You are on page 1of 34

MODUL

Sekolah Kader Perempuan Progresif


(SKPP)

KORPS PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM


INDONESIA PUTRI (KOPRI)
KOMISARIAT PONDOK SAHABAT
UIN SUNAN KALIJAGA
2021
MODUL SKPP 2021

Pelindung : Suaibatul Aslamiah (Ketua Kopri Komisariat


Pondok Sahabat UIN Sunan Kalijaga
Penanggung Jawab : Tim Perumus Materi

Oktober 2021

Diterbitkan Oleh :
KOPRI PMII Komisariat Pondok Sahabat UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta

Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri


(Kopri) Komisariat Pondok Sahabat UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta

Modul SKPP 2021


21x 29,7 cm
IDENTITAS ANGGOTA

Nama lengkap :
Nama Panggilan :
Alamat :
Rayon Asal :
No. Hp :
Motto Hidup :

Yogyakarta, Oktober 2021

( )

I
DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Identitas Pemilik...................................................................... I
Daftar Isi..................................................................................... II
Materi I : Asal Usul Ketertindasan Perempuan...................... 1
Materi II : Islam dan Pembebasan Perempuan...................... 8

Materi III : Pengalaman Khas Perempuan................................ 16


Menuju Daulat Diri

Materi IV : Women for Humanity................................................. 24

II
ASAL USUL KETERTINDASAN PEREMPUAN

Di waktu-waktu tertentu, pernah nggak sih kita menjumpai


obrolan yang cukup membuat kita sebagai perempuan merasa
menjadi makhluk kelas dua? Salah satu pernyataan yang biasa
muncul dari lawan bicara seperti, kenapa sih perempuan selalu
teriak soal keseteraan? Perempuan kan memang sudah dari
sananya lebih lemah dari pada laki-laki. Apalagi, pernyataan
tersebut banyak muncul bahkan dari sahabat-sahabat kita
sendiri di organisasi, khususnya PMII. Kesal sekali bukan?

Tak mengapa, Sahabat. Kita tak perlu merespon hal-hal


demikian dengan penuh emosi, apalagi sampai marah dengan
lawan bicara kita. Respon demikian wajar kok, karena memang
narasi soal inferioritas perempuan tidak muncul begitu saja. Ia
muncul dan di konstruksi oleh budaya dalam waktu yang tidak
sebentar. Sehingga ketimbang direspon dengan reaksi tidak
berdasar, lebih baik kita belajar mengenai bagaimana
sebenarnya narasi tersebut muncul dan benarkah perempuan
terlahir sebagai makhluk yang lemah?

Ketika berbicara mengenai ketertindasan perempuan, ada


dua pandangan teori yang akan membantu kita memahami
tentang fenomena ketidaksetaraan gender. Teori tersebut adalah
teori determinisme biologis dan teori evolusi. Teori
determinisme biologis mengatakan bahwa ketertindasan
perempuan memang berasal dari bentuk alamiah (kodrat)
perempuan itu sendiri. Pandangan determinisme biologis ini
banyak muncul di zaman klasik, saat pemikiran filsuf-filsuf pada
saat itu cenderung patriarkis. Penganut determinisme biologis
berpendapat bahwa karakter alamiah bukan hanya membentuk

Modul SKPP 2021 1


tingkah laku, melainkan juga menentukan kedudukan sosial dan
ekonomi di masyarakat.

Sigmund Freud menganggap bahwa posisi perempuan lebih


rendah dibandingkan laki-laki. Freud berpendapat bahwa
perempuan cemburu dengan laki-laki yang memiliki penis. Dan
laki-laki yang memiliki libido besar, yang jika tidak dilampiaskan
ke bentuk-bentuk lainnya, akan memposisikan perempuan
sebagai objek penyerangan libidonya.

Atau, kajian biologis Lorenz yang menyatakan bahwa


perempuan secara evolutif dan embrionik sudah lemah, pasif,
dan inferior. Argumentasinya adalah ketika laki-laki dan
perempuan bereproduksi dan si laki-laki mengeluarkan sperma,
sperma tersebut berjumlah ribuan ketimbang satu indung telur
yang dikeluarkan perempuan dalam satu bulannya. Dan ribuan
sperma ini menyerang indung telur yang hanya satu tersebut.

Lain halnya dengan kaum determinis biologis, Pat Brewer


menganggap bahwa sesuatu yang dianggap alamiah dan tidak
bisa diubah lagi adalah penjelasan palsu. Ia merupakan ideologi
yang reaksioner. Teori evolusioner menjelaskan bahwa
penindasan terhadap perempuan merupakan permasalahan
sosial yang terus berubah sepanjang waktu, bukan semata-mata
karena kondisi biologis.

Engels, dalam Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan


Negara yang didasarkan pada hasil penelitian Lewis H Morgan
membagi tiga tahap evolusi sosial yang terdiri dari zaman
kebuasan, zaman barbarisme, dan zaman peradaban. Zaman
kebuasan meliputi proses pengumpulan produk alamiah dari
buah-buahan, makanan laut, kegiatan berburu yang menetap di
desa-desa. Zaman barbarisme dimulai dari kegiatan pertanian,

Modul SKPP 2021 2


peternakan, dan bercocok tanam. Sedangkan zaman peradaban
yang ditandai dengan pembagian secara spesifik pada kerajinan,
produksi komoditas, kemunculan kelas sosial, adanya
kepemilikan pribadi, pemisahan desa dengan kota, kemunculan
keluarga dan negara.

Mitos Inferioritas Perempuan

Sebelum akhirnya ketidaksetaraan gender itu muncul pada


zaman kedua dan ketiga, masyarakat komunal primitif telah
lebih dulu mempraktikan hubungan sosial yang begitu setara.
Evelyn Reed dalam bukunya yang berjudul Mitos Inferioritas
Perempuan memberikan kajian antropologis tentang asal-usul
sejarah perkembangan manusia. Evelyn menunjukan bahwa
perempuan di zaman itu memiliki kebebasan ekonomi, politik,
seksual, dan punya kontribusi besar dalam menciptakan
peradaban humanisme dan mengembangkan kebudayaan.

Evelyn membantah kajian ilmiah tentang inferioritas


perempuan yang didasarkan pada bukti sejarah antropolgi dan
arkeologi. Sekitar 9.000 tahun yang lalu, masyarakat bertahan
hidup dengan hubungan produksi secara kolektif dan
kepemilikan komunal. Waktu itu sudah ada pembagian kerja
antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki berburu, dan
perempuan bekerja di wilayah perkampungan klan (peramuan).

