You are on page 1of 19

BAB II

TINJAUAN TEORI

1.1 Tinjauan Teori


1.1.1 Pengertian
Apendisitis adalah radang pada usus buntu atau dalam bahasa latinnya
appendiks vermivormis, yaitu suatu organ yang berbentuk memanjang dengan
panjang 6-9 cm dengan pangkal terletak pada bagian pangkal usus besar
bernama sekum yang terletak pada perut kanan bawah (Handaya, 2017).
Apendiktomi adalah pembedahan atau operasi pengangkatan apendiks
(Haryono, 2012). Apendiktomi merupakan pengobatan melalui prosedur
tindakan operasi hanya untuk penyakit apendisitis atau
penyingkiran/pengangkatan usus buntu yang terinfeksi. Apendiktomi
dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi lebih lanjut
seperti peritonitis atau abses (Marijata dalam Pristahayuningtyas, 2015).

Post apendiktomi merupakan peristiwa setelah dilakukannya tindakan


pembedahan pada apendik yang mengalami inflamasi. Kondisi post operasi
dimulai saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai
evaluasi selanjutnya. Pasien yang telah menjalani pembedahan dipindahkan ke
ruang perawatan untuk pemulihan post pembedahan (memperoleh istirahat
dan kenyamanan) (Muttaqin, 2013).

1.1.2 Anatomi dan Fisiologi Appendicitis


a. Anatomi Appendisitis
Hampir seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan
mesoapendiks (mesenter dari apendiks) yang merupakan lipatan
peritoneum berjalan kontinue disepanjang apendiks dan berakhir di ujung
apendiks. Vaskularisasi dari apendiks berjalan sepanjang mesoapendiks
kecuali di ujung dari apendiks dimana tidak terdapat mesoapendiks. Arteri
apendikular, derivate cabang inferior dari arteri ileocoli yang merupakan
trunkus mesentrik superior. Selain arteri apendikular yang memperdarahi
hampir seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri asesorius.
Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocolic berjalan ke
vena mesentrik superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal (Eylin,
2009).
b. Fisiologi Appendisitis
Secara fisiologis, apendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml per hari.
Lendir normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya
mengalirkan ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks
berperan pada patogenesis apendiks. Immunoglobulin sekreator yang
dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lympoid Tissue) yang terdapat di
sepanjang saluran pencerna termasuk apendiks ialah IgA. Immunoglobulin
tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh (Arifin, 2014).
1.1.3 Etiologi
Etiologi dilakukannya tindakan pembedahan pada penderita apendiksitis
dikarenakan apendik mengalami peradangan. Apendiks yang meradang dapat
menyebabkan infeksi dan perforasi apabila tidak dilakukan tindakan
pembedahan. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan
lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus.
Disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing
askariasis dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit
seperti E.histolytica (Sjamsuhidayat, 2011).
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks menurut
Haryono (2012) diantaranya:
a. Faktor sumbatan
Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4%
karena benda asing, dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh
parasit dan cacing.
b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekolit dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi dapat memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur yang
banyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragilis dan E.coli,
Splanchius, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob
sebesar 96% dan aerob lebih dari 10%.
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter
dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik
dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan
dengan kebiasaan makan dalam keluarga terutama dengan diet rendah
serat dapat memudahkan terjadinya fekolit dan menyebabkan obstruksi
lumen.
d. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-
hari. Bangsa kulit putih yang dulunya mempunyai resiko lebih tinggi dari
negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang
kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah mengubah pola makan
mereka ke pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang yang
dulunya mengonsumsi tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah
serat, kini memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi.
1.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi appendisitis terbagi menjadi dua yaitu, appendisitis akut dan
appendisitis kronik (Sjamsuhidajat & de jong, 2010):
a. Appendisitis akut
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala
appendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat.
b. Appendisitis kronik
Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria
mikroskopik appendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan
parut dan ulkus lama dimukosa, dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden
appendisitis kronik antara 1-5%.
1.1.5 Manifestasi klinik

Keluhan apendiks biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilicus atau


periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan
beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila
berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam
yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-
kadang terjadi diare, mual, dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit
belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri
abdomen bawah akan semakin progresif, dan dengan pemeriksaan seksama
akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada
kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas
dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda Rovsing, psoas, dan
obturatorpositif, akan semakin meyakinkan diagnosa klinis.

Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari :


Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa
secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu
timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri
berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini,
penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri
bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8°C. Pada bayi dan
anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang
tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri
tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa
menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.

1.1.6 Patofisiologi Apendiksitis


Apendiksitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks
oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Feses yang terperangkap
dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan mengalami
penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai kausa
sumbatan. Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus semakin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukus.
Pada saat ini terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Sumbatan menyebabkan nyeri sekitar umbilicus dan epigastrium,
nausea, muntah. invasi kuman E Coli dan spesibakteroides dari lumen ke
lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularisa, dan akhirnya ke peritoneum
parietalis terjadilah peritonitis lokal kanan bawah.Suhu tubuh mulai naik.Bila
sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di area kanan bawah. Keadaan ini yang
kemudian disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran
arteri terganggu akan terjadi infark diding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh pecah, akan menyebabkan apendisitis perforasi. Bila proses
tersebut berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak
ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut akan menyebabkan abses atau
bahkan menghilang. Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan
apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan demikian
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000)
1.1.7 Pathway
1.1.8 Komplikasi apenndisitis
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendisitis.Adapun
jenis komplikasi menurut (Sulekale, 2016) adalah :
a. Abses
Abses merupakan peradangan apendiks yang berisi pus. Teraba
massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini
mulamula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang
mengandung pus. Hal ini terjadi apabila appendisitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum. Operasi appendektomi untuk
kondisi abses apendiks dapat dilakukan secara dini (appendektomi dini)
maupun tertunda (appendektomi interval). Appendektomi dini merupakan
appendektomi yang dilakukan segera atau beberapa hari setelah
kedatangan klien di rumah sakit. Sedangkan appendektomi interval
merupakan appendektomi yang dilakukan setelah terapi konservatif awal,
berupa pemberian antibiotika intravena selama beberapa minggu.
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam.Perforasi dapat
diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang
timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5° C, tampak
toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
Polymorphonuclear (PMN). Perforasi baik berupa perforasi bebas
maupun mikroperforasi dapat menyebabkan terjadinya peritonitis.
Perforasi memerlukan pertolongan medis segera untuk membatasi
pergerakan lebih lanjut atau kebocoran dari isi lambung ke rongga perut.
Mengatasi peritonitis dapat dilakukan oprasi untuk memperbaiki
perforasi, mengatasi sumber infeksi, atau dalam beberapa kasus
mengangkat bagian dari organ yang terpengaruh.
c. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum. Bila infeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum dapat menyebabkan timbulnya
peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria. Peritonitis disertai rasa
sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan
leukositosis. Penderita peritonitis akan disarankan untuk menjalani rawat
inap di rumah sakit. Beberapa penanganan bagi penderita peritonitis
adalah :
1) Pemberian obat-obatan. Penderita akan diberikan antibiotik suntik atau
obat antijamur bila dicurigai penyebabnya adalah infeksi jamur, untuk
mengobati serta mencegah infeksi menyebar ke seluruh tubuh. Jangka
waktu pengobatan akan disesuaikan dengan tingkat keparahan yang
dialami klien.
2) Pembedahan. Tindakan pembedahan dilakukan untuk membuang
jaringan yang terinfeksi atau menutup robekan yang terjadi pada organ
dalam.
1.1.9 Penatalaksanaan
Menurut (Wijaya & Putri, 2013) penatalaksanaan medis pada appendisitis
meliputi :
a. Sebelum operasi
1) Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
appendisitis seringkali belum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat
perlu dilaksanakan. Klien diminta melakukan tirah baring dan
dipuasakan.
Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah
(leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik, foto abdomen dan
toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit
lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi
nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
2) Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksidan abses
intra abdominal luka operasi pada klien apendiktomi.Antibiotik
diberikan sebelum, saat, hingga 24 jam pasca operasi dan melalui cara
pemberian intravena (IV) (Sulikhah, 2014).
b. Operasi
Tindakan operasi yang dapat dilakukan adalah apendiktomi.
Apendiktomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara
membuang apendiks (Wiwik Sofiah, 2017). Indikasi dilakukannya
operasi apendiktomi yaitu bila diagnosa appendisitis telah ditegakkan
berdasarkan gejala klinis. Pada keadaan yang meragukan diperlukan
pemeriksan penunjang USG atau CT scan.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal
dengan insisi pada abdomen bawah. Anastesi diberikan untuk
memblokir sensasi rasa sakit. Efek dari anastesi yang sering terjadi
pada klien post operasi adalah termanipulasinya organ abdomen
sehingga terjadi distensi abdomen dan menurunnya peristaltik usus. Hal
ini mengakibatkan belum munculnya peristaltik usus (Mulya, 2015) .
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Kiik, 2018) dalam 4
jam pasca operasi klien sudah boleh melakukan mobilisasi bertahap,
dan dalam 8 jam pertama setelah perlakuan mobilisasi dini pada klien
pasca operasi abdomen terdapat peningkatan peristaltik ususbahkan
peristaltik usus dapat kembali normal. Kembalinya fungsi peristaltik
usus akan memungkinkan pemberian diet, membantu pemenuhan
kebutuhan eliminasi serta mempercepat proses penyembuhan.
Operasi apendiktomi dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu operasi
apendiktomi terbuka dan laparaskopi apendiktomi. Apendiktomi
terbuka dilakukan dengan cara membuat sebuah sayatan dengan
panjang sekitar 2 – 4 inci pada kuadran kanan bawah abdomen dan
apendiks dipotong melalui lapisan lemak dan otot apendiks. Kemudian
apendiks diangkat atau dipisahkan dari usus (Dewi, 2015).
Sedangkan pada laparaskopi apendiktomi dilakukan dengan
membuat 3 sayatan kecil di perut sebagai akses, lubang pertama dibuat
dibawah pusar, fungsinya untuk memasukkan kamera super mini yang
terhubung ke monitor ke dalam tubuh, melalui lubang ini pula sumber
cahaya dimasukkan. Sementara dua lubang lain di posisikan sebagai
jalan masuk peralatan bedah seperti penjepit atau gunting. Ahli bedah
mengamati organ abdominal secara visual dan mengidentifikasi
apendiks. Apendiks dipisahkan dari semua jaringan yang melekat,
kemudian apendiks diangkat dan dikeluarkan melalui salah satu sayatan
(Hidayatullah, 2014).
Jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis dan antibiotika.Tindakan pembedahan dapat
menimbulkan luka insisi sehingga pada klien post operatif apendiktomi
dapat terjadi resiko infeksi luka operasi.
c. Pasca operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan.
Klien dibaringkan dalam posisi terlentang. Klien dikatakan baik bila
dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Puasa diteruskan sampai fungsi
usus kembali normal.
1.1.10 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada foto tidak dapat menolong untuk


menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi
kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit
fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fecolit
(sumbatan). pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam
diafragma.

b. Laboratorium

Pemeriksaan darah : lekosit ringan umumnya pada apendisitis


sederhana lebih dari 13000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi.
Tidak adanya lekositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis:
terdapat pergeseran ke kiri. Pemeriksaan urin : sediment dapat normal
atau terdapat lekosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang
meradang menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan laboratorium
Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh
terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan
perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin)
nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan
apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi
pada ginjal.

1.2 Tinjauan Asuhan Keperawatan


1.2.1 Pengkajian
a. Data demografi
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor register.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan bawah yang
menembus kebelakang sampai pada punggung dan mengalami demam
tinggi
3) Riwayat kesehatan dahulu Apakah klien pernah mengalami operasi
sebelumnya pada colon.
4) Riwayat kesehatan keluarga Apakah anggota keluarga ada yang
mengalami jenis penyakit yang sama. wayat kesehatan
c. Pemeriksaan fisik
1) Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai,
konjungtiva anemis.
2) Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat, edema, TD
>110/70mmHg; hipertermi.
3) Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada
simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping
hidung, tidak terpasang O2, tidak ada ronchi, whezing, stridor.
4) Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan
tanda adanya infeksi dan pendarahan.
5) Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit
pinggang serta tidak bisa mengeluarkan urin secara lancer.
6) Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena
proses perjalanan penyakit.
7) Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis,
pucat.
8) Abdomen : terdapat nyeri lepas, peristaltik pada usus ditandai dengan
distensi abdomen.

d. Pola fungsi kesehatan


1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan
kebiasaan olahraga (lama frekwensinya), karena dapat mempengaruhi
lamanya penyembuhan luka.
2) Pola nutrisi dan metabolism.
Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat
pembatasan intake makanan atau minuman sampai peristaltik usus
kembali normal.

