You are on page 1of 16

PERKEMBANGAN TAFSIR AL-QUR’AN DIKALANGAN PARA SAHABAT

Nur Aisyah
UNIDA GONTOR
nuraisyah71@student.iqt.unida.gontor.ac.id

Abstract

‫ بما في ذلك من‬، ‫يخضع تفسير القرآن للعديد من العمليات الطويلة جدًا‬
، ‫ في فترة ما بعد الموت‬.‫وقت نزول القرآن ألول مرة إلى الوقت الحاضر‬
‫ قام به أصحابه‬، ‫ضا عملية تطور سريع في تفسير القرآن‬ ً ‫شهد النبي أي‬
‫ وهو تفسير‬، ‫ شكل تفسير الصحابة بشكل عام هو المعثور‬.‫واألجيال من بعده‬
‫ أو النص أو المستلمة مباشرة من النبي أكثر‬، ‫مبني على المصادر المروية‬
‫ اتضح أن الصحابة استخدموا‬، ‫ من حيث منهج التفسير‬.)‫من الفكر (الرأي‬
‫ وعدم‬، ‫ أي تفسير آيات القرآن باختصار ودقة‬، )‫طريقة التفسير (اجمالى‬
‫ فقط تقديم وصف (مرادف) شرح الكلمات‬، ‫وصفها بالتفصيل والتعمق‬
‫ لذلك فإن نتائج تفسير الصحابة‬.‫ صعب مع القليل من المعلومات‬.‫المستخدمة‬
‫ضا من اجتهاد‬ ً ‫ وفي هذا التفسير يوجد أي‬، ‫هي تطور لفترة تفسير زمن النبي‬
‫انتشارا باستخدام‬
ً ‫ هو األكثر‬.‫سر بين الصحابة رغم محاولة تفسير القرآن‬ ّ ‫المف‬
‫ هذا يجعل الصحابة يميلون إلى إعطاء األولوية لالقتباس‬.‫صور‬ ُ َ‫طريقة بيل َمت‬
.‫مباشرة من آيات القرآن والحديث النبوي بدلً من الجتهاد‬

.‫ الجتهاد‬،‫ الصحابة‬،‫ التفسير‬:‫الكلمات الدالة‬


The interpretation of the Qur'an undergoes various processes, including from
the time of the revelation of the Qur'an to the present. In the post-death period, the
Prophet also experienced developments in interpreting the Qur'an, which was carried
out by his companions. The form of interpretation of the companions in general is al-
Ma'sur, which is an interpretation that is based more on sources narrated or received
from the Prophet than on thought (al-ra'yu). In terms of the method of interpretation, it
turns out that the companions used the ijmali (gobal) interpretation method, which is
to interpret the verses of the Qur'an briefly and concisely, just to give a muradif
(synonym) explanation of difficult words with little information. Therefore, the results
of the interpretation of the companions are a development of the period of
interpretation of the Prophet's time, in this interpretation there are also those who carry
out ijtihad by the mufassir among the companions even though the attempt to interpret
the Qur'an is more dominant using the bil ma'tsur method.

Keywords: Tafseer, Shahabah, Ijtihad


Penafsiran Al-Quran mengalami berbagai proses yang sangat panjang,
diantaranya dari masa Al-Qur’an pertama kali diturunkan hingga saat ini. Dalam
masa pasca wafat Rasulullah juga mengalami proses perkembangan yang pesat dalam
menafsirkan Al-Qur’an yakni dilakukan oleh para sahabat dan generasi setelahnya.
Bentuk tafsir para sahabat pada umumnya adalah al-Ma’sur, yaitu penafsiran yang
lebih banyak didasarkan atas sumber yag diriwayatkan, berpaku pada tekstual atau
yang diterima langsung dari Nabi Saw dari pada pemikiran (al-ra’yu). Dilihat dari
segi metode penafsiran, ternyata para sahabat memakai metode tafsir ijmali (gobal),
yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara singkat dan ringkas tidak menjabarkan
secara rinci dan mendalam, hanya sekedar memberi penjelasan muradif (sinonim)
kata-kata yang sukar dengan sedikit keterangan. Oleh karenanya, hasil penafsiran dari
para sahabat merupakan perkembangan dari periode tafsir masa Rasulullah, dalam
penafsiran ini juga ada yang melakukan ijtihad oleh para mufassir dikalangan para
sahabat meski upaya menafsirkan Al-Quran tersebut lebih dominan menggunakan
metode bil ma’tsur. Hal ini menjadikan para sahabat cenderung lebih mengutamakan
untuk mengkutip langsung terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi daripada
berijtihad.
Keywords: Tafsir, Sahabat, Ijtihad.

