You are on page 1of 20

MAKALAH

PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam

Dosen pengampu : DR. Suidat

Disusun Oleh:

Aidatus Sholichah

Fina Fauziah

Istiqomah

Shofi Rodhiyatan Mardiyah

KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU DA’WAH MOHAMMAD NATSIR

JAKARTA

1444 H/2023 M
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT tuhan semesta alam atas segala rahmat yang telah Allah
berikan kepada kita semua berkat rahmat serta karunia-Nyalah sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini yang mencangkup "PEREMPUAN DAN KESETARAAN
GENDER"

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada ustadz DR. Suidat selaku dosen
pengampu mata kuliah Metodologi Studi Islam. Berkat tugas yang diberikan ini dapat menambah
wawasan kami sebagai pemakalah dan berkaitan dengan topik yang diberikan. Pemakalah juga
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang dengan suka rela
membaca makalah ini.

Kami mengharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai pedoman kepada kita semua
agar dapat berkomunikasi dengan baik terhadap khalayak. Kami sebagai pemakalah menyadari
bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak kesalahan. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca khususnya pada Dosen Bidang Studi
ini. Demi kesempurnaan dalam membuat makalah (karya tulis) pada waktu mendatang. Untuk itu
kami selaku penulis mengucapkan terima kasih.

Jakarta, 10 Juli 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................................................2
1.3. Tujuan Masalah...........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
2.1. Pengertian Perempuan Dalam Islam............................................................................................3
2.2. Pengertian Gender.......................................................................................................................4
2.3. Sejarah Kesetaraan Gender..........................................................................................................4
2.4. Kesetaraan Gender Di Indonesia..................................................................................................7
2.5. Surat An-Nisa dan Kesetaraan Gender.......................................................................................10
2.6. Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Islam...............................................................................11
BAB III PENUTUP........................................................................................................................................16
3.1. Kesimpulan................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Isu-isu tentang perempuan, sekarang ini, banyak mengisi wacana di


tengah-tengah masyarakat kita, di samping wacana-wacana politik dan ekonomi.
Isu perempuan ini menjadi semakin menarik ketika kesadaran akan ketidakadilan
di antara kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) – yang sering disebut
ketidakadilan gender - ini semakin tinggi di kalangan masyarakat kita. Perempuan
yang sekarang ini jumlahnya lebih besar dibanding laki-laki belum banyak
mengisi dan menempati sektor-sektor publik yang ikut berpengaruh di dalam
menentukan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan penting. Kalaupun
perempuan memasuki sektor publik, posisinya selalu berada di bawah laki-laki,
terutama dalam bidang politik. Kenyataan seperti ini tidak hanya terjadi di negara-
negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara maju
seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat. Berbagai upaya ditempuh untuk
mengangkat derajat dan posisi perempuan agar setara dengan laki-laki melalui
berbagai institusi, baik yang formal maupun yang nonformal. Tujuan akhir yang
ingin dicapai adalah terwujudnya keadilan gender (keadilan sosial) di tengah-
tengah masyarakat. Di antara strategi yang ditempuh untuk mewujudkan keadilan
tersebut adalah melibatkan perempuan dalam pembangunan. Strategi ini menjadi
dominan di tahun 70-an. Setelah PBB menetapkan decade pertama pembangunan
kaum perempuan, sejak saat itulah hampir semua pemerintahan dunia ketiga
mulai mengembangkan kementrian peranan wanita (urusan perempuan) dengan
tujuan utamanya adalah peningkatan peran wanita dalam pembangunan.
Pemberian kesempatan yang sama terhadap perempuan untuk melakukan aktivitas
di berbagai bidang sebagaimana laki-laki ternyata tidak menjamin untuk
terealisasikannya keadilan gender. Penyebab utamanya adalah rendahnya kualitas,
sumber daya kaum perempuan yang mengakibatkan ketidakmampuan mereka
bersaing dengan kaum lelaki dalam pembangunan, sehingga posisi penting dalam
pemerintahan maupun dunia usaha didominasi oleh kaum lelaki. Perbedaan

1
gender sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan gender. Masalah itu akan muncul ketika perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama bagi kaum perempuan. Untuk
memahami bagaimana keadilan gender menyebabkan ketidakadilan gender perlu
dilihat manifestasi ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, seperti marginalisasi
atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam
keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif,
kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih lama (burden), serta
sosialisasi ideologi nilai peran gender. Lalu bagaimana kita menyikapi kondisi
seperti itu? Tentu saja, kita ingin mengupayakan terwujudnya keadilan atau
kesetaraan gender. Sebelum kita melakukan hal itu, kita perlu tahu terlebih dahulu
bagaimana kesetaraan gender ini di tengah-tengah masyarakat kita di Indonesia.
Lebih khusus lagi kita perlu juga tahu bagaimana kesetaraan gender menurut
Islam dan juga dalam bidang pendidikan? Permasalahan inilah yang akan dikaji
dalam tulisan singkat ini. Namun, sebelum itu akan dijelaskan terlebih dahulu
konsep gender secara singkat.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian perempuan menurut Islam?
2. Apa pengertian kesetaraan gender?
3. Bagaimana sejarah kesetaraan gender dapat terjadi?
4. Bagaimana pandangan Islam terhadap kesetaraan gender?
1.3. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa itu kesetaraan gender
2. Untuk mengetahui bagaimana perempuan menurut Islam
3. Untuk mengetahui sejarah kesetaraan gender
4. Untuk mengetahui bagaimana pandangan islam terhadap kesetaraan gender