Masyarakat membutuhakn tenaga kerja untuk menghasilkan


makanan, sehingga tenaga kerja ini harus tetap ada dan diajaga
keselamatannya. Salah satu cara untuk menjaganya adalah
mengurus dan membesarkan mereka secara kolektif. Hal
tersebut tentu dilakukan oleh perempuan. Kenapa perempuan?
Karena perempuanlah yang mempunyai payudara untuk

Modul SKPP 2021 3


menyusui. Ketika si bayi mendapatkan 5 bulan pertama ASI ibu,
ia akan tumbuh dengan kekebalan tubuh yang tinggi.

Salah satu dampak dari hal tersebut adalah perempuan


akhirnya bekerja pada sektor peramuan, pencarian sayur dan
buah-buahan. Pembagian kerja peramuan yang diberikan kepada
perempuan bukan proses yang tiba-tiba terjadi, melainkan
karena bertujuan untuk menjaga generasi pekerja selanjutnya
dari ancaman hewan buas.

Selanjutnya, perempuan mengangkat akar-akar pohon yang


besar, menusuk dengan tongkat, memindahkan batu untuk
menyuburkan tanah. Mereka secara fisik sangatlah kuat. Saat
perempuan membajak sawah, perempuanlah yang membawa
barang bawaan karena ototnya lebih kuat. Ia menemukan api
karena gesekan batu, melakukan fermentasi bahan-bahan kimia,
memberikan kasih sayang kepada hewan, hingga membuat
kandang binatang di dekat rumah.

Fase Penyingkiran Perempuan

Sejak manusia mulai bertani karena berubahnya kondisi


alam—jaman es berakhir dan padang rumput mengalami
ketandusan—problem selanjutnya adalah terjadinya surplus
produksi. Pertanian memberikan hasil lebih banyak daripada
yang harus dihabiskannya. Di waktu inilah pertanian dan
peternakan terlihat lebih menjanjikan ketimbang berburu dan
meramu.

Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan kemudian


berubah. Saat laki-laki berpindah haluan dari berburu ke
pertanian, maka perempuanlah yang mengajari laki-laki.
Perempuan telah terbiasa melakukan kerja peramuan, sehingga

Modul SKPP 2021 4


laki-laki saat itu hanya membantu perempuan menyiapkan lahan
garapan dan bersih-bersih.

Ketika proses perluasan lahan berlangsung, sedangkan saat


itu masih adanya keterbatasan alat pertanian, otomatis
masyarakat membutuhkan banyak tenaga kerja. Dari sinilah
proses reproduksi manusia menjadi sangat penting bagi lahirnya
tenaga kerja baru untuk pengolahan lahan. Selama proses
reproduksi inilah perempuan semakin tersingkir dari proses
ditengah masyarakat.

Selain terserapnya perempuan pada kegiatan reproduktif,


penyingkiran perempuan dari aktivitas produksi tambah
berkurang ketika ditemukannya mata bajak.. Mata bajak
biasanya ditarik menggunakan hewan ternak, dan pengendalian
hewan ternak adalah keterampilan kaum laki-laki karena
terbiasa berburu. Padahal, mata bajak ini diinovasikan oleh
perempuan di sela waktu luangnya akibat hasil pertanian yang
surplus.

Saat proses produksi tidak lagi dijalankan secara kolektif,


secara otomatis kondisi masyarakatpun berubah. Unit terkecil
yang tadinya suku, berganti menjadi satu lembaga baru
berbentuk keluarga. Sebelum adanya keluarga, reproduksi
dilakukan secara komunal, sehingga pada waktu itu hanya
dikenal garis keturuan dari ibu (matrillineal).

Ketika proses produksi perpindah mejadi pereorangan, alat-


alat produksi yang dulunya menjadi kepemilikikan suku berubah
juga menjadi kepemilikan pribadi. Alat-alat produksi kemudian
jatuh kepada laki-laki. Karena alat-alat produksi jatuh kepada
laki-laki, pengambilan keputusan juga jatuh kepada laki-laki.

Modul SKPP 2021 5


Dari sinilah sistem nilai yang dulu berjalan begitu egaliter antara
laki-laki dan perempuan tergeser menjadi sistem patriarki.

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kemudian


kondisi perempuan hari ini? bukankah hari ini perempuan
diperbolehkan bekerja dan terjun ke publik secara bebas? Evelyn
mengatakan bahwa penindasan perempuan berakar pada
struktur kelas yang ada di masyarakat. Dominasi ini kemudian
diabadikan oleh sistem kepemilikan pribadi, negara, agama, dan
bentuk keluarga yang menjadi pelayan kepentingan laki-laki.
Menurut evelyn, para kapitalis, baik laki-laki maupun
perempuan, sama-sama melanggengkan status-quo demi
mempertahankan kepentingan mereka.

Dalam bidang komoditi fashion, misalnya, mereka


membentuk salah satu mitos bahwa pada zaman masyarakat
primitif, perempuan melukis dan menghiasi tubuh mereka.
Padahal, pada masa komunal primitif, seorang perempuan yang
mencari suami dan dia menggunakan kosmetik, peluang
mendapatkan suami akan berkurang. Saat itu kosmetik menjadi
lambang bagi pelacur, dan tidak ada pria terhormat yang akan
menikah dengan perempuan yang wajahnya dilukis. Anggapan
ini kemduian dibentuk oleh para pemilik modal agar
memberikan keuntungan kepada mereka sebanyak-banyaknya.

Atau, apa yang dibilang Pat Brewer bahwa bukan hanya isu-
isu ekonomi saja yang mempengaruhi perempuan. Ada berbagai
bentuk penindasan perempuan dalam masyarakat kelas. Salah
satunya adalah serangan terhadap hak-hak reproduksi
perempuan. Perempuan dipaksa tinggal dirumah ketika anaknya
masih kecil. Ketika si anak masuk sekolah, perempuan
diperbolehkan bekerja paruh waktu dengan upah rendah untuk

Modul SKPP 2021 6


membiayai hidup sosial keluarga yang meningkat. Selama
kepemilikan pribadi tersebut masih ada, ketertindasan
perempuan belum akan benar-benar berakhir. Memang betul,
kerja kapitalisme dilakukan secara komunal, tetapi hasil
produksi ini masih dipengaruhi oleh perorangan saja dan bukan
untuk kesejahteraan bersama.

Referensi:

Par Brewer, Penyingkiran Perempuan

Frederich Engels, Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi,


dan Negara

Evelyn Reed, Mitos Inferioritas Perempuan

Modul SKPP 2021 7


ISLAM DAN PEMBEBASAN PEREMPUAN

Pada zaman jahiliyah, seorang perempuan yang ditinggal


mati oleh suami, dia akan mendapat konsekuensi berupa
kurungan (diisolasi), bertukar atau mengenakan pakaian yang
buruk, tidak boleh memakai wangi-wangian sebelum habis masa
satu tahun. Selain itu, perempuan tidak dapat menerima warisan
dari harta yang ditinggalkan suaminya, bahkan ia akan
diwariskan layaknya benda mati kepada temannya atau keluarga
dekatnya, sehingga yang terjadi adalah banyak anak yang
mewarisi ibunya sendiri. Perlakuan diskriminatif (tidak
manusiawi) terhadap perempuan sudah lumrah dipraktekkan
pada masa pra-Islam.