Pendahuluan
Al-Qura’n al-karim adalah kitab samawi yang paling terakhir diturunkan
dan berfungsi sebagai petunjuk bukan hanya terhadap anggota masyarakat
Arab akan tetapi juga bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman
nanti. Al-Qur’an memuat seluruh aspek kehidupan manusia, baik aspek
vertikal maupun horizontal bahkan hubungan dengan alam semestapun
tertera dalam al-Qur’an.1 Prinsip, doktrin dan ajaran-ajaran yang disampaikan oleh al-
Qur’an sangat global dan memungkinkan setiap generasi memberikan interpretasi yang
berbeda dengan para cendikiawan sebelumnya karena al-Qur’an menggunakan bahasa
yang sangat tinggi sastranya dan mengandung berbagai rahasia yang tidak
mungkin ditangkap secara sama oleh semua kalangan. 2
Perkembangan tafsir memiliki proses yang sangat panjang, dimulai saat
turunnya wahyu kepada Rasulullah Saw. hingga saat ini. Awal mula pemahaman Al-
Qur’an dengan penafsiran langsung oleh Nabi Saw. misalnya apabila para sahabat tidak
mengetahui makna dari ayat yang diturunkan kepada Rasulullah maka para sahabat
langsung menanyakannya kepada beliau untuk mendapatkan solusi dari berbagai

1
Manna’Al-Qathan, Mabahis Fi ulum al-Qur’an, Riyadh: Mansyuratul Ishril Hadis, 1973. Hal 18

2
Muhammad Husain al-Z|ahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz. I (CD ROM al-Maktabah al-
Syamilah),
Hal. 34.
3
permasalahan di masa itu. Penafsiran Rasulullah itu adakalanya dengan sunnah
qauliyah, fi’liyah dan adakalanya dengan sunnah Taqririyah. Dalam pada itu tafsir yang
diterima dari Nabi sendiri tidak begitu banyak. 4 Hal tersebut sangat memungkinkan
sepeninggal Rasulullah diperlukan penafsiran oleh generasi setelahnya.

Pada masa sebelumnya, proses diturunkannya Al Qur’an di sebagian besar


disaksikan oleh para sahabat, apabila terdapat ketidakpahaman terhadap Al-Qur’an
maka ditanyakan langsung kepada Rasulullah sehingga memudahkan para sahabat
dalam mempelajari tafsir Al-Qur’an. Namun, tidak semua sahabat sama dalam
menerima pemahaman Al-Qur’an ada ayat yang memang terang bagi sebagian sahabat
tetapi sahabat lain belum tentu.5 Sehingga diperlukan tinjauan ulang terhadap factor-
faktor perbedaan hasil penafsiran Al-Qur’an oleh para sahabat.

Oleh karenanya, dalam jurnal ini penulis akan menjabarkan tentang penafsiran
Al-Qur’an masa sahabat. Dimulai dari pengertian tafsir, latar belakang diadakannya
penafsiran, proses penafsiran Al-Qur’an di kalangan sahabat, tokoh-tokoh muafassir di
kalangan sahabat, dsb.

Hasil dan Pembahasan:

1. Pengertian Tafsir

Secara bahasa kata tafsir adalah bentuk masdar dari kata ‚fassaraã - yufassiru-
tafsirãn‛, yang mengikuti wazan ‚taf’iilan‛ yang mempunyai arti penjelasan dan
keterangan. Menurut KH. Ma’shum bin ‘Ali dalam kitab Al-Amtsilat Al-Tasrifiyyah,
penggunaan wazan fa’ala berfungsi untuk kata kerja transitif. 6 Dengan demikian kata
fassara adalah ‚menjelaskan dan menerangkan‛, penjelasan ini dibuat agar informasi
yang masih belum atau tidak jelas menjadi jelas.7 Kata tafsir dapat pula berarti al-ibãnah