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Perempuan Dalam Islam

Dalam sejarah berbagai peradaban masa dahulu, selain peradaban Mesir, wanita tidak
mendapatkan tempat layak dan mulia. Pada masa peradaban Romawi, Yunani, dan Hukum
Hamurabi, India, Yahudi, dan Kristen, wanita sangat dihina dan dilaknat karena telah
menjerumuskan Adam. Wanita di pandang kotor, bahkan terkadang disamakan oleh hewan
peliharaan.

Adapun masa Arab jahiliyah, wanita menjadi kezhaliman sosial. Mereka tidak memiliki hak
dalam bagian warisan, ia tidak memilki hak apapun atas suaminya, bahkan diwariskan secara
paksa. Namun pada permulaan Islam datang, wanita menjadi simbol kebanggaan dan kemuliaan,
sebagai upaya pengukuhan akan pengetahuan dan kemajuan serta membangun peradaban
manusia yang dicetuskan dalam komunitas Islam.

Sesuatu hal yang paling sakral yang pernah diberikan oleh Islam kepada wanita adalah
bahwasannya Islam menjadi kehormatan dan nilai kemanusiaan wanita serta menjelaskan akan
kemandirian dirinya. Memberinya kebebasan yang tinggi dalam berbuat dan memilki serta
mengungkapkan pendapat, menjadikan dirinya bertanggung jawab penuh atas segala
perbuatannya sebagaimana laki-laki. Islam menjadikan wanita sama persis dengan laki-laki
dalam segi kemanusiaan, "Hai sekalian manusia, betakwalah kepada tuhan-Mu yang telah
menciptakan kamu dari yang satu". (An-Nisa':1)

Dalam Islam wanita adalah bebas sebagaimana laki-laki dalam mendapatkan dan melaksanakan
hak dan kewajibannya. Wanita terkadang melebihi laki-laki dalam hal pekerjaan, keilmuan,
kemampuan, akal dan bahkan dalam hal berijtihad dan memberikan fatwa mengenai hukum-
hukum syara'. Akan tetapi kebebasan wanita adalah terbatas, sesuai dengan kemapuan alamiah
dan karakter manusia serta kepentingannya dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Cara pandang Islam terhadap wanita adalah cara pandang yang penuh perhatian, penuh
penjagaan dan melindungi kemaslahatan serta menjaga masa depannya dari segala kehancuran
dan keterbengkalaian.

3
2.2. Pengertian Gender

Istilah ‘gender’ sudah tidak asing lagi di telinga kita, tetapi masih banyak di antara kita yang
belum memahami dengan benar istilah tersebut. Gender sering diidentikkan dengan jenis
kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami
sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian.
Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (Echols
dan Shadily, 1983: 265). Dalam Webster’s New World Dictionary, Edisi 1984 ‘gender’ diartikan
sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku’. Sementara itu dalam Concise Oxford Dictionary of Current English Edisi 1990,
kata ‘gender’ diartikan sebagai ‘penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata
lain yang berkaitan 3 dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis kelamin
serta ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan)’. Secara terminologis, ‘gender’ oleh Hilary M.
Lips didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. H.T.
Wilson mengartikan ‘gender’ sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-
laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka
menjadi laki-laki dan perempuan. Sementara itu, Elaine Showalter mengartikan ‘gender’ lebih
dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia lebih
menekankan gender sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu
(Nasaruddin Umar, 1999: 33-34). Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender
adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk
rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.

4
2.3. Sejarah Kesetaraan Gender
Untuk mengetahui bagaimana feminisme lahir dan berkembang kita harus melihat kondisi
Barat (dalam hal ini Eropa) pada abad pertengahan, yaitu masa ketika suara-suara femenisme
mulai terdengar. Pada abad pertengahan, gereja berperan sebagai sentral kekuatan dan Paus
sebagai pemimipin gereja, menempatkan dirinya sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Sampai
abad ke-17, gereja masih tetap mempertahankan posisi hegemoninya sehingga beberapa hal yang
dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi gereja dianggap sebagai hersey dan dihadapkan
Mahkamah Inkuisisi1. Nasib perempuan Barat tidak luput dari kekejian doktrin-doktrin gereja
yang ekstrem dan tidak sesuai dengan kodrat manusia.