Perempuan dalam Sejarah Peradaban Islam

Kehadiran Islam telah merubah tatanan sosial atas dasar


nilai keadilan dan kemanusiaan. Islam memposisikan laki-laki
dan perempuan secara setara, sehingga perempuan dapat
berperan sebagai pihak yang memiliki derajat kemuliaannya. Hal
ini terekam dalam beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan
status dan peran perempuan. Kisah Adam dan Hawa, misalnya,
dihadirkan untuk maksud mengajarkan kepada manusia, bahwa
laki-laki dan perempuan adalah wakil Tuhan di muka bumi
(khalifah fi al-ardh) yang bebas dan bertanggung jawab serta
mempunyai kedudukan yang sama dalam memperjuangkan
kebaikan dalam melawan ketidakbenaran. Menurut Moh. Abduh,
kisah Adam dan Hawa yang ada di dalam Al-Qur’an hendak
memberikan pesan peringatan dan petunjuk untuk
mendefinisikan watak manusia dan misi kemanusiaan yang
dikehendaki Allah SWT.. Kisah Asiyah, istri Fir’aun, merupakan

Modul SKPP 2021 8


salah satu fakta sejarah yang patut dijadikan teladan tentang
kedaulatan seorang perempuan. Ia digambarkan sebagai
perempuan pemberani, mandiri, berpendirian kuat, dan
termasuk perempuan yang menomorsatukan pendidikan. Ia
dikenal sebagai perempuan pemberani yang melawan kebatilan,
bahkan berani melawan suaminya yang dzalim.

Selain itu, dalam hadits Nabi sebagai sumber utama setelah


Al-Qur’an yang berisi ucapan, perilaku maupun sikap Nabi
Muhammad SAW., terdapat beberapa keterangan yang dijadikan
pedoman dan tuntunan bagi umat Islam dalam melakukan
aktivitasnya, baik dalam hal ibadah spiritual maupun sosial.
Akan tetapi, oleh beberapa faktor, banyak hadits Nabi yang
dimaknai secara menyesatkan dan membuat orang yang
memahami itu justru terjerumus ke dalam kecelakaan berpikir
dan jauh dari pesan moral ketuhanan dan kemanusiaan. Dalam
hal ini, terdapat hadits yang dinilai mengandung kebencian
terhadap perempuan atau yang disebut hadits misoginis. Namun,
yang harus dipahami adalah bahwa apa yang ada dalam hadits
misoginis yang diangap mengandung kebencian tersebut
bukanlah berarti Nabi Muhammad membenci perempuan.

Secara etimologi, istilah misogini berasal dari bahasa


Yunani, yaitu misogynia atau miso yang artinya benci, derivasi
dari kata a hatred of women dan berkembang menjadi
misoginisme. Kamus populer juga menyebutkan terdapat tiga
ungkapan berkaitan dengan istilah tersebut, yaitu misogin
artinya benci akan perempuan, misogini artinya perasaan benci
akan perempuan, misoginis artinya laki-laki yang benci
perempuan. Istilah ini berawal dari mitos penciptaan perempuan
dan keluarnya Adam dari surga yang dianggap sebagai titik awal
mula munculnya banyak perlakuan negatif terhadap perempuan.

Modul SKPP 2021 9


Dalam cerita yang populer, Adam terhasut oleh godaan Hawa
yang membuatnya terusir dari surga dan dijatuhkan ke bumi.
Cerita-cerita seperti ini, jika tidak ditelaah secara benar dan
bijak, maka akan menimbulkan kebencian terhadap para
perempuan, sehingga perempuan akan selalu dianggap sebagai
pembuat onar dan tidak pantas dihormati.

Keberadaan mitos akar kebencian terhadap perempuan bisa


dilihat dari Hyde. Menurut Hyde, dalam diri kaum perempuan
dilekatkan mitos-mitos yang kurang menguntungkan bagi
mereka, yang antara lain adalah mitos-mitos mengenai kejahatan
feminim yang berasal dari Judeo-Kristen mengenai kejatuhan
manusia dari surga ke bumi dari surga karena kesalahan Eva
membujuk Adam untuk memakan buah dari pohon pengetahuan.
Di Yunani, dikenal mitos Pandora yang menyebutkan bahwa
perempuan adalah manusia pertama di dunia yang membuka
kotak terlarang, sehingga menyebarlah kejahatan di atas muka
bumi ini. Selain itu, terdapat pula mitos di China dengan dua
kekuatanYin Yang yang berhubungan dengan aspek feminim dan
maskulin. Yin Yang feminim terkait dengan kegelapan, kejahtan,
sisi lain dari alam, sedangkan Yang maskulin adalah kebalikan
dari sifat-sifat tersebut.

Dalam pandangan psikologi, misogini digunakan oleh


feminis psikoanalisis untuk menyatakan kebencian terhadap
perempuan (hatred of women) yang berakar pada kemarahan
bayi primitif terhadap ibunya, karena masyarakat memberikan
tugas pengasuhan anak kepada perempuan. Tumbuhnya
kebencian terhadap perempuan disebabkan pemikiran
Chodorow yang menjelaskan, bahwa devaluasi kultural dan
sosial yang dilakukan oleh anak laki-laki terebut mengarahkan
pada perilaku merendahkan perempuan dan tidak menyukai

Modul SKPP 2021 10


segala sesuatu yang berbau perempuan atau feminim yang
diterimanya pada masa-masa awal kehadirannya di dunia ini.
Pada tahap pembentukan identitas yang ada dalam pikiran
Chodorow, anak laki-laki mempelajari bahwa untuk bisa
diterima di dunia luar, ia harus menyesuaikan dirinya dengan
nilai-nilai dominan yang hidup di sana dengan nilai yang sifatnya
patriarkal. Di dunia ini, untuk menjadi bagian laki-laki, anak laki-
laki harus mengesampingkan semua sifat feminimnya, sehingga
tumbuhlah kebencian terhadap perempuan.

Fatima Mernissi adalah salah seorang perempuan asal


Maroko yang memperjuangkan hak perempuan dalam
memerangi hadits-hadts misoginis. Ia berupaya
memperjuangkan hak perempuan dengan mengkritisi hadis-
hadits misoginis dengan kajian historis dan metodologis, yakni
dengan cara memperhatikan perawi (periwayat) pertama dalam
rangkaian sanad hadits yang notabene sahabat daripada perawi
lainnya. Hal ini dilakukan karena perawi pertama adalah orang
yang paling bertanggung jawab dalam setiap keterangan yang
ada dalam hadist, sebagaimana pendapat Imam Malik yang
menyatakan bahwa perawi hadits tidak hanya dilihat dari
kapasitas intelektual dan kredibilitasnya, tetapi yang lebih
penting adalah moral.

