kini terancam punah (Rahman 2018).
Ditemukan dari beberapa sumber, Suku Bajau atau Suku Sama adalah suku bangsa
yang rumpun induknya berasal dari Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku
nomaden yang hidup di atas perahu (berumah dan beranak pinak di atas laut), mereka seringkali
dijuluki manusia laut. Suku Bajo/Bajau menggunakan bahasa Sama Bajau, dan sejak ratusan
tahun lalu telah menyebar ke negeri Sabah Malaysia dan berbagai wilayah kepulauan di
Indonesia.
Kini sudah dapat dipastikan bahwa suku Bajau menyebar hampir di seluruh kepulauan
Indonesia (terutama di wilayah timur), sejak sebelum kemerdekaan, Suku Bajau yang menyebar
ke berbagai wilayah mulai berdiam menetap dan berbaur dengan suku-suku lain yang ada di
sekitarnya. Di Sulawesi Selatan, Suku Bajo ditemukan bermukim di Kabupaten Bone, Selayar,
dan Luwu, dan di Wilayah Wakatobi untuk Sulawesi tenggara. Dengan demikian, penelitian ini
akan mengumpulkan data baru kehidupan Suku Bajo (khususnya di Kabupaten Luwu untuk
Sulawesi Selatan dan Kabupaten Wakatobi yang ada di Sulawesi renggara).

SUKU BAJO ADALAH MANUSIA NUSANTARA

Suku terunik di dunia adalah suku Bajo. Suku ini biasa juga dinamai dengan Suku Bajau (di
beberapa tempat disebut Suku Sama) merupakan salah satu kelompok etnik terunik di dunia.
Keunikannya ditandai dengan habitat kehidupan mereka pada umumnya di atas laut atau daerah
pesisir laut. Mereka hidup berkelompok dengan sesamanya dan merupakan kelompok suku
yang tertutup.
Ditemukan dalam beberapa sumber Suku Bajau atau Suku Sama adalah suku bangsa
yang rumpun induknya berasal dari Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku
nomaden yang hidup di atas perahu (berumah dan beranak pinak di atas laut), sehingga
seringkali mereka dijuluki manusia laut. Suku Bajo/Bajau menggunakan bahasa Sama Bajau.
Suku Bajau sejak ratusan tahun lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah
Indonesia, khususnya di wilayah timur, sehingga Suku Bajau juga banyak dijumpai di Sabah
Malaysia.
Dalam catatan sejarah, pada umumnya Suku Bajo yang bermukim di Kalimantan,
diperkirakan bergerak dan bermigrasi dari arah utara (Filipina) sejak zaman prasejarah. Suku
Bajau yang Muslim ini merupakan gelombang migrasi terakhir dari arah utara Kalimantan yang
memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau di
sekitarnya. Mereka menetap lebih awal jauh sebelum kedatangan suku-suku Muslim dari
rumpun Bugis yaitu suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar.
Saat ini, Suku Bajau menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia (terutama di
wilayah timur Indonesia), bahkan sampai ke Madagaskar. Mereka dikenal sebagai kelompok

Prosiding Seminar Antarabangsa Ke-8 Arkeologi, Sejarah dan Budaya di Alam Melayu
Fathu Rahman / 269

nomaden, namun sejak sebelum kemerdekaan, Suku Bajau yang menyebar ke berbagai wilayah
mulai berdiam menetap dan berbaur dengan suku-suku lain yang ada di sekitarnya. Menurut
data Statistik Kependudukan RI, wilayah yang terdapat suku Bajo (Bajau) di Indonesia, antara
lain:

1. Kalimantan Timur (Berau, Bontang dan beberapa wilayah lainnya)


2. Kalimantan Selatan (Kota Baru) disebut orang Bajau Rampa Kapis
3. Sulawesi Selatan (Kabupaten Bone, Selayar dan Luwu)
4. Sulawesi Tenggara (pada umumnya bermukim di daerah Wakatobi)
5. Nusa Tenggara Barat (di beberapa tempat secara menyebar
6. Nusa Tenggara Timur (Pulau Booleng, Seraya, Longos, Komodo dan sekitarnya)
7. Sapeken dan Sumenep, dan
8. Wilayah Timur Indonesia lainnya

Penelitian ini akan berfokus pada kehidupan Suku Bajo yang ada di dua Provinsi
masing-masing 1) Sulawesi Selatan; Kabupaten Bone, Kabupaten Selayar, dan Kabupaten
Luwu, dan 2) Sulawesi Tenggara, Wakatobi (Wanci, Kaledupa, Tomea, dan Binongko. Ada
pun Suku Bajo pada wilayah lain di Indonesia sepatutnya dapat dijadikan aspek pembanding
untuk memperkuat penelitian ini.