3
Miswar, Andi. 2016. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Pada Masa Sahabat. Jurnal Rihlah Vol. 5
No. 2/2016 Hal.146
4
Miswar, Andi. 2016. Perkembangan .., Hal.147
5
Miswar, Andi. 2016. Perkembangan…… Hal. 146
6
Transitif adalah kata kerja yang membutuhkan pelengkap. Lihat : Tim Pustaka Agung Harapan,
Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Pustaka Agung Harapan, tt), h. 666
7
Ma’shum bin ‘Ali, Al-Amtsilat Al-Tasrifiyyah (Litboyo: Lirboyo Press, 2016), h. 29
(menjelaskan makna yang masih samar), al-kasyf. (menyingkap makna yang masih
tersembunyi), dan al-idzhar (menampakan makna yang belum jelas). 8

Ilmu tafsir juga memiliki pengertian yaitu ilmu yang mempelajari cakupan
tentang keadaan turunnya ayat al-Qur’an, asbab al-nuzul, urutan makiyyah-
madaniyyah, muhkammustasyabbih, nasikh-mansukh, khãs-‘am, mutlaq-muqãayyãd,
mujmal, halal-harãm, janji-janji, perintah-larangan, i’tibarperumpamaan didalam al-
Qur’an. Dari tinjuaun makna bahasa dan istilah bisa dipadukan pengertiannya yaitu
suatu hasil pemahaman atau penjelasan seorang penafsir terhadap al-Qur’an yang
dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu dengan tujuan untuk
memperjelas suatu makna ayat-ayat alQur’an atau menguraikan berbagai dimensi dan
aspek yang terkandung dalam al-Qur’an sesuai dengan kemampuan manusia
memahaminya. 9 Selain itu tafsir adalah merupakan media dan instrumen
menjelaskan al-Qur’an. Tafsir al-Qur’an merupakan ilmu yang
mempelajari proses penjelasan terhadap obyek yang ingin ditafsirkan
yaitu menafsirkan kandungan dan isi ayat-ayat al-Qur’an dengan
cara mengambil penjelasan makna, hukum dan hikmah yang
terkandung di dalamnya. 10

Tafsir lebih umum daripada ta’wil dan lebih banyak penggunaannya dalam lafaz
dan mufradat, sedang ta’wil lebih banyak penggunaannya dalam makna-makna dan
susunan kalimat serta lebih banyak digunakan dalam kitab suci, sedang tafsir digunakan
dalam kitab suci dan juga digunakan dalam kitab-kitab lainnya. Tetapi, yang jelas
bahwa tafsir dan ta’wil, dalam konteks Al-Qur’an, digunakan sebagai alat untuk
memahami kata dan pesan-pesan Allah swt. Karena itu, tidak heran jika ada ulama
langsung mempersamakannya. 11 Dalam bentuk kata lain tafsir adalah ilmu yang
membahas tentang maksud dan tujuan Allah swt. dalam al-
Qur’an sesuai dengan kemampaun manusia dengan menggunakan semua ilmu
yang dibutuhkan dalam mengungkap dan memahami makna-makna ayatnya.12 Dari

8
Muhammad Abd Al-‘Adzhim Al-Zarqa>ni, Mana>hil ‘Irfan Fi Ulum AlQur’an (Mesir: Musthafa
Al-Baby Al-Halabiy), h. 3
9
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi AliranAliran Tafsir Periode Klasik,
Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, (Yogakarta, Adab Press, 2012), h. 3
10
Az-Zarkashi, Al-Burhān fi ʻUlūm al-Qurʼān (Beirut: Dār Kutub, 1957), 13
11
Amri. Tafsir Al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad Saw Hingga Masa Kodifikasi. STAIN
Sultan Qaimuddin Kendari: Fakultas Tarbiyah. Hal 23.
12
Hamzah, Amir. 2014. Kaidah Tafsir Pada Masa Nabi dan Sahabat.STAIN Palopo : Jurnal AL
QALAM vol.6 No.1. Hal 5
uraian tersebut, tafsir merupakan suatu ilmu untuk menyingkap makna dibalik lafadz
Al-Qur’an dengan tujuan memahami maksud yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an
supaya bisa dipahami oleh umat manusia karena Al-Qur’an merupakan sumber
petunjuk bagi mereka.