Menurut Mackay, decade 1560 dan 1648 merupakan penurunan status perempuan di masyarakat
Eropa. Reformasi yang dilakukan para pembaharu gereja tidak banyak membantu nasib
perempuan studi-studi spiritual kemudian dilakukan untuk memperbaharui konsep Saint Paul's
tentang perempuan, yaitu perempuan yang dianggap sebagai sumber dosa dan merupakan
makhluk kelas dua dunia. Walaupun beberapa pendapat pribadi dan hukum publik yang
berhubungan dengan status perempuan di Barat cukup bervariasi, terdapat bukti-bukti kuat yang
mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai makhluk inferior. Sebagaian besar
perempuan diperlakukan sebagai anak kecil-dewasa yang bisa digoda arau dianggap tidak
rasional. Bahkan, pada tahun1595, seorang professor dari Wittenbreg University melakukan
perdebatan serius mengenai apakah perempuan manusia atau bukan. Pelacuran merebak dan
dilegalkan oleh Negara. Di abad pertengahan, perempuan menikah juga tidak memiliki hak untuk
bercerai dari suaminya dengan alas an apapun.2

Maududi berpendapat, ada dua doktrin dasar gereja yang membuat kedudukan perempuan di
Barat abad pertengahan tidak ubahnya seperti binatang. Pertama, gereja menganggap perempuan
sebagai ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat. Perempuanlah yang menjerumuskan laki-laki
ke dalam dosa dan kejahatan serta menuntunnya ke neraka. Tertullian (150 M) sebagai bapak
gereja pertama menyatakan doktrin Kristen tentang perempuan sebagai berikut.

1
Adian Husaini, Tinjaun Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm.158-159.
2
John P. McKay, Bennet D. Hill N John Buckler, A History of Western Society, Second Edition, (Boston: Hougton
Mifflin Company, 1983), hlm. 437-541

5
"Perempuan membukakan pintu bagi masuknya godaan setan, membimbing kaum laki-
laki ke pohon terlarang untuk melanggar hukum tuhan, dan membuat laki-laki menjadi jahat
serta menjadi bayangan tuhan".

St. John Chrysostem (345-407 M) seorang bapak gereja bangsa yunani berkata,

"perempuan adalah setan yang tidak bisa dihindari, suatu kejahatan, dan bencana yang
abadi dan menarik, sebuah risiko rumah tangga dan beruntungan yang cantik".3

Akan tetapi, konsep utuh tentang perempuan dalam doktrin Kristen dimulai dengan ditulis buku
Summa Theologia oleh Thomas Aquinas antara tahun 1266 dan 1272. Dalam tulisannya Aquinas
sepakat dengan Aritoteles bahwa perempuan adalah laki-laki yang cacat atau memliki
kekurangan (defect male). Menurut Aquinas, bagi para filsuf perempuan adalah laki-laki yang
diharamkan, dia diciptakan dari laki-laki dan bukan dari binatang. Sementara itu, Immanuel Kant
berpendapat bahwa perempuan mempunyai perasaan yang kuat tentang kecantikan, keanggunan,
dan sebagainya, tetapi kurang dalam aspek kognitif dan tidak dapat memutuskan tindakan
moral.4

Doktrin gereja lainnya yang menentang kodrat manusia dan memberatkan kaum perempuan
adalah menganggap hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan adalah pristiwa kotor
walaupun mereka sudah dalam ikatan pernikahan sah. Hal ini berimplikasi bahwa menghindari
pernikahan adalah symbol kesucian dan kermunian serta ketinggian moral. Jika seorang laki-laki
menginginkan hidup dalam lingkungan agama yang bersih dan murni, laki-laki tersebut tidak
diperbolehkan menikah atau mereka harus berpisah dari istrinya, mengasingkan diri dan
berpantang melakukan hubungan badan.5 Kehidupan keras yang dialami perempuan-perempuan
pada saat gereja memerintah Eropa tertuang dalam esai Francis Bacon yang berjudul Marrige
and Single Life (kehidupan pernikahan dan kehidupan sendiri) pada tahun 1612.

"Pada awal mula abad pencerahan, yaitu abad ke-17, saat Bacon menuliskan esainya,
kondisi perempuan Inggris pada saat itu mengalami kehidupan yang sulit dan keras. Hal ini dapat
dilihat dari kehidupan Ratu Elizabeth. Saat itu yang bertindak sebagai penguasa adalah Raja Jaes
I dan ternyata ia sangat membenci perempuan. Pembunuhan dan pembakaran terhadap
3
Abul A’la Maududi, Al-Hijab, (Bandung: Gema Risalah Press, 1995), hlm. 23.
4
Gadis Arivia, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berpresfektif Feminis, Disertasi (Depok:
Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2002), hlm. 95.
5
Maududi, op.cit; hlm. 23-24

6
perempuan-perempuan yang dituduh sebagai nenek sihir, yang dipelopori oleh para pendeta,
pada dasarnya merupakan ekspresi anti perempuan. Hukum brutal dijatuhkan kepada seorang
perempuan yang melanggar perintah suaminya. Tradisi ini mengembangkan pemikiran bahwa
perempuan menyimpan bibit-bibit keburukan sehingga harus terus-menerus diawasi dan
diterbitkan oleh anggota keluarganya yang laki-laki atau suaminya apabila ia sudah menikah.
Pemikiran ini membawa konsekuensi bagi pemikiran lainnya seperti ide bahwa baik seorang
laki-laki tinggal sendiri, tidak menikah, dan jauh dari perempuan. Hidup tanpa menikah ini
merupakan kehidupan ideal laki-laki, jauh dari pengaruh buruk dan beban anak-anak sehingga
laki-laki bisa berkonsentrasi pada dunia publiknya. Pemikiran-pemikiran seperti ini tercermin
dari karya Francis Bacon."6

Jelaslah, penindasan terhadap perempuan Barat di bawah pemerintahan gereja membuat suara-
suara perempuan yang menginginkan kebebasan makin menggema dimana-mana. Perempuan
Barat menjadi makhluk lemah dan tidak berdaya dilihat dari hampir seluruh aspek kehidupan.
Hal itulah yang kemudian mendorong para perempuan Barat bergerak untuk mendapatkan hak
kembali individu dan hak sipil mereka yang terampas selama bertahun-tahun.