Mengenai kajian historisnya, Fatima


mengkontekstualisasikan hadits dengan situasi saat hadist
muncul dan digunakan untuk dijadikan pertimbangan dan bahan
uji dengan situasi kontemporer hari ini. Melalui kerangka
konsepsi hermeneutika hadits, Fatima ingin menunjukkan
bahwa hadits tidak hanya milik umat Islam masa lalu, tetapi
umat Islam masa kini juga punya hak untuk memakai pedoman
hadist dengan sanad yang jelas. Ini akan lebih menjelaskan

Modul SKPP 2021 11


duduk perkara mengapa hadits itu ada dan dibuat. Sehingga,
dengan cara demikian akan mempermudah para masyarakat
untuk memilah dan memilih hadits mana yang memang punya
sanad yang jelas. Kajian kritis konstruktif ini penting dilakukan,
karena bagaimanapun Rasulullah adalah manusia sempurna
yang menjadi teladan bagi semua manusia, yang itu berarti
sesungguhnya tidak ada hasits yang mendiskriminasikan
perempuan

Sebagai bukti praktek sejarahnya, Rasulullah selalu


mengajak perempuan dalam berbagai peperangan untuk turut
berperan, baik sebagai ahli medis, tentara, dan lain sebagainya.
Ibnu Sa’ad dalam kitab al-Thobaqot al-Kubro, menjelaskan
bahwa banyak perempuan yang mati syahid bersama suaminya
dalam peristiwa perang Uhud. Siti Aisyah, istri Rasulullah, di
samping ia dikenal sebagai ulama, ahli hukum, cendekiawan,
sejarawan, budayawan, hingga rumahnya dijadikan sebagai
pusat informasi yang selalu didatangi untuk tempat belajar, pun
sering turut serta berperan dalam peristiwa peperangan.
Bahkan, pada masa Utsman bin Affan, ia menempatkan dirinya
sebagai agent of control, memberikan pencerahan dan
perubahan di ranah sosial.

Beberapa fakta tentang kiprah peran perempuan tersebut di


atas menunjukkan, bahwa gerakan perempuan untuk berjuang
menebarkan kebaikan dan menumpas kebatilan merupakan
salah satu perintah di dalam ajaran Islam sesuai dengan
kapasitas yang dimiliki.

Sekelumit tentang Gerakan Perempuan Indonesia

Catatan sejarah telah banyak menyaksikan dan mencatat


bagaimana perempuan Indonesia telah melakukan berbagai

Modul SKPP 2021 12


peran aksi sosial. Banyak perempuan pada yang menjadi aktor
ulung di tengah gelanggang politik ibu dan istri yang baik selama
perjuangan anti kolonial. Kartini, misalnya, dianggap sebagai
perempuan perintis kemerdekaan kaum perempuan berkat
pemikiran dan kiprahnya dalam melawan penjajahan. Ia dikenal
sebagai seorang tokoh pejuang perempuan yang lahir dari
keluarga bangsawan yang memperjuangkan pendidikan untuk
perempuan dengan tujuan ingin membebaskan perempuan dari
keterbelakangan dan kemiskinan, sehingga perempuan bisa
merdeka dan berdaulat. Baginya, kecerdasan pikiran penduduk
bumiputera tidak akan maju pesat bila perempuan ketinggalan
dalam usaha itu, yakni bahwa perempuan adalah pembawa
peradaban. (Dri Arbaningsih, 2005 :35). Selain Kartini, ada
beberapa tokoh perempuan yang juga telah banyak berjasa
dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah Christina
Martha Tiahahu (1817-1819), Nyi Ageng Serang dari Jawa
Tengah abad XIX; Cut Nyak Dien dan Cut Meutia di dalam perang
Aceh (1873-1904); dan juga RA Kartini (1884-1947);Dewi
Sartika(18884-1947); Maria Walenda Maramis (1872-1924);Nyi
Ahmad Dahlan(1872-1936), Rasuna Said (1901-1965).

Dalam perjalanannya, pada abad 20, organisasi-organisasi


perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi di
bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal bagi
perempuan. Gerakan-gerakan perempuan yang terjadi pada abad
ke-18 sampai pada awal abad ke-20 berfokus pada perjuangan
memperoleh ruang publik yang lebih luas dengan keterlibatan
perempuan di wilayah politik dan ekonomi. Menurut Syahfitri
Anita, dalam artikelnya yang berjudul “Gerakan Perempuan;
Kajian Teoritis”, wacana gerakan perempuan dihadirkan sejak
awal merupakan salah satu upaya untuk mengangkat posisi

Modul SKPP 2021 13


perempuan. Ini diupayakan untuk mengangkat peran
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat agar tidak menjadi
manusia kelas dua. Organisasi Poetri Mardika, misalnya, adalah
salah satu organisasi perempuan pertama pada masa penjajahan
yang berdiri pada tahun 1912. (Saskia E Wieringa,1998: 3).
Organisasi ini sangat dekat dengan Boedi oetomo karena punya
tujuan yang sama yakni keterlibatannya dalam usaha
memerdekakan bangsa.

Pada tahun-tahun berikutnya, banyak gerakan organisasi


yang diinisiasi oleh kaum perempuan, seperti Pariwayatan
Wanito (Magelang 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak temurun
–PIKAT (Manado,1917), Purborini (Tegal,1917), Aisyiyah
(Yogyakarta1917), Wanito Soesilo (Pemalang,1918), Wanito
(Jepara,1919), Poteri Boedi Sedjati (Surabaya,1919), Poteri
Boedi Sedjati (Surabaya,1919), Wanito Oetomo, dan Wanita
Moeljo (Yogyakarta,1920), yang inti dari perjuangan gerkannya
adalah memerdekakan perempuan melalui pendidikan.

Referensi :

Agus Santri, “Peran Perempuan sepanjang perkembangan


sejarah peradaban islam”. Jurnal Ahsifu PAI Vol. 4 No. 1.
Januari-Juni 2020.

Sunarto, “Televisi, kekerasan, dan perempuan” Jakarta: PT.


Kompas Media Nusantara. tahun 2009.

Samsul Nizar, “ Sejarah Pendidikan Islam menelusuri jejak


sejarah pendidikan era Rosulullah sampai indonesia”
Jakarta: Kencana tahun 2007.

Modul SKPP 2021 14


Maggie Humm “Ensiklopedia feminisme” judul aslinya
“Dictionary of Feminist Theories” penerjemah . Mundi
Rahayu (Yogya: Pustaka Baru, tahun 2002.