3) Pola Eliminasi.
Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung
kemih, rasa nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan
mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan
mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh
anastesi sehingga terjadi penurunan fungsi.
4) Pola aktifitas.
Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa
nyeri, aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu
lamanya setelah pembedahan.
5) Pola sensorik dan kognitif.
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta pendengaran,
kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang
tua, waktu dan tempat.
6) Pola Tidur dan Istirahat.
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga
dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
7) Pola Persepsi dan konsep diri
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak
segala kebutuhan harus dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang
keadaan dirinya sehingga penderita mengalami emosi yang tidak
stabil.
8) Pola hubungan.
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa
melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat.
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
9) Pemeriksaan diagnostic.
a) Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis akut.
b) Foto polos abdomen : dapat memperlihatkan distensi sekum,
kelainan non spesifik seperti fekalit dan pola gas dan cairan
abnormal atau untuk mengetahui adanya komplikasi pasca
pembedahan.
c) Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan
leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi.
d) Pemeriksaan Laboratorium.
(2) Darah : Ditemukan leukosit 10.000 – 18.0000 µ/ml.
(3) Urine : Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan eritrosit
1.2.2 Diagnosa Keperawatan
a. Diangnosa keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon
klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya
baik yang berlangsung aktual maupun potensial (PPNI, 2017).
b. Diagnosa keperawatan yang diambil
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ( misal
inflamasi, iskemia, neoplasma) (D.0077)

Nyeri akut (D.0077)


Kategori: Psikologis
Subkategori: Nyeri dan kenyamanan
Definisi: pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsiona, dengan onset mendadak atau lambat
dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan
Penyebab:
1. Agen pencedera fisiologis (mis: inflamasi, iskemia, neoplama)
2. Agen pencedera kimiawi (mis: terbakar, bahan kimia iritan)
3. Agen pencedera fisik (mis: abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan
Gejala dan tanda mayor:
Subyektif :
1) Mengeluh nyeri
Obyektif
1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif ( mis waspada, posisi menghindari nyeri )
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
Gejala dan tanda minor:
Subyektif: -
Obyektif:
1. Tekanan darah meningkat
2. Pola nafas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berpikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaphoresis
Kondisi klinis terkait :
1. Kondisi Pembedahan
2. Cedera traumatis
3. Infeksi
4. Sindrom koroner akut
5. Glaukoma
2. Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien (D.0019)

Defisit Nutrisi D. 0019


Katagori :Fisiologis
Subkatagori : Nutrisi dan Cairan
Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
Penyebab
1. Ketidak mampuan menelan makanan
2. Ketidak mampuan mencerna makanan
3. Ketidak mampuan mengabsorbsi nutrisi
4. Peningkatkan kebutuhan metabolism
5. Faktor ekomomi (mis. finasila tidak mencukupi)
6. Faktor psikologis (mis. stress, keenganan untuk makan)

Gejala dan Tanda Mayor


Subyektif Obyektif
(tidak tersedia) 1. Berat badan menurun minimal
10% di bawah rentan ideal

Gejala dan Tanda Minor


Subyektif Obyektif
1. Cepat kenyang setelah makan 1. Bising usus hiperatif
2. Kram/nyeri abdomen 2. Otot pengunyah lemah
3. Nafsu makan menurun 3. Otot menelan lemah
4. Membran mukosa pucat
5. Sariawan
6. Serum albumin turun
7. Rambut rontok berlebih
8. diare

Kondisi Klinis Terkait


1. Stroke
2. Parkison
3. Mobius syndrome
4. Cerebral palsy
5. Cleft lip
6. Cleft palate
7. Amyotropic lateral sclerosis
8. Kerusakan neuronmuskular
9. Luka bakar
10. Kanker infeksi
11. Aids
12. Penyakit Crohn’s
1.2.3 Luaran keperawatan SLKI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ( misal inflamasi,
iskemia, neoplasma) (D.0077)

Tingkat Nyeri (L08066)