Latar berlakang perempuan Barat yang kelam akhirnya memunculkan gerakan-gerakan


perempuan yang menuntut hak dan kesetaraan dengan kaum laki-laki. Gerakan memunculkan
sejumlah tokoh perempuan, sebut saja Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Staton, yang
memilki surat kabar sendiri, yaitu The Revolution. Melalui surat kabar ini, perempuan-
perempuan itu menuliskan pemikiran yang mempersoalkan masalah percerain, prostiusi, dan
peran gereja menyubordinasi perempuan.7

2.4. Kesetaraan Gender Di Indonesia

Jauh sebelum Indonesia meratifikasi Conventin on The Elimantionof All Forms Discrimination
Women (CEDAW) melalui undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang ratifikasi CEDAW dan
sebelum CEDAW diratifikasi PBB pada tahun 1979, Indonesia sudah mengenal tuntutan
persamaan hak pada gerakan perempuan. Istilah kesetaraan gender belum dikenal saat itu. Kini,

6
Ibid; hlm. 52.
7
Gadis Arivia, hlm. 20.

7
istilah kesetaraan gender sudah menggusur istilah emansipasi perempuan yang sempat poluer
selama berpuluhan tahun. Bahkan, tuntutan pun semakin berkembang, bukan hanya
pemberdayaan perempuan, tetapi penyamaan peran dengan dalih peran laki-laki dan peran
perempuan dibentuk oleh budaya, bukan secara fitrah.

Pergerakan perempuan Indonesia, baik pada sebelum maupun setelah Indonesia merdeka,
berdasarkan motivasinya terbagi menjadi dua tipologi, yaitu pertama, pergerakan perempuan
yang didasari kecintaan pada agama. Pergerakan perempuan seperti ini biasanya
memperjuangkan hak perempuan, tetapi sesuai dengan kaidah-kaidah agama. Pergerakan
perempuan seperti ini diwakili Aisiyah, Wanudidjo Utomo (Sarekat Islam bagian perempuan),
Jong-Islamieten-Bond Dames_afdeling (JIBDA-JIB bagian perempuan). Kedua adalah
pergerakan perempuan yang didasari kecintaan pada feminisme. Pergerakan perempuan seperti
ini biasanya memperjuangkan hak perempuan agar bisa setara tidak hanya dalam bidang
pendidikan, tetapi juga perkawinan dan pekerjaan. Pergerakan perempuan ini diwakili oleh istri
Sedar (IS).

Adapun Mr. A.K Pringgodigo membagi pergerakan perempuan di Indonesia menjadi tiga
gelombang, gelombang pertama tahun1908-1920, gelombang kedua tahun 1920-1930, dan
gelombang ketiga tahun 1930-1942. Menurutnya pada gelombang pertama, pergerakan
perempuan hanya berjuang untuk mempertinggi kedudukan social. Persoalan politik, seperti hak
pemilihan, tidak menjadi perundingan sama sekali.

Tokoh pergerakan yang menjadi ikon pada gelombang pertama adalah R.A Kartini. Ia sangat
menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Dalam suratnya kepa Prof. dan Nyonya
F.K Anton di Jena, tertanggal 4 Oktober 1904, kartini menulis,

"apabila kami dengan sangat meminta pendidikan dan pengajaran bagi gadis-gadis
bukanlah sekali-kali kami hendak menjadikan anak-anak perempuan saingan orang laki-laki
dalam perjuangan hidup ini, melainkan karena kai hendak menjadikan perempuan lebih cakap
melakukan kewajibannya, yaitu kewajiban yang diserahkan oleh alam sendiri ke dalam
tangannya: menjadi ibu-pendidik manusia yang pertama. Ibulah yang menjadi pusat kehidupan
rumah tangga dan kepada ibulah terletak kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu, yaitu
bagian pendidikan yang membentuk budi pekertinya… untuk keperluan keluarga yang lebih

8
besar, yang dinamakan masyarakat, di mana ia kelak akan menjadi anggotanya. Itulah sebabnya
kami minta pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak gadis."

Kemudian tahun 1920-1930, pada gelombang kedua, nasib perempuan Indonesia mengalami
banyak perubahan dari tahun sebelumnya,. Ini ditandai dengan berkurangnya kawin paksa, anak-
anak perempuan diperbolehkan bersekolah dan lainnya. Pada gelombang ini pula, Kongres
Perempuan Indonesia pertama diadakan di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928,
diselenggarakan bersama oleh wakil-wakil ketiga jenis perkumpulan-perkumpulan tersebut,
seperti Wanito Utomo, putri Indonesia, Wanito Katolik, Wanito Mulya, Aisiyah, Serekat Islam
(SI) bagian perempuan, dan dari kalangan pemuda ada JIB dan Jong Java (JI) bagian perempuan
dan perempuan Taman Siswa. Tujuannya ialah mempersatukan cita-cita dan usaha untuk
memajukan perempuan Indonesia.