Astuti, “Fatwa Hukum Misoginis (Kritik Khaled Abou el-Fadl


Terhadap fatwa CRLO di Amerika)” Pekanbaru: Pusat
studi wanita UIN SUSKA Riau, tahun 2008. jurnal marwah
vol.2 no.1

Modul SKPP 2021 15


PENGALAMAN KHAS PEREMPUAN MENUJU DAULAT DIRI

Berbicara mengenai penindasan perempuan tidak bisa


dilepaskan dari peran determinisme biologis. Determinisme
biologis adalah pandangan yang meyakini bahwa perilaku
manusia merupakan bawaan lahir (bersifat kodrati), ditentukan
oleh gen, ukuran otak, dan atribut-atribut biologis lainnya. Dalam
hal ini, laki-laki dianggap lebih superior secara biologis dan sudah
sepantasnya mendapat peran di ranah publik dan layak untuk
memimpin. Sedangkan, perempuan yang dinilai inferior secara
biologis, yakni hanya pantas mendapat peran domestik.
Determinisme biologis melanggengkan konstruksi gender karena
dianggap sesuai dengan kondisi yang telah ada, sehingga
pembagian peran yang tidak proporsional menguntungkan laki-
laki dan merugikan perempuan dipandang sebagai sesuatu yang
benar.
Beberapa di antara kita pasti pernah mendengar sebuah
ungkapan, bahwa otak laki-laki dan perempuan berbeda.
Ungkapan tersebut dipercaya sebagai sebuah kebenaran yang
bersifat kodrati dan semakin melanggengkan inferioritas
perempuan. Ada sebuah julukan neuroseksisme, yaitu penamaan
terhadap hasil-hasil penelitian seputar otak manusia yang
bersifat seksis. Neuroseksisme didefinisikan sebagai praktik
penelitian yang didasarkan pada keinginan kuat si peneliti untuk
memperlihatkan perbedaan antara otak laki-laki dan perempuan,
yang selanjutnya menempatkan perempuan dalam posisi inferior.
Padahal, penelitian-penelitian yang bersifat neuroseksisme
mempunyai banyak kelemahan dan didasarkan pada asumsi-
asumsi implisit.
Dalam sebuah literatur dijelaskan, bahwa secara biologis,
otak laki-laki dan perempuan memang berbeda. Namun,

Modul SKPP 2021 16


perbedaan tersebut terkait dengan reproduksi seksual yang
melibatkan hormon-hormon dan perilaku seksual yang
dikendalikan oleh otak, bukan pada aspek kognitif. Tentunya kita
semua tahu, bahwa perbedaan biologis yang ada pada perempuan
dan laki-laki tidak menjadi tolak ukur perihal kedudukan
perempuan dan laki-laki di ranah sosial. Perbedaan kedudukan
yang ada selama ini adalah berasal dari konstruksi sosial yang
sudah mengakar di masyarakat. Penis sebagai tanda kelamin laki-
laki dan vagina sebagai tanda kelamin perempuan adalah organ
tubuh yang sama sekali tidak menentukan bagaimana laki-laki
dan perempuan seharusnya berperan dalam lingkup sosialnya.
Laki-laki dan perempuan dilahirkan setara, dan tidak ada yang
lebih unggul antara satu dengan yang lain hanya karena
perbedaan jenis kelamin.
Perempuan dalam Perspektif Psikoanalisis
Teori psikoanalis yang dicetuskan oleh Sigmun Freud juga
dianggap melanggengkan strereotipe gender, di mana
perempuan dipandang sebagai pihak inferior. Psikoanalisis
memusatkan pembahasannya pada psyche atau aspek internal
yang ada di tubuh perempuan dan laki-laki yang menempatkan
perkembangan masa kanak-kanak sebagai variabel utama yang
menentukan psyche dan seksualitas seorang individu. Dalam
teorinya, Freud menjelaskan bagaimana perempuan tertarik
pada ayah mereka pada masa kanak-kanak, dalam arti ingin ikut
“memiliki penis” atau yang dikenal dengan “penis envy”,
sedangkan ibu adalah figur saingan dalam mendapatkan penis
ayah, setelah sebelumnya perempuan menjaga jarak dengan
ibunya karena rasa penyesalannya dilahirkan sebagai
perempuan yang tidak memiliki penis. Anak-anak perempuan
sebelumnya selalu percaya bahwa kelak bila ia sudah dewasa,
klitorisnya akan bertumbuh menjadi penis. Namun, pada

Modul SKPP 2021 17


akhirnya menyadari dan menganggap bahwa penisnya telah
dikastrasi.
Pada anak laki-laki, karena mempunyai penis, mereka jadi
memiliki ketakutan akan kastrasi (kebiri). Ketakutannya pada
kastrasi justru mendorong anak laki-laki untuk tunduk patuh
pada Hukum Ayah, sehingga laki-laki belajar mengendalikan
hasrat terhadap ibunya dan bersabar menunggu giliran untuk
mendapatkan perempuannya sendiri. Oleh karena itulah,
ketakutan akan dikastrasi justru memungkinkan anak laki-laki
berkembang menjadi laki-laki dewasa yang matang. Menurut
Freud, hal ini menjadi bekal bagi laki-laki untuk masuk ke dalam
ranah sosial yang lebih luas untuk aktif berorganisasi, bahkan
berpolitik. Sedangkan perempuan, karena tidak pernah
mengalami ketakutan akan kastrasi, superegonya tidak pernah
berkembang dengan sempurna. Ia menjadi manusia yang lemah,
yang tidak pernah belajar patuh pada Hukum Ayah, dan akhirnya
tidak dapat berpartisipasi pada ranah publik. Wilayah
perempuan hanya domestik, di rumah, menjadi istri dan ibu.
Meski demikian, anak perempuan akan mengalami frustasi
akibat kecemburuannya terhadap penis (penis envy). Kelak saat
dewasa, kecemburuannya ini membuatnya menginginkan bayi
sebagai ganti penis. Lebi dari itu, peran perempuan sebagai ibu
dan pihak yang melahirkan, menurut Freud, dapat menggantikan
rasa kehilangan penis yang dialami perempuan. Pandangan-
pandangan Freud terhadap perkembangan psikis perempuan
cenderung negatif. Perempuan cenderung neurotik, histreris,
temperamental, rendah diri, dan lain sebagainya. Freud
memandang anak perempuan seperti anak laki-laki yang tidak
normal, aneh, yang tidak punya penis, karena penisnya telah
dipotong. Perkembangan psikis anak perempuan juga dianggap
sebagai deviasi dari perkembangan psikis anak laki-laki.