2. Definisis Sahabat

Secara etimologis, kata sahabat adalah bentuk plural dari kata shahib yang berarti
teman atau kawan. Ia berasal dari kata kerja shahiba. Dalam al-Mu'jam al-Wasîth
disebutkan, "Shâhibahu bermakna râfaqahu (menemaninya/mendampinginya).
Istashhaba syai'an artinya lâzamahu (senantiasa menyertainya atau memintanya agar
berkenan menjadi sahabatnya). Ash-Shâhib bermakna al-murâfiq
(teman/pendamping), pemilik, atau yang bertugas mengawasi sesuatu. Dipakai juga
untuk orang yang menganut sebuah madzhab atau pendapat tertentu.13 Sedangkan
Ashahaby ialah siapa yang pernah bertemu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam ,
beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan muslim. Bentuk pluralnya adalah
shahabah. 14
Sedangkan secara terminologis, Ibn Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "
‫ )خ َِجحُّانص‬ash-shuhbah) ialah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menyertai
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam jangka waktu yang lama maupun
singkat. Akan tetapi, kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh jangka waktu ia
menyertai Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam . Ada yang menyertai beliau
setahun, sebulan, sehari, sesaat, atau melihat beliau sekilas lalu beriman. Derajat
masing-masing ditentukan sesuai jangka waktunya dalam menyertai Rasulullah . Hal
ini sebagaimana perkataan Imam Ahmad rahimahullah, "Siapa saja yang menyertai
Rasulullah setahun, sebulan, sehari, atau sesaat, atau melihat beliau, maka ia termasuk
sahabat Nabi. Derajat masing-masing dari mereka sesuai dengan kadar lamanya
menyertai Rasulullah. 15

13
Dr. Ibrahim Anis, al-Mu'jam al-Wasîth, Kairo: Dar al-Ma’arif, jilid 1, hlm. 507
14
Dr. Ibrahim Anis, al-Mu'jam al-Wasîth, Kairo…….hlm. 507
15
Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taymiyah al-Harrani, Majmu' Fatâwâ Li Syaikh al-Islam Ibn
Taymiyah, Riyadh, Maktabah al-Ubaikan, jilid 4, hlm. 464
Sahabat merupakan generasi pertama yang menerima al-Qur’an,
menyaksikan turunnya al-Qur’an secara berlahan-lahan, sekaligus sahabatlah
orang pertama yang menerima penafsiran dari Rasulullah saw., bahkan para
sahabat tidak meneruskan bacaan al-Qur’an lebih dari 10 ayat sebelum
mengetahui dan memahami maksudnya dengan cara beriman, berilmu atau
berama. 16 Dengan demikian, Sahabat memeliki pengertian kalangan yang melihat
langsung Rasulullah di masanya. Mereka yang turut melihat bagaimana kehidupan
Rasulullah secara dekat. Para sahabat juga yang memiliki kontribusi paling besar
terhadap awal perkembangan dakwah Rasulullah. Mereka yang ikut merasakan
bagaimana perjuangan Rasululllah dalam menyebarkan agama Islam.

3 . Penafsiran Dikalangan Sahabat

Penafsiran sahabat terhadap al-Qur’an senantiasa mengacu kepada inti dan


kandungan al-Qur’an, mengarah kepada penjelasan makna yang dikehendaki dan
hukum-hukun yang terkandung dalam ayat serta menggambarkan makna yang tinggi,
kesemuanya itu ditemukan dari ayat-ayat yang berisi nasihat, petunjuk, kisah-kisah
agamis, penuturan tentang keadaan umat terdahulu, penjelasan tentang maksud
pribahasa dan ayat-ayat yang dijadikan oleh Allah. sebagai contoh bagi manusia untuk
dipikirkan dan direnungkan dan dijadikan sebagai nasihat yang baik dan bermanfaat.17
Beberapa ciri tesebut merupakan gambaran umum mengenai penafsiran di kalangan
para sahabat.