Gerakan perempuan Indonesia yang pertama kali memperkenalkan ide kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan adalah istri Sedar (IS). Gerakan ini muncul pada awal gelombang ketiga dan
menjadi ikon pada masanya. Pada gelombang ini pula terjadi friksi antara gerakan perempuan
Islam dengan feminis. Pendiri dan pemimpinnya bernama Nona Suwarno Djojoseputra. Istri
Sedar didirikan 22 Maret 1930 di Bandung. Istri Sedar inilah yang nantinya menjadi cikal bakal
Gerwis atau gerakan Wanita Sedar yang telah Sembilan tahun Indonesia merdeka diubah
menjadi Grawani atau gerakan wanita Indonesia.

Istri Sedar merupakan organisasi yang dianggap paling radikal saat itu. Banyak organisasi
perempuan Islam yang tidak senang dengan garis perjuangan Istri Sedar. Istri Sedar berusaha
agar anggotanya sadar akan cita-citanya sebagai perempuan dan mengupayakan agar mereka
lebih matang untuk berjuang di lapangan politik bersama kaum laki-laki. Mereka sangat senang
jika anggotanya masuk dalam partai politik.

Penamaan nama IS menjadi Gerwis, tidak mengubah ideology yang mereka miliki. Hikmah
Diniah mencatat, meskipun Gerwis yang mengatakan bahwa organisasinya merupakan organisasi
yang tidak berpihak pada kepentingan salah satu agama, komunis, dan organisasi yang non
politik sehingga tidak memilki kaitan dengan partai politik manapun, di sini terlihat jelas
pengaruh PKI sangat mendalam kuat dalam tubuh Gerwis. Oleh karena itu, pengaruh komunis
dan corak feminis sosialisis pada tubuh IS, Gerwis atau Gerwani, begitu melekat.

9
Tidak hanya itu, Women's International Democratic Federation (WIDF), yang menyokong
perjuangan pemerintah Republik Indonesia dengan mengadakan satu protes tentang pengiriman
pasukan-pasukan Belanda ke Indonesia, juga berhaluan komunis. Kongres Wanita Indonesia
(KOWANI) yang menjadi anggota WIDF tidak mengetahui bahwa federasi itu ternyata
berhaluan demikian. Hal ini yang akhirnya menyebabkan Muslimat, GPII, dan Aisiyah keluar
sebagai anggota KOWANI karena tidak menyetujui hubungan KOWANI dengan WIDF.

Masih pada gelombang yang sama, gerakan perempuan mengadakan kongres di Bandung pada
tahun 1938 dan memutuskan agar tanggal 22 Desember dijadikan sebagai hari Ibu dengan
semboyan "Merdeka Melaksanakan Dharma". Dengan demikian, cita-cita Ibu keluarga, Ibu
masyarakat, dan Ibu bangsa mulai dihayati oleh kaum perempuan.

Soekarno, dalam buku Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia,
menekankan bahwa femenisme atau neofeminisme tidak mampu menutup schuer (retak) yang
meretakkan perikehidupan dan jiwa kaum perempuan, sejak kaum perempuan terpaksa mencari
nafkah di perusahaan-perusahaan sebagai buruh. Kata Bung Karno, "Schuer antara perempuan
sebagai ibu juga istri dan perempuan sebagai pekerja di masyarakat. Jiwa perempuan dahaga
kepada kebahagiaan sebagai ibu dan istri, tetapi peri kehidupan sebagai buruh tidak memberi
waktu cukup kepadanya untuk bertindak sempurna sebagai ibu dan istri."

2.5. Surat An-Nisa dan Kesetaraan Gender

Al-Qur'an di dalam banyak ayatnya telah berbicara tentang relasi gender, hubungan antara laki-
laki dan perempuan, hak-hak mereka dalam konsep yang rapi, indah dan bersifat adil. Al-Qur'an
yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya isi dan tema-temanya tidaklah terlalu jauh
dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyarakat pada waktu itu. Seperti apa yang
terkandung di dalam surat An-Nisa', yaitu memandang wanita sebagai makhluk yang mulia dan
terhormat, padahal dahulu, didalam masyarakat Arab jahiliyah mereka sangat terhina dan tidak
dihargai sama sekali. Sebelum turun surat An-Nisa' ini, telah turundua surat yang sama-sama
membicarakan wanita, yaitu surat Al-mumtahanah dan surat Al-Ahzab. Namun pembahasannya
di dalam kedua surat tersebut belum final, hingga diturunkan surat An-Nisa' ini. Oleh karenanya,

10
surat ini disebut dengan surat An-Nisa al-kubra, sedang surat lain yang membicarakan wanita
juga, seperti surat al-thalak, disebut surat an-Nisa as-sughra.