Gambar 1. Pemukiman Suku Bajo di Sulsel dan Sulawesi Tenggara

Secara geografis terlihat bahwa Suku Bajo hidup mengembara secara terpisah satu
sama lain, namun pada dasarnya mereka berinteksi secara intens di tengah laut. Mereka saling
menyapa dan membicarakan masalah kehidupan sehari-hari, karena mereka merasa masih satu
ikatan keluarga.

Prosiding Seminar Antarabangsa Ke-8 Arkeologi,Sejarah dan Budaya di Alam Melayu


270 / Fathu Rahman

Gambar 2. Bertemu dengan warga Suku Bajo tertua di Sulawesi Selatan

Seperti juga pada suku-suku lain di Indonesia, ancaman kepunahan sastra lisan suku
Bajo disebabkan karena penggunaan bahasa daerah sebagai media sastra mulai ditinggalkan
oleh generasi muda. Generasi muda, akibat pergaulan, cendrung beralih ke bahasa lain, Bahasa
Indonesia misalnya. Penyabab lain karena generasi muda merasa kehilangan jarak makna yang
terkandung dibalik sastra lisan mereka. Mereka tidak mengapresiasi isi sastra lisan, dan bahkan
lebih menyukai budaya pop yang bersentuhan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Berdasarkan penelusuran awal (preliminary study), terindikasi sastra lisan Suku Bajo
mengalami ancaman kepunahan. Indikasi tersebut diperoleh setelah menyimpulkan data awal
dengan cara melakukan wawancara terstruktur dengan menggunakan kisi-kisi seperti di bawah
ini:

Jadual 1. Respon Spontan Suku Bajo tentang Sastra Lisan Mereka

No Aspek yang ditanyakan Respon Spontan Keterangan


Ya Ragu Tidak
1 Menggunakan bahasa Bajo 6 5 4 Responden spontan sebanyak 15
di kalangan sendiri orang dengan umur yang
bervariasi
2 Masih mengenal sastra 3 6 6 Sda
lisan Suku Bajo
3 Sastra lisan Suku Bajo 8 7 0 Sda
penting bagi anda
4 Sastra lisan Suku Bajo 9 1 2 Sda
perlu dilestarikan
5 Mengerti bahasa Indonesia 10 2 3 Sda

Prosiding Seminar Antarabangsa Ke-8 Arkeologi, Sejarah dan Budaya di Alam Melayu
Fathu Rahman / 271

Berdasarkan respon spontan yang diberikan oleh responden Suku Bajo menunjukkan
bahwa sastra lisan yang mereka miliki mulai ditinggalkan khususnya oleh generasi muda, dan
jika ini tidak segera tertangani (dalam bentuk upaya pelestarian), tentu pada gilirannya akan
terancam punah. Dengan argumen itu, penelitian ini akan memetakan masalah, menelisik
sumber masalah, menetapkan langkah-langkah penyelamatan. Berdasarkan upaya tersebut
sehingga penelitian ini akan menghasilkan sebuah konsep pemertahanan sastra lisan Suku Bajo
dari ancaman kepunahan.
Secara konseptual, tidak ada alasan untuk menunda penyelamatan ini. Hanya saja
setiap konsep penyelamatan tidak boleh berbentuk rekayasa budaya (cultural engeerering)
melainkan harus lahir dari cara pandang dan kesesuaian tingkat adaptif mereka sehingga
tumbuh kesadaran baru dikalangan Suku Bajo terhadap pentingnya penyelamatan sastra lisan
mereka sebagai sebuah kebutuhan.
Peta jalan penelitian ini tak dapat melepaskan diri dari 3 (tiga) kajian penting yakni
kajian sastra, linguistik, dan budaya (tradisi lisan). Ketiga kajian ini akan saling mengisi satu
sama lain untuk menuntaskan pembahasan sebagai upaya menjawab tema penelitian ini, yakni
jawaban terhadap model pemertahanan atas ancaman kepunahan Sastra Lisan Suku Bajo di
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Dengan melihat fakta dari dua tempat ini, maka
bagian dari tujuan penelitian ini tercapai.