Bentuk tafsir para sahabat pada umumnya adalah al-ma’tsur, yaitu penafsiran
yang lebih banyak didasarkan atas sumber yag diriwayatkan atau diterima dari Nabi
dari pada pemikiran (al-ra’yu). Dilihat dari segi metode penafsiran, ternyata para
sahabat memakai metode tafsir ijmali (gobal), yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
secara singkat dan ringkas, hanya sekedar memberi penjelasan muradif (sinonim) kata-
kata yang sukar dengan sedikit keterangan. 18 Demikian halnya, sistematika penafsiran
para sahabat amat sederhana, uraian tafsirnya monoton, seperti urutan ayat-ayat
didalam mushaf, tidak ada judul atau sub judul dan sebagainya. Ruang lingkup

16
Abdal-Rahman bn Nasir al-Sa’di, al-Qawa’id al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an (CD-ROM al-
Maktabah al-Syamilah), Hal. 3
17
Miswar, Andi. 2016. Perkembangan .., Hal.151
18
Miswar, Andi. 2016. Perkembangan .., Hal.156
penafsirannya bersifat horizontal, artinya penafsiran yang diberikan melebar dan
global, tidak mendalam dan merinci suatu kasus atau peristiwa, dan belum difokuskan
pada sesuatu bidang pembahasan tertentu atau boleh disebut tafsiran mereka bercorak
umum. 19 Dalam keterangan lain, adapula kebiasaan para sahabat setiap kali membaca
al-Qur’an kurang lebih sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkan bacaan lebih dahulu,
kecuali setelah mereka memahami dengan tepat makna-makna ayat yang telah mereka
20
baca, baik yang berkaitan dengan iman, ilmu maupun amal. Ini disebabkan oleh
kehati-hatian para sahabat dalam menyingkap makna Al-Qur’an. Karena pada masa
sebelumnya para sahabat apabila terdapat kejumudan terhadap pemahaman Al-Qur’an
bisa langsung ditanyakan kepada Rasulullah Saw.

Secara umum sumber dan metode yang ditempuh sahabat dalam menafsirkan
al-Qur’an adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan hadits,
dan ijtihad, ragam qira’at dan informasi dari para ahli kitab yahudi dan nashrani,
kebahasaan. 21 Sahabat jika menafsirkan al-Qur’an dengan merujuk kepada bahasa
yang ada para mereka, maka tidak ada keraguan untuk menjadikannya
sebagai pegangan atau rujukan bahkan harus diterima sebagai sebuah tafsir
yang benar karena mereka adalah ahl al-lisan (pemilik bahasa Arab).22

Berikut metodologi penafsiran Al-Qur’an yang dignakan oleh para sahabat:

1. Al-Qur’an dengan al-Qur’an


Sumber utama penafsiran sahabat adalah al-Qur’an sendiri, yakni pernyataan
al-Qur’an yang mempunyai relevansi yang sama dengan pernyataan al-Qur’an ialah
yang sedang dibahas ditafsirkan, sekalipun demikian, para sahabat tetap merasa perlu
untuk mendiskusikan dan mengkaji sebagian ayat yang maknanya sangat dalam dan
jauh dari yang bisa dicapai. 23 Al-Quran memiliki kesinambungan makna terhadap satu
ayat ke ayat yang lain. Sehingga dapat dilakukan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-
Qur’an.

2. Al-Qur’an dengan Hadits

19
Miswar, Andi. 2016. Perkembangan .., Hal.157
20
Abd Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah penafsiran al-Qur’an. Cet.1 (Bandung:Mizan,1997), h.20
21
Rosihon Anwar, dkk, Ilmu Tafsir, h. 37
22
al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, op.cit., Juz. II, h. 172
23
Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah Dan Metodologi Tafsir, h. 16
Sunnah atau hadits Nabi adalah merupakan sumber yang penting dalam
menafsirkan al-Qur’an. Para sahabat selalu akan merujuk terlebih dahulu kepada
sunnah. Hadits dijadikan sebagai sumber dalam menafsirkan al-Qur’an oleh para
sahabat karena banyak hadits yang terdapat penjelasan ayat-ayat yang musykil yang
ditanyakan para sahabat kepada Nabi. Namun, walaupun hadits merupakan penafsir al-
Qur’an perlu diteliti kembali otentisitas hadits, apakah ia benar-benar hadits yang
berasal dari Nabi atau bukan.24 Melalui beberapa proses tersebut, Hadits memiliki
kedudukan sang sangat penting terhadap penafsiran Al-Qur’an di kalangan sahabat.