Surat an-Nisa' ini benar-benar memperhatikan kaum lemah, yang diwakili oleh anak-anak yaitu
orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum wanita. Maka, ayat pertama surat an-Nisa kita
dapatkan bahwa Allah menyamakan kedudukan laki-laki dan wanita sebagai haba dan makhluk
Allah, yang masing-masing dari mereka jika beramal shaleh, pasti akan mendapatkan pahala
sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang satu (nafsun wahidah), yang
mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah pengawasan
Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya (ittaqu rabbakum).

Kesetaraan yang telah diakui oleh Al-Qur'an tersebut, bukan berarti mengharuskan kesamaan
antara laki-laki dan wanita dalam segala bidang. Untuk menjaga keseimbangan alam (sunnatu at-
tadafu'), harus ada sesuatu yang berbeda di alam ini, masing-masing mempunyai fungsi dan
tugas tersendiri. Kalau semua sama, dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur.

Oleh karenanya, merupakan hikmah dan karunia dari Allah, dia menciptakan dua pasang
manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja,
akan tetapi juga pada emosional dan komposisi hormon dalam tubuh. Perbedaan ini
mengakibatkan perbedaan dalam tugas, kewajiban dn hak. Memang seharusnya begitu, dan hal
seperti ini sangatlah wajar dan logis. Perbedaan laki-laki dan wanita ini bukan bertujuan untuk
merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan Femenis dan Ilmuwan Marxis. Tetapi
lebih kepada bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagaimana anggota tubuh
manusia yang berbeda-beda bentuk dan fungsinya tapi meenuju kepada persatuan dan saling
melengkapi. Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang bijak dan tidak masuk akal, kalau ada
beberapa kelompok masyarakat yang berusaha mengusung kesetaraan antara dua jenis manusia
ini dala semua bidang.

Al-Qur'an telah meletakan batas yang jelas dan tegas dalam masalah ini, salah satunya adalah
ayat-ayat yang terdapat di dalam surat an-Nisa'. Terutama yang menyinggung konsep pernikahan
poligami, hak waris dan kepemimpinan dalam masyarakat dan keluarga.

11
2.6. Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Islam
Kesetaraan Gender Perspektif Islam Secara umum perempuan selalu dimunculkan sebagai
sosok yang bermasalah ketika dikaitkan dengan organ-organ tubuhnya. Sudah berabad-abad
lamanya pandangan ini mewarnai hampir seluruh budaya manusia dan kemudian mendapatkan
legitimasi dari agama-agama besar dunia, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, atau mungkin juga
agama-agama lainnya. Ada baiknya di sini dipaparkan sekilas pandanagan historis mengenai
posisi perempuan. Sebelum Islam datang, posisi perempuan berada pada strata sosial yang tidak
imbang dibandingkan dengan strata sosial laki-laki. Selama berabad-abad kaum perempuan terus
menerus berada di bawah dominasi kaum laki-laki. Nasib perempuan begitu sengsara dan
memprihatinkan. Perempuan dijadikan boneka-boneka istana untuk memuaskan nafsu para raja
atau penguasa, bahkan perempuan juga dijadikan seperti barang yang dapat diperjualbelikan.
Dalam kehidupan rumah tangga, kedudukan perempuan sepenuhnya berada pada kekuasaan
suaminya. Perempuan tidak memiliki hak-hak yang semestinya. Kondisi perempuan seperti ini
hampir terjadi di semua bangsa terkenal di dunia pada waktu itu, seperti bangsa Yunani,
Romawi, Cina, India, Persia, dan lain sebagainya (al-Barik, 1997: 5-8 dan N.M. Shaikh, 1991: 2-
5). Di kalangan bangsa Arab sendiri – sebelum Islam datang – kondisi perempuan sangat
memprihatinkan. Al-Kurdi menggambarkan kondisi perempuan pada masa Jahiliah dengan
panjang lebar seperti berikut: (1) perempuan terhalang dari hak mewarisi; (2) suami berhak
menceraikan istrinya seenaknya dan dapat merujuknya kembali kapan pun dia mau, tetapi
sebaliknya si istri sama sekali pasif dalam masalah ini; (3) tidak ada batasan dalam masalah
jumlah isteri; (4) istri merupakan bagian dari harta peninggalan suami; (5) menanam hidup-hidup
anak perempuan suadah menjadi tradisi yang berkembang di masyarakat Arab Jahiliah; (6)
dalam rangka memperoleh anak yang baik bangsa Arab Jahiliah menghalalkan perkawinan
istibda’ (maksudnya seorang suami mengizinkan isterinya yang telah bersih kandungannya
kepada salah seorang pemimpin kabilah yang terkenal keberaniannya, kekuatannya,
kemuliaannya, dan akhlaknya supaya isterinya bisa mengandung dari orang tersebut dan setalah
itu ia 7 kembali kepada suaminya lagi); dan (7) adanya kebiasaan perkawinan syighar (yang
berarti pertukaran anak perempuan, yaitu apabila dua orang mempunyai dua anak gadis dewasa
yang belum kawin, mereka biasa mempertukarkan anak-anak perempuan itu sehingga mahar
bagi seorang anak perempuan dianggap telah terbayar dengan mahar bagi si anak perempuan
yang lain. Jadi, anak perempuan dari seorang ayah berpindah tangan kepada ayah dari anak