BEBERAPA PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian yang terkait dengan kehidupan Suku Bajo sudah dilakukan beberapa peneliti
terdahulu, misalnya Anton dan Marwati (2015) yang meneliti tentang adat perkawinan
masyarakat Bajo di Kabupaten Muna Barat. Menurut Anton dan Marwati, tradisi lisan dalam
bentuk perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sakral dan sangat penting karena
menyangkut nilai-nilai kehidupan. Salah satu adat perkawinan sebagai bentuk warisan budaya
terdapat pada masyarakat suku Bajo. Untuk menghindari punahnya unsur-unsur kebudayaan
tersebut, maka tradisi lisan dalam bentuk sastra lisan harus dijaga dan dilestarikan.
Suardika dan Hafid (2017) menulis sebuah laporan hasil penelitian berjudul “Peran
Tradisi Lisan Iko-Iko Berbasis Sastra Melayu Dalam Penguatan Komunitas Etnis Bajo”. Studi
ini mengungkap lebih pada fungsi kekuatan budaya Suku Bajo yang ada di nusantara.
Rahman, dkk (2018) menghasilkan penelitian berjudul Pemertahanan Ancaman
Kepunahan Sastra Lisan Suku Bajo di Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilaksanakan atas biaya
Universitas Hasanuddin melalui LP2M Unhas. Hasil penelitian ini menghendaki capaian yang
lebih luas, misalnya dengan melanjutkan ke wilayah lain dimana Suku Bajo ini bermukim lebih
banyak.
Namun demikian, penelitian yang secara khusus mengkaji masalah Sastra Lisan Suku
Bajo di Sulawesi Selatan terkhusus dari aspek ancaman kepunahannya boleh dikata belum
tersentuh sama sekali. Hal ini diduga karena selain terbatasnya informasi awal mengenai topik
ini, juga karena sastra lisan Suku Bajo oleh banyak kalangan tidak menggoda untuk
dibicarakan.
Iko-iko yang terdapat dalam komunitas Bajo memiliki fungsi sebagaimana dikatakan
Danandjaja (1991), sebagai: (a) sistem proyeksi, yakni sebagai pencerminan angan-angan suatu
kolektif, (b) alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) alat
pendidikan anak, (d) alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu
dipatuhi oleh anggota kolektifnya.
Untuk menggairahkan kembali keberadaan Iko-iko di tengah-tengah Masyarakat Bajo
dan mendorong upaya pelestarian dan pemajuan kebudayaan, maka perlu ada upaya pelestarian
dalam berbagai bentuk, seperti: penulisan, pemileman, festival, yang melibatkan para penutur
yang masih ada dalam Masyarakat Bajo (Hafid 2012). Sasaran yang dapat dicapai antara lain
adalah: (1) membangun kecintaan generasi muda Bajo terhadap budaya iko-iko, (2)

Prosiding Seminar Antarabangsa Ke-8 Arkeologi,Sejarah dan Budaya di Alam Melayu


272 / Fathu Rahman

mendokumentasikan iko-iko sebagai salah satu aset budaya Bajo agar dapat dinikmati oleh
generasi mendatang, (3) menumbuhkan gairah masyarakat Bajo untuk menjaga kelestarian dan
mengembangkan Iko-iko dan jenis budaya lainnya di masa mendatang.

METODE PENELITIAN

Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian

Kajian ini mengkhususkan diri membahas mengenai penyelamatan sastra lisan Suku Bajo
disertai lahirnya konsep-konsep pemertahanan sebagai salah unsur penting kebudayaan yang
berterima dalam tatanan kehidupan pemangku kebudayaan dalam hal ini Suku Bajo. Salah satu
sastra lisan masyarakat Bajo yang paling terjenal adalah Iko-Iko. Tidak ada yang mengetahui
pasti apa arti iko-iko sesungguhnya. Iko-iko adalah semacam sastra lisan yang mengisahkan
banyak hal tentang perjalanan hidup Suku Bajo.
Iko-Iko adalah sebuah cerita rakyat yang di dalamnya mengandung unsur kehidupan
sehari-hari, perjuangan hidup, mata pencaharian, sosial budaya, ketekunan, kesetikawakanan,
menghormati laut, dan bahkan kehidupan muda-mudi pun tak diceritakan. Hal ini
menggambarkan bahwa tradisi bertutur bagi masyarakat Suku Bajo sudah lama terbentuk.
Pembentukan ini masih merupakan warisan dari leluhur mereka dari tanah asalnya.