3. Ijtihad atau Akal


Sumber atau metode ijtihad adalah proses yang dilakukan oleh para sahabat
dalam menafsirkan al-Qur’an dengan cara pendapat atau pemikirannya sendiri. Jika
mereka tidak mendapatkan penjelasan dari Rasulullah, maka mereka melakukan ijtihad
dengan mengerahkan segenap kemampuan. Para sahabat melakukan ijtihad atau
istinbath dengan memanfaatkan kekuatan akal sehat, berbekal kepada pengetahuan dan
aspek bahasa yang dikuasai. 25 Pada mulanya menafsirkan dengan menggunakan ijtihad
masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti yang
dikandungnya pada suatu kosakata.26 Upaya ini memungkinkan menghasikan makna-
makna baru yang dapat menjadi sumber rujukan dalam menghadapi berbagai
permasalahan pasca wafatnya Rasulullah. Terdapat beberapa hasil apabila
menggunakan ijtihad para sabat yakni27:
a. Tafsir Sahabat yang Hasil Ijtihadnya Sama
Jika ijtihad sahabat terhadap satu kasus atau masalah kemudian
hasilnya sama, maka dapat dipastikan ijtihad mereka dapat dijadikan
hujjah karena hal itu masuk kategori ijma’ sahabat.28
b. Tafsir Sahabat yang Hasil Ijtihadnya Berbeda
Jika terjadi perbedaan pendapat penafsiran sahabat terhadap
sebuah kata al-Qur’an, kalimat atau ayat al-Qur’an, maka dilakukan al-

24
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, h. 58
25
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, h. 60
26
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 72
27
Hamzah, Amir. 2014. Kaidah Tafsir Pada Masa Nabi dan Sahabat.STAIN Palopo : Jurnal AL
QALAM vol.6 No.1. Hal. 15

28
Khalid ibn ‘Us|man al-Sabt, op.cit., Juz. I, h. 182.
tarji>h{ kepada salah satu pendapat sahabat dengan tingkatan sebagai
berikut:
1) Mendahulukan pendapat yang sesuai dengan al-Qur’an.
2) Mendahulukan pendapat yang sesuai dengan al-sunnah.
3) Mendahulukan pendapat sahabat yang paling benar cara kiyasnya

c.Tafsir Seorang Sahabat yang Ijtihadnya tidak Ditentang oleh


Sahabat Lain.
Apabila Ijtihad tersebut masyhur (terkenal)
Pendapat seorang sahabat yang sudah masyhur kemudian
tidak ditentang oleh sahabat lain maka tidak disangsikan lagi bahwa
pendapat tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah, bahkan dianggap
sebagai ijma’ oleh mayoritas ulama, sebagaimana ungkapan Ibnu
Taimiyah dalam kitab Majmu al-Fatawa.29
Namun Apabila Ijtihhad tersebut tidak masyhur (terkenal)
Sedangkan penafsiran sahabat yang tidak tersebar dan
dikenal luas atau tidak jelas apakah tafsir sahabat tersebut dikenal
luas atau tidak, maka dinggap hujjah oleh imam mazhab empat.30

4. Informasi dari Para Ahli Kitab Yahudi dan Nashrani


Informasinya berupa pengkabaran yang berasal dari orangorang yang ahli
kitab kalangan Yahudi dan Nashrani. 31Sebagaimana diketahui bahwa terdapat
kesamaan antara alQur’an dengan kitab Taurat dan Injil dalam beberapa masalah
tertentu, seperti dalam beberapa cerita-cerita Nabi dan umat terdahulu. Tujuan al-
Qur’an memuat cerita Nabi dan umat terdahulu yaitu untuk sekedar tamsil dan ibarat
saja. Para sahabat mengambil keterangan dari ahli kitab yang telah masuk islam, seperti
‘Abd Allah bin Salam, Ka’ab bin Akhbar, dan Wahhab bin Munabbih. 32
Dimungkinkannya penggunaan isrāiliyyah, karena Al-
Qur’an mengandung pula riwayat-riwayat dari ummat terdahulu dan
soal-soal yang berkenaan dengan kejadian alam serta manusia seperti