12
perempuan yang lain, dan sebaliknya) di antara mereka (al-Kurdi, 1995: 23-24) Demikianlah,
selama berabad-abad perempuan terus-menerus berada di bawah kekuasaan laki-laki. Kedudukan
perempuan lebih rendah dari laki-laki dan harus tunduk kepada kekuatan laki-laki demi
kelancaran dan kelestarian keluarga. Datangnya agama Yahudi dan Nasrani yang ajarannya
kemudian banyak disimpangkan oleh para penganutnya belum bisa menjamin kedudukan
perempuan sebagaimana mestinya. Kemudian datanglah Islam yang berusaha mengangkat
kedudukan perempuan hingga menjadi sejajar dengan kedudukan laki-laki. Islam datang untuk
melepaskan perempuan dari belenggu-belenggu kenistaan dan perbudakan terhadap sesama
manusia. Islam memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan terhormat, makhluk
yang memiliki berbagai hak di samping kewajiban. Islam mengharamkan perbudakan dan
berbuat aniaya terhadap perempuan. Islam memandang sama antara laki-laki dan perempuan
dalam aspek kemanusiaannya (Q.S. al-Hujurât (49): 13). Islam juga menempatkan perempuan
pada posisi yang sama dengan laki-laki dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama (Q.S.
al-Taubat (9): 71), memikul beban-beban keimanan (Q.S. al-Burûj (85): 10), menerima balasan
di akhirat (Q.S. al-Nisâ’ (4): 124), dan pada masalah-masalah lainnya yang banyak disebutkan
dalam al-Quran. Namun demikian, dalam hal ini masih diakui adanya sedikit perbedaan antara
perempuan dan laki-laki, misalnya dalam hal status perempuan menjadi saksi, besarnya bagian
perempuan dalam warisan, dan kesempatan perempuan menjadi kepala negara. Yang pasti,
secara kodrati perempuan berbeda dengan laki-laki. Hanya perempuan yang bisa menstruasi,
hamil, melahirkan, dan menyusui. Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan
kedudukan yang tinggi kepada perempuan setara dengan kedudukan yang diberikan kepada laki-
laki. Kesetaraan ini bukan berarti menjadikan perempuan sama persis dengan laki-laki dalam
segala hal. Tentunya ada batasan-batasan tertentu yang membedakan wanita dengan pria. Pada
perkembangan selanjutnya, lahirnya politik demokrasi serta munculnya sistem ekonomi sosialis
dan kapitalis di Barat memberikan kesadaran baru terhadap hak-hak perempuan. Kaum
perempuan tidak mau lagi ditindas sebagaimana yang mereka alami di tengah-tengah masyarakat
feodal. Mereka menolak dianggap rendah status sosialnya dibanding laki-laki. Mereka menuntut
hak-haknya untuk belajar dan mendapat penghormatan yang sama. Gerakan mereka ini dikenal
dengan gerakan feminisme, yaitu suatu gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi
bahwa kaum wanita mengalami diskriminasi dan ada usaha untuk menghentikan diskriminasi
tersebut (Nurul Agustina, Jurnal Ulumul Qur’an (Edisi Khusus), No. 5 dan 6, 1994: 63).

13
Munculnya kesadaran baru seperti itu banyak menggugah para pakar untuk lebih menyuarakan
hak-hak perempuan melalui tulisan-tulisan mereka. Mulai dekade 1980-an para pakar Muslim
pun mulai banyak berbicara mengenai hak-hak perempuan dengan mempermasalahkan kembali
pemahaman Islam (fikih) yang terkandung dalam kitabkitab fikih, tafsir, dan syarah hadis yang
menurut mereka masih mencerminkan bias dan dominasi patriarkal yang cukup kental. Mereka
ini kemudian dijuluki tokoh-tokoh feminis Muslim atau sering juga dikenal sebagai kaum
feminis Muslim. Di antara tokoh-tokoh feminis Muslim yang tulisan-tulisannya dapat dibaca,
baik dalam bentuk buku maupun artikel, adalah Fatima Mernissi dari Maroko, Riffat Hassan dari
Pakistan, Nawal el-Sadawi dari Mesir, Amina Wadud Muhsin dari Malaysia, dan Asghar Ali
Engineer dari Pakistan. Dari tulisan-tulisan para feminis Muslim itu dapat dilihat bahwa Islam
sebenarnya sama sekali tidak menempatkan kedudukan perempuan berada di bawah kedudukan
laki-laki. Jadi Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan dan keadilan gender. Kalaulah
selama ini kita memahami adanya ketidakadilan dalam Islam ketika memposisikan perempuan
dan laki-laki dalam hukum, adalah karena warisan pemahaman Islam (fikih) dari para tokoh
Muslim tradisional yang diperkuat oleh justifikasi agama. Oleh karena itu, kaum feminis itu
bersepakat untuk mengadakan rekonstruksi terhadap ajaran-ajaran tradisional agama untuk
sejauh mungkin mengeliminasi perbedaan status yang demikian tajam antara laki-laki dan
perempuan yang telah dikukuhkan selama berabad-abad. Rekonstruksi dilakukan dengan jalan
menafsirkan kembali teks-teks al-Quran yang berkaitan dengan wanita yang selama ini sering
ditafsirkan dengan nada misoginis (yang menunjukkan kebencian kepada perempuan). Studi
yang dilakukan Nasaruddin Umar terhadap al-Quran menunjukkan adanya kesetaraan gender.
Dia menemukan lima variabel yang mendukung pendapatnya, yakni (1) Laki-laki dan perempuan
sama-sama sebagai hamba. Hal ini bisa dilihat misalnya dalam surat al-Hujurat (49): 13 dan al-
Nahl (16): 97; (2) Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Hal ini terlihat dalam surat
al-Baqarah (2): 30 dan al-An’am (6): 165; (3) Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian
primordial seperti terlihat dalam surat al-A’raf (7): 172; (4) Adam dan Hawa terlibat secara aktif
dalam drama kosmis. Kejelasan ini terlihat dalam surat al-Baqarah (2): 35 dan 187, al-A’raf (7):
20, 22, dan 23.; dan (5) Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi seperti yang terlihat
dalam surat Ali ‘Imran (3): 195, al-Nisa’ (4): 124, al-Nahl (16): 97, dan Ghafir (40): 40
(Nasaruddin Umar, 1999: 248-265). Kalaupun kemudian muncul pendapat yang bernada
misoginis terhadap perempuan, atau yang menunjukkan subordinasi perempuan dan superioritas