Gambar 3. Saat Melakukan Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Suku Bajo

Setiap komunitas senantiasa menjaga sejarahnya sendiri menurut caranya sendiri.


Masyarakat moderen menuliskan sejarahnya melalui media cetak atau media elektronik. Bagi
Suku Bajo, mereka telah menjalin sejarah peradabannya melalui sastra lisan (ceritera rakyat).
Dengan kata lain Iko-iko adalah sebuah upaya untuk menyimpan dalam ingatan kolektif sejarah
Etnis Bajo secara lisan dalam bentuk cerita dengan menggunakan bahasa rakyat yang berbasis
pada baong sama.
Iko-iko merupakan merupakan tradisi lisan, dan juga sastra lisan karena disebarkan dari
satu orang ke orang lain secara lisan dan proses pembuatan atau proses kreatifnya didengar dan
dilihat oleh penontonnya. Jenis tradisi lisan seperti iko-iko ini dapat menjadi kekuatan kultural
dan salah satu sumber penting dalam pembentukan identitas dan peradaban komunitas Bajo.

Prosiding Seminar Antarabangsa Ke-8 Arkeologi, Sejarah dan Budaya di Alam Melayu
Fathu Rahman / 273

Tradisi lisan iko-iko telah berkembang di kalangan Etnis Bajo sebelum mereka mengenal
peradaban menulis (meskipun dengan aksara pinjaman). Dimana pun penyebaran Suku Bajo,
mereka mempraktekkan Iko-iko meskipun dalam versi yang berbeda-beda.

Gambar 4. Salah satu Tim Pertunjukan Iko-iko yang pernah ada di Sulawesi Selatan
Gambar di atas direproduksi atas izin pemilik
(Sumber: reproduksi atas izin pemilik)

Iko-iko atau senandung yang dilantunkan adalah gambaran kekayaan budaya Etnis
Bajo. Pada syair iko-iko terkandung kekayaan bahasa dalam konsep baong same (Bahasa
Bajo). Tradisi lisan Iko-iko memiliki nuansa pengetahuan dan adat kebiasaan yang diwariskan
secara turun-temurun melalui kelisanan yang mencakup. Isinya meliputi pengetahun dan ajaran
moral sepereti sejarah, hukum adat, dan pengobatan. Perihal yang terkandung dalam tradisi
lisan iko-iko adalah fenomena kontemporer dan tradisi dalam masyarakat Bajo yang merupakan
warisan nenek moyang. Tradisi dalam bentuk sastra lisan termasuk iko-iko
dikatakan/diungkapkan dengan suara yang merdu (oleh penutur) dan didengar (oleh
penonton/orang lain).

Prosedur Pengumpulan Data

Penelitian ini memerlukan data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dimaksudkan untuk
menyajikan fakta dan data statistik dari suatu fenomena dari objek yang diteliti. Metode yang
digunakan untuk menhitung satuan-satuan dari satu kelompok kategori, sedangkan data
kualitatif menguraikan gambaran kehidupan suku Bajo dengan segala aspek yang terkait
dengan sastra lisan Iko-iko. Data penelitian dan prosedur dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut.

Prosiding Seminar Antarabangsa Ke-8 Arkeologi,Sejarah dan Budaya di Alam Melayu


274 / Fathu Rahman

Gambar 5. Tahapan dan Prosedur Penelitian Suku Bajo

Analisis Data

Penelitian ini akan dilaksanakan dengan menggunakan metode observasi, justifikasi dan
naratisasi. Penelitian tradisi lisan merupakan obyek kajian yang cukup kompleks. Kompleksitas
kajian ini (semisal terkait dengan upacara adat) dapat disebabkan oleh nuansa tuturan verbal,
simbol tertentu, gerakan, dan makna yang terintegrasi dalam sebuah kegiatan upacara. Dapat
dikatakan bahwa penelitian tradisi lisan merupakan perpaduan antara kajian bahasa, sastra, dan
antropologi. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan analisis struktural.
Pendekatan struktural adalah kajian tentang teks sastra untuk menggali makna teks dan
keseluruhan komponen yang membangun sistem, baik yang tersurat maupun yang tersirat
dalam karya itu. Dalam konteks penelitian ini, perspektif pendekatan struktural akan melihat
wujud bangun item kebudayaan tersebut secara komprehensif untuk diperoleh pengertian dan
pemahaman dari perspektif tertentu, misalnya untuk pemertahanan.
Melalui pendekatan struktural seperti disebutkan di atas, proses dan tata cara
pelaksanaan upacara adat juga dapat didekati dengan pendekatan structural. Demikian halnya
dengan sastra lisan yang menjadi bagian dari upacara adat itu, demikian sebaliknya. Oleh
karena itu, diperlukan suatu pendekatan struktural untuk menggali, mengetahui, dan memahami
hakikat yang terkemas secara keseluruhan proses dan tatacara upacara adat Iko-iko pada
masyarakat suku Bajo.