Definisi: pengalaman sensorik atau emosional dengan kerusakan jaringan actual
atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga dan konstan
Ekspektasi: menurun
Kriteria hasil Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
menurun meningkat
Kemampuan
untuk
1 2 3 4 5
menuntaskan
aktivitas
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
meningkat meningkat
Keluhan nyeri 1 2 3 4 5
Meringis 1 2 3 4 5
Sikap protektif 1 2 3 4 5
Kesulitan tidur 1 2 3 4 5
Menarik diri 1 2 3 4 5
Berfokus pada 1 2 3 4 5
diri sendiri
Diaphoresis 1 2 3 4 5
Perasaan depresi 1 2 3 4 5
(tertekan)
Perasaan takut 1 2 3 4 5
mengalami
cedera berulang
Anoreksia 1 2 3 4 5
Perineum terasa 1 2 3 4 5
tertekan
Uterus teraba 1 2 3 4 5
membulaat
Ketegangan otot 1 2 3 4 5
Pupil dilatasi 1 2 3 4 5
Muntah 1 2 3 4 5
Mual 1 2 3 4 5
Memburuk Cukup Sedang Cukup Membaik
memburuk baik
Frekuensi nadi 1 2 3 4 5
Pola nafas 1 2 3 4 5
Tekanan darah 1 2 3 4 5
Proses berpikir 1 2 3 4 5
Focus 1 2 3 4 5
Fungsi 1 2 3 4 5
berkemih
Perilaku 1 2 3 4 5
Nafsu makan 1 2 3 4 5
Pola tidur 1 2 3 4 5
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien (D.0019)

Nafsu Makan L.03024


Definisi
Keinginan untuk makan
Ekspektasi Membaik
Kriteria Hasil
Menurun Cukup Sedang Cukum Meningkat
Memburuk Membaik
Keinginan
1 2 3 4 5
makanan
Asupan
1 2 3 4 5
makanan
Energi untuk
1 2 3 4 5
makan
Kemampuan
merasakan 1 2 3 4 5
makanan
Kemampuan
menikmasti 1 2 3 4 5
makanan
Asupan nutrisi 1 2 3 4 5
Stimulus
1 2 3 4 5
untuk makan
Kelaparan 1 2 3 4 5

1.2.4 Intervensi Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ( misal inflamasi,
iskemia, neoplasma) (D.0077)

Manajemen Nyeri (I08238)


Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman sensorik atau emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau fungsional dengan onset
mendadak ata lambat dan berintensitas berat dan konstan
Tindakan
Observasi :
1. Identifikasi lokasi, karkteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Indentifikasi respons nyeri non verbal
4. Identifikasii faktor yang memperlambat dan memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respons nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pasa kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah di berikan
9. Monotor efeksaming penggunaan analgesic
Terapeutik :
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangii rasa nyeri (mis Terapi
musik, kompres hangat/dingin, dan teknik imajinasi)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis Suhu, pencahayaan,
kebisingam)
3. Fasilitasi istirahat tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorsi nutrien (D.0019)

Manajemen Nutrisi 1.03119


Definisi
Mengidentifikasi dan mengelola asupan nuttsi yang seimbang
Tindakan
Observasi :
1. Indentifikasi status nutrisi
2. Indentifikasi alergi dan intoterasi makanan
3. Indentifikasi makanan disukai
4. Indentifikasi kebutuahn kalori dan jenis nutrisi
5. Indentifikasi perlunga penggunaan selang nasogastrik
6. Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik :
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
2. Fasilitas penentu pedoman diet (mis piramida mkananan)
3. Sajikan makanan sevara menraik dan suhu yang sesuai
4. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
5. Berikan makanan tinggi kalori dan protein
6. Berikan suplemen makanan, jika perlu
7. Hentikan pemberian makanan melalui selang nasogatrik jika asuopan oral
dapat ditolenrasi
Edukasi :
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogamkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. pereda nyeri antlemeti)
jika perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrie
yang dibutuhkan, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2008.Keperawatan Medikal Bedah Edisi 3.Jakarta; EGC


Marijata dalam Pristahayuningtyas, 2015.Angka Kejadian Apendisitis Post Op di
RSUD Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Oktober 2012 - September
2015. Jurnal e-Clinic (eCl), 4(1), 231-136.
Moore K.L., Dalley A.F., Agur A.M.R. 2010. Clinically oriented anatomy. 6th
edition.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018) Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnosis Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018) Standart Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnosis Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018) Standart Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnosis Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Warsinggih. (2016). Appendicitis Acute. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2019
darihttps://med.unhas.ac.id/kedokteran/en/wpcontent/uploads/2016/10/APPE
DISITIS-AKUT.pdf

You might also like