14
laki-laki, dikarenakan adanya bias gender dalam pemahaman atau penafsiran teks-teks al-Quran.
Adapun penyebab terjadinya bias gender ini menurut Nasaruddin bisa ditelusuri dalam sepuluh
faktor, yakni (1) Pembakuan tanda huruf, tanda baca, dan qiraat; (2) Pengertian kosa kata
(mufradat); (3) Penetapan rujukan kata ganti (dlamir); (4) Penetapan batas pengecualian
(istisna’); (5)Penetapan arti huruf ‘athaf; (6) Bias dalam struktur bahasa; (7) Bias dalam kamus
bahasa Arab; (8) Bias dalam metode tafsir; (9) Pengaruh riwayat Isra’iliyat; dan (10) Bias dalam
pembukuan dan pembakuan kitab-kitab fikih (Nasaruddin Umar, 1999: 268- 299). Persoalan
yang sama seperti itu juga terjadi dalam pemahaman terhadap teks-teks hadis. Namun, dalam
bidang hadis ini juga dipengaruhi oleh status atau kualitas hadis yang oleh para ulama hadis
dinilai berbeda-beda. Memang keberadaan hadis tidak seperti al-Quran yang sejak turunnya
hingga sekarang tidak diragukan keautentikannya. Hadis tidak seperti al-Quran, karena
sampainya hadis kepada kita sangat sarat dengan peristiwa-peristiwa historis yang bermuatan
sosio-kultural, terutama bagi para perawi atau sanad yang membawanya kepada kita. Inilah yang
kemudian mempengaruhi kualitas hadis, sehingga hadits ada yang shahih, hasan, dan dla’if.
Kualitas inilah yang 10 juga ikut mempengaruhi wacana pemikiran (fikih) tentang perempuan
dalam Islam. Dari sinilah perlu dilakukan kontekstualisasi pemahaman hadis, yaitu usaha
penyesuaian dengan dan dari hadits untuk mendapatkan pandangan yang sejati, orisinal, dan
memadai bagi perkembangan atau kenyataan yang dihadapi. Ini berarti bahwa kontekstualisasi
tidak dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan dengan teks hadits atau sebaliknya, tetapi
dilakukan dengan dialog atau saling mengisi di antara keduanya (Hamim Ilyas dalam Ema
Marhumah (ed.), 2001: 180). Tujuan kontekstualisasi ini tidak lain untuk melihat posisi
perempuan yang sebenarnya dalam hadis atau sunnah Nabi.

15
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dalam Islam wanita adalah bebas sebagaimana laki-laki dalam mendapatkan dan melaksanakan
hak dan kewajibannya. Wanita terkadang melebihi laki-laki dalam hal pekerjaan, keilmuan,
kemampuan, akal dan bahkan dalam hal berijtihad dan memberikan fatwa mengenai hukum-
hukum syara'. Akan tetapi kebebasan wanita adalah terbatas, sesuai dengan kemapuan alamiah
dan karakter manusia serta kepentingannya dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Sedangkan gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya. Gender dalam arti ini
adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat
kodrati. dan kesetaraan gender adalah menyetarakan segi kondisi sosial dan budaya antara laki-
laki dan perempuan.

Dan sejarah kesetaraan gender terjadi karena banyak doktrin-doktrin gereja yang menghina
perempuan dan akhirnya banyak perempuan yang menginginkan kebebasan kemudian
mendorong perempuan untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka.

16
DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, P. D. (2005). Kebebasan Dalam Islam. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.


DR. Ahmad Zain An Najah, M. (2015). Al Qur'an dan Kesetaraan Gender. Jakarta Timur: Puskafi.
DR. Dinar Dewi Kania, d. (2018). Delusi Kesetaraan Gender. Jakarta Selatan : Gema Insani.

17

You might also like