Prosiding Seminar Antarabangsa Ke-8 Arkeologi, Sejarah dan Budaya di Alam Melayu
Fathu Rahman / 275

SUKU BAJO DI SULAWESI SELATAN DAN SULAWESI TENGGARA

Suku Bajo Di Dua Provinsi

Suku Bajo diketahui telah menyebar di nusantara hingga ke Sulawesi. Suku Bajo di Sulawesi
diduga kuat menyebar dari Pulau Sulu Filipina menyebar ke Johor Malaysia, kemudian
menyebar ke Kalimantan hingga akhirnya ke Sulawesi. Khusus di Sulawesi, mereka menyebar
hampir di lima provinsi. Penelitian ini fokus pada dua provinsi yakni Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tenggara. Suku bajo di dua provinsi dipandang mewakili Suku Bajo di Sulawesi.
Etnis Bajo merupakan suatu komunitas berbudaya Melayu hidup secara berkelompok
di berbagai wilayah pesisir pantai dan pulau terpencil di Nusantara dan Asia Tenggara. Di
Kawasan Barat Indonesia dan Malaysia Barat disebut Orang Laut, atau Suku Laut. Di Malaysia
Timur, Brunai Darussalam, dan Philipina disebut Orang Bajau. Meskipun memiliki nama yang
berbeda-beda berdasarkan geograis tempat tinggalnya, tetapi dari segi budaya memiliki
persamaan khususnya proses pewarisan pengetahuan, nilai, dan keterampilan dalam bentuk
penguatan komunitas melalui tradisi lisan Iko-iko, Nauya (nyanyian) dan Pantun. Beberapa
kajian menunjukkan bahwa Etnis Bajo ini berasal dari Selat Malaka, selanjutnya mereka
tersebar di kawasan Kepulauan Melayu (Malaysia, Indonesia, Brunai Darussalam, dan
Philipina) akibat kedatangan imperialisme Portugis yang merebut Malaka pada tahun 1511,
Orang Bajo sebagai salah satu inti rakyat Kerajaan Malaka, mereka bangkit melawan
Imperialisme Portugis, dan setelah kerajaannya takluk mereka tetap melanjutkan perlawanan di
laut dengan tersebar di di berbagai kawasan nusantara (Suardika dan Hafid 2017).

a. Sulawesi Selatan

Ada tiga tempat di wilayah Sulawesi Selatan yang diketahui terdapat pemukiman Suku Bajo
yakni di Kabupaten Bone, Kabupaten Selayar, dan Kabupaten Luwu, khususnya di Balopa).
Kedua Kabupaten yang disebutkan terdahulu dikenal memiliki daerah pantai yang amat luas
dan sektor perikanan merupakan sektor andalan perekonomian mereka. Perekonomian Suku
Bajo adalah menangkap ikan atau membuat ikan kering dan menjualnya ke pengumpul. Orang
Bajo tidak menjual ikan di pasar, mereka bertransaksi di tengah laut atau di pelelangan, atau
bahkan mereka dipekerjakan oleh para pemilik modal dengan sistim upah. Melaut (mattasi’)
adalah kehidupan mereka. Ada pun Suku Bajo yang terdapat di Belopa masih dalam tahap
penjajakan untuk mendapatkan informasi yang lengkap.
Perkiraan jumlah penduduk Suku Bajo (2017) dan wilayah pemukiman mereka terlihat
pada jadual di bawah ini;

Jadual 2. Wilayah Pemukiman Suku Bajo di Sulawesi Selatan

No Kabupaten Wilayah Jumlah Penduduk (2017) Keterangan


BajoE 621 Semi menetap
1 Bone LonraE 590 Sda
Bene’ 458 Sda
Pantai Panrang Luhu 239 Tidak menetap
2 Selayar Benteng 392 Sda
Takabonerate 281 Sda
Pulau Rajuni 197 Sda
3 Luwu Belopa 526 Semi menetap