Modul SKPP 2021 18


Selain Freud, Erickson yang juga merupakan seorang
psikolog, memandang bahwa rahim dan vagina perempuan
merepresentasikan kedalaman. Oleh karena itu, perempuan
hanya berada dalam inner space (ruang domestik) dan tidak
berada dalam ruang publik. Sedangkan, laki-laki dipandang
sebagai pribadi yang aktif terkait dengan fungsi penis yang
bersifat aktif. Desain tubuh perempuan, vagina dan rahimnya,
diyakini Erikson sebagai penentu pembentukan identitas
perempuan. Dengan vagina dan rahim yang dimilikinya,
perempuan terikat bukan hanya secara biologis, melainkan juga
psikologis dan etis untuk secara pasif merawat anak dan
melayani suami. Pilihan peran kehidupan bagi perempuan
dibatasi hanya berdasar anatominya dan ketentuan yang
dianggap sebagai ‘takdir’. Pandangan-pandangan yang
dinyatakan oleh Freud dan Erickso tersebut ditentang oleh Adler
dan kelompoknya, yang kemudian menjadi awal kelahiran
feminisme-psikoanalisis. Menurutnya, Padahal, bahwa identitas
gender, perilaku gender, serta orientasi seksual merupakan hasil
dari nilai-nilai sosial dan lingkungan, bukan karena fakta biologis
yang berbeda.
Daulat Diri
Meminjam ungkapan Beauvoir, “One is not born, but rather
becomes, a woman”. Perempuan itu tidak dilahirkan, tetapi
dibentuk oleh struktur sosial dimana ia berada. Perempuan
dibentuk harus menjadi sosok yang lemah lembut, anggun,
sopan, bersifat keibuan, dan segala sifat semacamnya yang
dilekatkan padanya. Struktur sosial membentuk perempuan dan
punya andil besar terhadap inferioritas perempuan. Lalu
bagaimana apabila perempuan tidak seperti dengan yang
dikonstruksikan masyarakat?, maka yang dicitrakan padanya
adalah sosok perempuan yang negatif. Akibatnya, perempuan

Modul SKPP 2021 19


akan selalu berpikir, berbicara, dan menjalankan hidupnya
sebagai “perempuan”, bukan dalam artian perempuan yang
memiliki vagina (kelamin biologis), melainkan perempuan yang
dibentuk oleh struktur sosial (kelamin sosial).
Selain itu, budaya populer yang berkembang di masyarakat
juga erat mempengaruhi bagaimana perempuan harus bersikap
dan berpenampilan. Budaya populer menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari yang pengaruhnya hadir dalam segala
bidang, termasuk dalam hal mempengaruhi bagaimana
perempuan menjalani hidupnya. Namun, yang menjadi
permasalahan adalah pengaruh budaya populer terhadap
perempuan semakin menempatkan perempuan dalam posisi
yang tidak seimbang. Sebab itulah, feminisme memberikan kritik
terhadap budaya populer yang bisa dilacak mulai tahun 1950-an
dan sangat dipengaruhi oleh gerakan perempuan pada tahun
tersebut. Kritikus feminis mulai mempertanyakan tentang
mengapa dan bagaimana budaya populer dan media massa
berurusan dengan masalah perempuan dan representasi-
representasinya dengan cara yang tidak adil, tidak seimbang dan
eksploitatif dalam konteks ketidaksetaraan gender dan
penindasan terhadap perempuan.
Menurut Strinati, dalam bukunya An Introduction to Theories
of Popular Culture (1999), di dalam budaya popular perempuan
diposisikan secara symbolic annihilation of women, yakni secara
simbolis ditiadakan. Kaum perempuan dikesampingkan,
diremehkan, dan dimarjinalkan dalam bentuk stereotip yang
didasarkan pada daya tarik seksual maupun pekerjaan rumah
tangga. Hal ini dapat kita lihat di beberapa majalah, tayangan
televisi, dan media massa lainnya bagaimana penggambaran
“perempuan ideal” yang sebetulnya sudah dikonstruk
sedemikian rupa untuk tujuan komersil. Perempuan dengan

Modul SKPP 2021 20


tubuh tinggi, putih, rambut panjang, pipi merah merona, dan
segala standarisasi kecantikan lainnya membuat masyarakat
menganggap fisik perempuan adalah selayaknya seperti
gambaran yang mereka tampilkan.
Di samping itu, persoalan kecantikan juga telah mengalami
perkembangan dan aneka perubahan standar ukuran yang tak
dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang dianut masyarakat
tertentu. Dengan kata lain, standar kecantikan di seluruh dunia
ini tak mungkin dikatakan universal, karena kecantikan itu
dilahirkan pada suatu kelompok tertentu dan tumbuh
berkembang sejalan dengan keyakinan kelompok
masyarakatnya. Dengan demikian, makna kecantikan merupakan
hasil dari konstruksi sosial yang segala sesuatunya tidak ada
yang ditemukan secara serta merta, sehingga tidak berarti
sebagai sistem standar (kodrati) peran sosial perempuan.
Jika ditilik lebih dalam, secara umum anggapan masyarakat
terhadap keberadaan perempuan terbagi menjadi dua macam.
Pertama, perempuan sebagai objek pemuasan hasrat dan imaji
seksual laki-laki. Perempuan diposisiskan melalui gambar-
gambar (foto) perempuan, terutama dengan pose-pose
eksploitatif sebagai ilustrasi di media, baik rubrik-rubrik
jurnalistik maupun rubrik-rubrik komersial, seperti iklan. Kedua,
perempuan sebagai objek penekanan secara psikologis. Proses
penekanan ini dilakukan dengan menetapkan label-label tertentu
pada perempuan atau berusaha melanggengkan stereotipe-
stereotipe yang selama ini memang dilekatkan padanya oleh
konstruksi masyarakat. Bentuk penekanan psikologis membuat
perempuan berpotensi mengalami tekanan secara psikologis
dari diri sendiri berupa rasa tidak percaya diri (minder) dan
tidak berharga di tengah masyarakat.

Modul SKPP 2021 21


Fakta adanya proses labelling terhadap perempuan dalam
realitas sosial merupakan persoalan yang tak dapat ditampik,
dan ini menjadi salah satu faktor yang merugikan perempuan.
Dalam sebuah penelitian yang menelaah tentang studi kasus
majalah remaja Olga, diketahui bahwa praktek pelabelan
terhadap perempuan yang dilakukan oleh majalah remaja
ditujukan terhadap konsumen remaja perempuan. Komposisi
konten di dalamnya terdapat empat hal, yaitu tubuh seksi dan
wajah cantik, pentingnya penampilan bagi perempuan, kondisi
psikologis perempuan yang labil, dan peran domestik
perempuan. Label-label ini dapat membentuk persepsi
masyarakat tentang perempuan dan mengandung konsekuensi
pengharapan kepada perempuan. Artinya adalah kenyataan
bahwa perempuan sering menjadi objek pelabelan bukan
sekadar omong kosong belaka, namun label-label ini berasal dari
kehidupan sosial perempuan sekaligus yang kemudian
tmengkonstruksi kepribadian perempuan.
Untuk keluar dari kungkungan stigma yang selama ini
membatasi perempuan, perlu kesadaran dalam diri perempuan
bahwa dia harus memiliki “pemberdayaan diri”, yakni melalui
pemikiran dan tindakan yang lahir dari dirinya sendiri. Hal ini
akan menjadi jalan untuk membuat perempuan lebih dari
sekedar berdaya dan memberdayakan diri, bahkan setara
dengan laki-laki di tengah kehidupan masyarakat sekaligus
menciptakan perspektif baru bahwa perempuan bukanlah objek,
tetapi subjek dari dirinya sendiri.
Jika dahulu banyak orang yang meyakini bahwa perempuan
sudah lebih dari cukup memiliki kekuasaan di dapur, kasur, dan
sumur, maka realitas yang terjadi hari telah mengalami
perubahan yang lebih baik. ini. Perempuan bukan hanya mampu
dan berdaya untuk berada di ruang domestik belaka, namun