Prosiding Seminar Antarabangsa Ke-8 Arkeologi,Sejarah dan Budaya di Alam Melayu


276 / Fathu Rahman

b. Sulawesi Tenggara

Di wilayah Konawe Selatan, Pemandangan laut yang indah terhampar di pesisir Kolono,
Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Di tepi pantai Kolono yang jernih terlihat
beberapa rumah panggung milik masyarakat Suku Bajo yang terpancang di laut.
Di atas karang pesisir Kolono bermukim ratusan orang Suku Bajo yang mendirikan rumah
panggung berbahan kayu. Di bawah kolong rumahnya terdapat sampan yang dipakai melaut.
Mereka menggantungkan hidup dari hasil laut yang berlimpah di perairan sekitar Teluk
Kendari.
Masyarakat Suku Bajo yang hidup nomaden di atas laut hingga sering digelari gipsy
laut ini tinggal di pesisir pulau-pulau di Sultra yang jumlahnya mencapai 625 pulau. Di pulau-
pulau Sultra jumlah masyarakat Suku Bajo mencapai angka 20 ribu jiwa, yang dominan berada
di kepulauan Wakatobi.
Wakatobi adalah nama sebuah pulau dan kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Nama Wakatobi merupakan singkatan dari nama-nama empat pulau utama yang
membentuk kepulauan: Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.

Jadual 3. Wilayah Pemukiman Suku Bajo di Sulawesi Tenggara

No Kabupaten Wilayah Jumlah Penduduk Keterangan


1 Wakatobi Wangiwangi 1.415 Menetap
Kaledupa 2.614 Sda
Tomia 7320 Sda
Binongko 11.890 Sda
2 Kampung Bajo Kampung Bajo 10.247 Sebagian semi menetap

Dalam kaitannya dengan penelitian ini terdapat 6 (enam) aspek penting yang harus
dijelaskan untuk mengenal lebih dekat Suku Bajo di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara
yakni 1) Kehidupan Sosial, 2) Pemukiman, 3) Mata Pencaharian, 4) Agama, 5) Bahasa, dan 6)
Tradisi Lisan. Dari sisi ontologis, perlu ditertegas bahwa tradisi lisan (sastra lisan) merupakan
sentrum dari topik pembahasan penelitian ini.

Gambar 6. Salah Satu Perkampungan Suku Bajo Di Wakatobi

Prosiding Seminar Antarabangsa Ke-8 Arkeologi, Sejarah dan Budaya di Alam Melayu
Fathu Rahman / 277

Pemertahanan adalah usaha pelestarian. Pelestarian itu sendiri adalah sebuah upaya
yang berdasar, dan dasar ini disebut juga faktor-faktor yang mendukungnya baik itu dari dalam
maupun dari luar dari hal yang dilestarikan. Maka dari itu, sebuah proses atau tindakan
pelestarian mengenal strategi atapun teknik yang didasarkan pada kebutuhan dan kondisinya
masing-masing (Chaedar 2006:18)