Modul SKPP 2021 22


perempuan telah membuktikan kedigdayaannya dan
berkontribusi di ruang publik dengan mengambil peran yang
beragam. Realitas ini berkesinambungan dengan fakta bahwa
semakin banyak perempuan yang sadar akan perannya, maka
saat itu juga nilai-nilai kemanusiaan sedang berjalan bersamaan.
Oleh sebab itu, menjadi perempuan biasa tidaklah cukup, karena
setiap manusia telah diberkati dengan kehendak bebas untuk
menentukan nasibnya sendiri, dan cara yang bisa dilakukan
untuk itu adalah dengan mengambil peluang dari setiap
kesempatan yang datang. Dengan demikian, mereka harus
mampu menjadi perempuan-perempuan luar biasa, dan itu
hanya bisa dilakukan ketika kita berdaya dan mampu
memberdayakan perempuan-perempuan lainnya.

Referensi :

Ada Serigala Betina dalam Setiap Tubuh Perempuan (Ester


Lianawati)
Marx dan Psikoanalisis (Marx dan Sigmun Freud)
Marx dan Freud, Marxisme dan Psikoanalisi (Reuben Osborn)

Modul SKPP 2021 23


WOMEN FOR HUMANITY

Refleksi Self Awareness


Dalam proses meneguhkan selfhood (kepribadian) hingga
self awareness (kesadaran diri), terdapat sebuah konsep yang
mendorong setiap perempuan dengan segenap kesadaran
potensi yang dimiliki harus mampu menggariskan nasibnya
sendiri. Beauvoir menyadari adanya situasi yang menghambat
ekspresi sosial perempuan, baik dari aspek hukum, politik,
ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Namun, dia tetap bersikeras
terhadap keyakinannya, bahwa sesungguhnya tidak ada satupun
pembatasan itu yang dapat secara total memenjarakan
perempuan. Dengan kata lain, beberapa situasi penghambat
terhadap hak ekpresi perempuan bukan berarti tidak dapat
dirubah sama sekali. Sebaliknya, dengan kekuatan kesadaran
yang diwujudkan dalam sebuah tindakan konkrit, situasi
tersebut dapat dirubah menuju situasi sosial yang menghargai
kesertaraan hak dan kewajiban, sehingga perempuan dapat
terbebas dari belenggu budaya patriarkhi.
Menurut Carol Ascher, untuk melepaskan diri dari atau
bertahan dalam menghadapi hambatan-hambatan yang ada
dengan tingkat berbeda-beda, manusia mesti bersikap untuk
mengambil suatu keputusan. Meski demikian, mungkin saja
terdapat suatu kondisi yang memaksa individu tidak mampu
menentukan keputusan positif. Kondisi tersebut memang
bukanlah hal yang dapat disikapi secara fatalistik (taken for
granted), namun secara sadar justru seorang individu haruslah
bertanggung jawab untuk menentukan sebuah keputusan. Jadi,
ketika Beauvoir meminta perempuan untuk mentransendensi
pembatas imanesi mereka, bukan berarti sedang meminta

Modul SKPP 2021 24


perempuan untuk menegasi dirinya, melainkan untuk
melepaskan semua beban yang menghambat kemajuan mereka
menuju selfhood yang otentik. Tentu saja, sebagian beban
tersebut terlalu besar untuk ditanggung oleh perempuan sebagai
individu, namun dibutuhkan pemberdayaan kolektif. Apa yang
berlaku di dalam kehidupan saat ini tidaklah bermakna apa yang
seharusnya terjadi, karena sesungguhnya tidak ada seorangpun
atau sesuatupun yang dapat menghambat perempuan yang
berketetapan hati untuk maju, tumbuh, dan berkembang.
Urgensi Perempuan Berserikat dan Bersatu
Dalam proses mewujudkan pembaharuan dari kondisi status
quo (ketidakadilan) terhadap perempuan, dibutuhkan berbagai
upaya yang harus ditempuh. Di antaranya adalah meliputi proses
penyadaran melalui alternatif pendidikan dan membuka ruang
seluas-luasnya bagi keterlibatan perempuan di seluruh sektor
(gender mainstreaming). Berbicara tentang pembaharuan
kondisi status quo, terlebih dahulu kita mesti memahami tentang
apa makna dari pembaharuan kesadaran diri perempuan. Hal ini
menyiratkan adanya proses kemerosotan yang melanda kaum
perempuan. Dan, jika memang benar demikian, adanya
kemerosotan tersebut bukanlah merupakan bentuk romantisasi
atau hal yang patut diglorifikasi. Oleh sebab itu, tugas kita yang
utama adalah menguraikannya secara kritis dan menghasilkan
konsepsi paradigmatik tentang apa yang menyebabkan
kemerosotan perempuan, serta bagaimana proses itu bisa
terjadi.
Dalam bukunya, The Liberation of Women, Qosim Amin
mengatakan, bahwa suatu bangsa tidak mungkin bisa
berkembang maju tanpa peran kontributif dari separuh
populasinya, yaitu dari kalangan perempuan. Artinya,
perempuan tidak bisa dikatakan sebagai makhluk kelas dua.

Modul SKPP 2021 25


Sebab, jika yang dimaksud “dua” adalah nominal, maka secara
kuantitas jumlah perempuan di dunia lebih banyak dibanding
laki-laki. Oleh karena itu, mustahil jika perubahan akan tercipta
tanpa keterlibatan perempuan. Hal ini perlu diyakini bersama
dan ditanamkan ke dalam benak setiap masing-masing dari kita,
bahwa keterlibatan perempuan di setiap ruang kehidupan
mutlak diperlukan dalam mewujudkan sebuah peradaban
bangsa, bahkan dunia.
Untuk menciptakan kondisi lingkungan yang responsif dan
ramah gender, diperlukan kesdaran dalam setiap individu untuk
bergerak bersama. Dalam proses keluar dari kondisi
ketidakadilan sosial, seorang perempuan harus mampu
berdaulat dan mampu menentukan kehendak dirinya sendiri.
Jika telah mampu mewujudkan kedulatan bagi diri sendiri, maka
pada perkembangan selanjutnya, perempuan harus
mempertegas diri untuk memikirkan gagasan-gagasan yang
dapat diakumulasikan dalam sebuah kesatuan gerakan,
sebagaimana pepatah yang berbunyi; Women’s Right are Human
Rights!. We’re stronger when we work together! (Hak perempuan
adalah hak asasi manusia. Kita lebih kuat ketika kita bekerja
bersama). Ketika semua orang bersatu dalam sebuah gerakan
yang solid untuk mendukung hak-hak perempuan, sehingga
tercipta kondisi sosial yang egaliter.
Konsolidasi Gerakan Gender Mainstreaming
Dalam perkembangannya, upaya-upaya yang dilakukan
untuk mewujudkan kondisi sosial yang berkeadilan gender,
sering kali dipersulit oleh berbagai hambatan yang ditimbulkan
akibat adanya perbedaan visi dan misi strategi gerakan dari
berbagai invidu maupun organisasi atau aliansi sosial. Padahal,
penyatuan strategi gerakan sosial menjadi sangat penting yang
kemudian akan memberikan gambaran kemana dan bagaimana