Sastra Lisan Suku Bajo: Sastra Nusantara Yang Terabaikan

Sastra lisan suku Bajo merupakan salah satu warisan budaya yang mereka bawa dalam
penyebaran. Kini mereka merasa sebagai warga bangsa di mana saja mereka. Bagi yang berada
di Sulawesi Selatan merasa Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara adalah tanah
kelahirannya. Tanah leluhur asal usulnya hanya menjadi ceritera leluhur yang mereka fahami
secara sepenggal-penggal.
Sastra lisan Iko-iko sekaligus juga disebut tradisi lisan karena hidup dalam budaya
bertutur. Ia tidak seperti sastra lisan lainnya yang penyebarannya semata-mata dari mulut ke
mulut melainkan ia disenandungkan pada acara-acara tertentu. Ia memiliki tema yang beragam,
bahkan hampir mencapai seluruh aspek kehidupan Suku Bajo. Jenis tradisi lisan seperti ini
dapat menjadi kekuatan kultural bagi Suku Bajo dan salah satu sumber penting dalam
pembentukan identitas dan peradaban komunitas Bajo. Tradisi lisan iko-iko telah
memasyarakat di kalangan Etnis Bajo jauh sebelum mereka berinteraksi dengan kebudayaan
luar. Keadaan ini hanya terjadi hingga tahun 1970an.
Sebagai sebuah produk budaya, sastra lisan suku bajo dapat dikategorikan sebagai
sastra nusantara yang mulai terabaikan. Pengembangan sastra lisan terkendala dari internal dan
eksternal. Dari aspek internal karena suku bajo itu sendiri tidak memperomosikan sastra lisan
mereka dan dikenali oleh kebudayaan lain, sedangkan aspek eksternalnya adalah masalah
kepedulian pemerintah yang tidak mendorong sepenuhnya pelestarian kebudayaan seperti in.
Akibatnya, sastra lisan ini hidup apa adanya meskipun suku bajo sendiri tetap mempraktekkan
dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan mereka, misalnya pada acara perkawinan, pindah rumah,
kematian, baru melahirkan, dan beberapa hajatan lainnya.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data penelitian ini, kondisi sastra lisan suku Bajo mengalami keterancaman punah.
Dimana pun mereka berada, mereka lebih suka beradaptasi dan menerima kebudayaan sekitar
dibanding mereka memberi pengaruh terhadap lingkungannya, atau mungkin mereka kurang
menyadaru bahwa mereka telah memberi kontribusi pengetahuan tentang keberanian melaut,
menangkap ikan dan menyelam.
Menjaga kelestarian sastra lisan merupakan bagi dari literasi. Literasi suku Bajo perlu
ditumbuhkan terus secara berkelanjutan. Merujuk pada hasil temuan, kondisi sastra lisan suku
Bajo di dua provinsi ini memiliki kondisi yang kurang lebih sama. Gambaran itu terlihat seperti
pada jadual di bawah ini:

Jadual 4. Refleksi Kondisi Sastra Lisan Iko-iko di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara

No Sastra Lisan Iko-iko Sulawesi Sulawesi Keterangan


Bagi Suku Bajo Selatan Tenggara
1 Masih dikenal oleh ya/tidak ya Sebagian suku Bajo di
masyarakat Belopa menggunakan
bahasa Tae’
2 Mulai ditinggalkan oleh ya ya/tidak khusus di Sulawesi Selatan
generasi muda Sastra Lisan Iko-iko mulai

Prosiding Seminar Antarabangsa Ke-8 Arkeologi,Sejarah dan Budaya di Alam Melayu


278 / Fathu Rahman

terabaikan
3 Kurang memperoleh ya/tidak ya Para tokoh masyarakat
perhatian dari pemerintah suku Bajo berharap
pemerintah melakukan
pembinaan untuk
pelestarian budaya mereka
4 Terjadi kekhawatiran akan ya tidak jika kondisi dibiarkan
punah tanpa penyelamatan, sastra
lisan Iko-iko dipastihan
hilang dalam kebudayaan
suku Bajo
5 Sastra lisan Iko-iko mulai ya ya ini merupakan hipotesis
terabaikan setelah melihat kondisi
kepedulian suku Bajo
dengan warisan budayanya
6 perlu dimasukkan sebagai ya ya ini adalah usul yang sangat
muatan lokal pada sekolah strategis. Ini akan
dasar dalam lingkungan dilanjutkan menjadi salah
suku Bajo satu rekomendasi
penelitian ini
7 Dilantungkan pada acara- ya ya hanya dilakukan oleh
acara tertentu kalangan menegah ke atas
8 Tersedia kelompok tidak tidak sejak beberapa tahun
kesenian yang memberi terakhir, pelantun Iko-iko
perhatian khusus tidak berkesinambungan
9 Perlu dilestarikan sebagai ya ya jawaban ini diperoleh
bagian dari acara budaya seusai memberi
pemahaman bahwa warisan
budaya leluhur merupakan
salah satu identitas

Seperti dijelaskan terdahulu bahwa suku Bajo dimana pun berada, ia lebih cendrung
menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat dibanding menjaga kebudayaan khasnya. Hal
ini terlihat pada bahasa misalnya. Di Sulawesi Selatan, khususnya di Belopa, suku Bajo sangat
fasih berbahasa Tae’, dan di Bone orang Bajo berbahasa Bugis bahkan dengan sesamanya
orang Bajo. Dalam hal yang sama juga terjadi di Sulawesi Tenggara.

CATATAN KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Sastra Lisan Suku Bajo merupakan salah satu sastra lisan etnis minoritas yang terdapat bumi
nusantara yang kini terbaikan. Pernyataan ini terangkum dari fenomena dan fakta penelitian ini
yang dihimpun dari beberapa sumber data. Sebagai sebuah sastra lisan yang diharapkan tetap
lestari di tengah masyarakatnya, penyelamatan Iko-iko dari kepunahan mutlak harus dilakukan.
Fakta menunjukkan bahwa Iko-iko kini mulai semakin terpinggirkan karena pengaruh
globalisasi, padahal sejatinya Iko-iko harus tetap hadir karena telah memberi sesuatu yang
penting bagi suku Bajo di mana pun berada. Ia merangkai hubungan generasi ke generasi. Jika
mata rantai ini terputus maka sebuah identitas yang diwarisi dari moyang mereka akan hilang
begitu saja.
Iko-iko bukan sekedar hadir menjadi bagian dari kebudayaan suku Bajo, tetapi
kehadirannya sekaligus mempertegas bahwa suku Bajo yang kini tersebar di berbagai wilayah
di nusantara ini memiliki garis keturunan yang sama, kebudayaan yang sama, bahasa yang
sama dan cara pandang dunia yang sama. Mereka terpisah karena persebaran. Mereka adalah

Prosiding Seminar Antarabangsa Ke-8 Arkeologi, Sejarah dan Budaya di Alam Melayu
Fathu Rahman / 279

orang laut yang menganggap laut adalah jiwanya, tempat mereka mencari penghidupan dan
membina keluarganya.
Dari aspek pemajuan kebudayaan, selain sastra lisan harus diselamatkan juga terkait
dengan ritual sebelum melaut. Ritual ini amat strategis sifatnya mengingat entitas suku Bajo
sebagai suku pelaut. Dengan ritual ini maka atribusi hubungan manusia dan ritual sebelum
mereka menyelenggarakan hajatan, turun melaut misalnya, terjawab sudah dalam perspektif
budaya. Entitas satu suku selalu ditandai dengan ritual apa yang melekat pada kebudayaan suku
itu. Iko-iko dalam beberapa hal, ia bagian dari sebuah ritual. Iko-iko hadir di tengah suku Bajo
saat mereka a) mencari nafkah di tengah laut, b) menghadapi kesulitan di tengah laut, c) acara
pernikahan, d) kelahiran anak bayi, e) menjenguk orang sakit, dan f) mengalami kedukaan. Ini
adalah fakta adanya hubungan antara kehidupan dengan sastra, sastra hadir di saat suka dan
duka. Dengan agrumen ini, tidak ada alasan untuk tidak mengukuhkan Iko-iko sebagai bagian
dari aspek budaya yang strategis bagi suku Bajo yang harus dilestarikan. Ia adalah warisan
budaya tak benda yang memiliki nilai strategis, ia harus hadir sebagai salah satu penopang
kebudayaan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Anton dan Marwati. 2015. Ungkapan Tradisional Dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat
Bajo Di Pulau Balu Kabupaten Muna Barat. Jurnal Humanika 15 (3): 1979-8296.
Alwasilah, A. Chaedar. 2006. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hafid, Anwar, dan Safruddin. 2011. Pemberatasan Buta Asara Berbasis Cerita Rakyat.
Kendari: YAKAMDES kerja sama Direktorat Pendidikan Masyarakat Kemendiknas.
Hafid, Anwar. 2012. The Role of Iko-Iko Folktale in Malay Literature in Bajonese Community
Preservation. Makalah Disajikan pada Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara
di Tanjung Pinang pada 23-27 Mei 2012.
Rahman, Fathu, dkk. 2018. Pemertahanan Ancaman Kepunahan Sastra Lisan Suku Bajo di
Sulawesi Selatan. (Laporan Penelitian), Makassar: Lembaga Penelitian Universitas
Hasanuddin.
Suardika, I Ketut dan Hafid, Anwar. 2017. Peran Tradisi Lisan Iko-Iko Berbasis Sastra Melayu
Dalam Penguatan Komunitas Etnis Bajo http://anwarhapide.blogspot.co.
id/2017/01/peran-tradisi-lisan-iko-iko-berbasis.html. [Diakses pada 20 Februari
2017].

Prosiding Seminar Antarabangsa Ke-8 Arkeologi,Sejarah dan Budaya di Alam Melayu

View publication stats

You might also like