Modul SKPP 2021 26


kita akan melangkah mewujudkan visi bersama. Oleh karenanya,
untuk melawan kondisi budaya patriarkhi yang telah diciptakan
oleh taktik legal-formal jaringan oligarki, dibutuhkan gagasan
gender mainstreaming yang diimplementasikan melalui gerakan
alternatif yang didukung oleh seluruh elemen gerakan rakyat
serta masyarakat secara umum dalam membangun iklim yang
ramah gender.
Terwujudnya iklim responsif yang ramah dan berkeadilan
gender akan memberikan harapan bagi seluruh elemen dalam
melakukan perubahan di segala bidang sosial lainnya, termasuk
kebebasan berserikat dan berkumpul serta berpolitik.
Kebebasan tersebut akan disambut baik oleh berbagai kalangan
untuk menciptakan berbagai gerakan gender mainstraiming
melalui leading sector.
Pengarusutmaan Gender dalam Lingkup Pendidikan
Berdasarkan data statistik, baik yang bersumber dari BPS
(Badan Pusat Statistik) maupun Depdiknas (Departemen
Pendidikan Nasional), ditemukan adanya beberapa kesenjangan
gender. Pertama, presentase penduduk perempuan yang melek
huruf terus meningkat. Meksi demikian, perempuan masih
tertinggal dari penduduk laki-laki. Pada tahun 1980, tingkat
kesadaran literasi (melek huruf) perempuan hanya 63%,
sedangkan laki-laki mencapai angka 80%. (SP, 1980). Sementara
pada tahun 1990, jumlah perempuan yang melek huruf
meningkat menjadi 79%, sedangkan laki-laki sudah mencapai
90%. (SP,1990). Penduduk perempuan yang melek huruf terus
meningkat mencapai 85,54%, tetapi masih tetap tertinggal cukup
signifikan dari penduduk laki-laki sebanyak 93,4%.
Kedua, muatan buku-buku pelajaran yang membahas status
dan fungsi perempuan dalam kehidupan sosial memberikan
banyak pengaruh terhadap kesenjangan gender dalam proses

Modul SKPP 2021 27


pendidikan. Muatan sebagian buku-buku pelajaran, seperti IPS,
PPKN, pendidikan jasmani, bahasa dan sastra Indonesia, serta
kesenian, cenderung belum benar-benar memuat wawasan
keadilan gender. Hal ini disebabkan di antaranya adalah adanya
dominasi pihak laki-laki sebagai aktor pemangku kebijakan
maupunn pengembang kurikulum dan penulis buku-buku
pelajaran. Padahal, muatan kurikulum di lingkungan pendidikan
sangat erta kaitannya dengan konstruksi sosial, khususnya
dalam peran sosial berbasis gender.
Ketiga, berdasarkan data Depdiknas (1998), laki-Iaki lebih
dominan dalam memilih jurusan atau program studi yang
mempelajari kejuruan atau keahlian pada bidang-bidang
kejuruan pertanian dan kehutanan (72,05%), teknologi dan
industri (97,56%). Sementara itu, perempuan lebih banyak
mempelajari kejuruan bidang ketatausahaan (76,52%),
pekerjaan sosial (49,3%), kerajinan (60%), serta teknologi
kerumahtanggaan (98,%). Kemudian, berdasarkan statistik PT
(1998), perempuan lebih dominan pada jurusan-jurusan
keahlian yang dianggap sesuai dengan peran jenisnya, seperti
keahlian terapan bidang manajemen (57,7%), pelayanan jasa
dan transportasi (64,2%), bahasa dan sastra (58,6%), serta
psikologi (59,9%). Sementara laki-laki lebih dominan dalam
jurusan-jurusan teknologi dan ilmu-ilmu dasar (bassic sciences),
seperti fisika, biologi, kimia, dan sejenisnya. Secara umum,
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan
gender; dapat dikelompokan ke dalam empat faktor mendasar,
yaitu faktor akses, faktor partisipasi, faktor kontrol, dan faktor
manfaat.
Pengarusutamaan gender di lingkungan pendidikan,
khususnya di perguruan tinggi, dianggap penting karena akan
menghasilkan korelasi positif dan signifikan antara tingkat

Modul SKPP 2021 28


ekonomi (pengeluaran perkapita) dengan tingkat kesehatan dan
tingkat pengetahuan (melek aksara), serta meningkatnya
pendidikan bagi perempuan dengan tercapainya sasaran
pembangunan kesehatan. Strategi pendidikan yang responsif
gender bisa dimulai melalui dekonstruksi (penyadaran),
rekonstruksi (consciousness raising), hingga sosialisasi berupa
penanaman ideologi gender yang setara bagi perempuan, laki-
laki dalam lingkup kehidupan sosial.
Selain itu, untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang
ramah gender, diperlukan kebijakan-kebijakan yang berorientasi
keadilan gender, seperti kesamaan akses perempuan dan laki-
laki untuk diterima sebagai siswa, mahasiswa, guru, dosen, dan
para tenaga pendidik lainnya, kesamaan perlakuan dalam proses
pendidikan atau pengajaran administrasi dan pengembangan
karir, dan pemantapan dan penguatan kelembagaan studi
gender. Kebijakan-kebijakan di lingkungan pendidikan yang
berkesadaran gender merupakan cara strategis untuk
menciptakan masyarakat yang berkeadilan, yakni adanya
kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan.
Referensi:

Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought. 1998.

Mahatma Gandhi. Perempuan dan Ketidakadilan Sosial. 2002.

Saskia E Wieringa. Penghancuran Gerakan Perempuan di


Indonesia. 1999.

Shalah Qazan. Membangun Gerakan menuju Pembebesan


Perempuan. 2001.

Dina Hermina. Pengarusutamaan Gender dalam Sektor


Pendidikan. 2014.

Modul SKPP 2021 29

You might also like