29
Ibnu Taimiyah, op. cit., Juz. XX, h. 14.
30
Khalid ibn ‘Us|man al-Sabt, op.cit., Juz. I, h. 182.
31
Fatihuddin, Sejarah Ringkas Al-Qur’an Kandungan Dan Keutamaannya, h. 24
32
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, h. 63
halnya dengan kitab-kitab suci sebelumnya. Oleh karena itu, untuk
mengetahui hal tersebut sebahagian sahabat menanyakannya kepada
ahlu kitab yang telah masuk Islam. Di samping itu, karena tidak
adanya larangan yang tegas dari Nabi muhammad saw mengenai
penggunaan israiliyyah sebagai dasar penafsiran ayat Al-Qur’an.33
Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh al-
Bukhārī dan al-Turmizi yaitu34: .‫ وحدثوا عن بنى إسرائيل ول خرج‬: dan berceritalah tentang
Bani Israil dan tidak ada dosa atas kamu.

Dalam uraian lain , menurut Abd Muin Salim, dalam praktek penafsiran al-Qur’an
pada masa sahabat sudah menggunakan berbagai teknik interpretasi, diantaranya
adalah. 35

1. Teknik Interpretasi Tekstual


Penafsiran dilakukan dengan menggunakan teks-teks al-Qur’an atau dengan
riwayat dari Nabi Muhammad SAW berupa perbuatan, perkataan atau pengakuan.
Contohnya ketika Ibnu Abbas menafsirkan QS.al-Fāthir/35:2 dengan QS.ali-Imran
/3:128.36

2. Teknik Interpretasi Linguistik

Penafsiran dengan menggunakan pengertian-pengertian dan kaidah-kaidah


bahasa, data yang berupa kosa kata dianalisis berdasarkan makna etimologis,
morfologis, dan leksikal. Contoh ketika Rasululah memahami adanya hak pilih dalam
QS.al-Taubah/9:80 berdasarkan adanya kata au dalam ayat itu. Sedangkan Umar bin
Khattab memahami adanya larangan menyembahyangi orang-orang munafiq.

3. Teknik Interpretasi Sosio Historis

33
Amri. Tafsir Al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad Saw. Hingga Masa Kodifikasi. STAIN
Sultan Qaimuddin Kendari. Hal.30
34
Abd. Muin Salim, Beberapa, h. 73
35
Abd Muin Salim, Fiqh Siyasah, Op. cit, h. 23-30. Lihat juga Abd Muin Salim, Metodologi Tafsir
Sebuah Rekonstruksi Epistemologi; Memantapkan Keberadaan Ilmu afsir Sebagai Disiplin
Ilmu, UjungPandang: IAIN Alauddin Makassar (Orasi Pengukuhan Guru Besar), 28 April
1999 Selanjutnya disebut Metodologi Tafsir. h. 33-35
36
Jalaluddin al-Sayuti, al-Durr al-Mansūr fi al-Tafsir al-Ma’sur, VII, (Beirut : Dar al-Fikr, 1403
H/ 1983 M), H. 5
Penafsiran yang dilakukan dengan menggunakan data sejarah berkenaan
dengan kehidupan masyarakat Arab semasa al-Qur’an diturunkan. Termasuk di sini
riwayat yang berkenaan dengan sebab turunnya al-Qur’an. Contohnya ketika Abu
Ayyub al-Anshari mengoreksi pemahaman umat Islam terhadap kata al-Tahlukat
’kebinasaan’ (sebagaimana telah dijelaskan terdahulu ) dalam QS.al-Baqarah/2:195
dengan mengemukakan sebab turunnya ayat tersebut.37

4. Teknik Interpretasi Teleologis

Penafsiran dengan dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqh yang pada


hakikatnya merupakan perumusan hikmah yang terkandung dalam aturanaturan agama.
Interpretasi seperti ini ditemukan dalam tafsir Sahabat, seperti yang diriwayatkan tafsir
Aisyah terhadap kata khair dalam QS.al-Baqarah/2:180 yang berdasarkan pengetahuan
yang dimilikinya.Menurut riwayat tesebut seorang sahabat hendak berwasiat karena
meninggalkan harta yang banyak. Tetapi karena ahli warisnya juga banyak, maka harta
tersebut tidak mencukupi untuk berwasiat.38

5. Teknik Interpretasi Kultural

Penggunaan pengetahuan yang mapan untuk memahami kandungan al-


Qur’an, dengan mengacu pada pandangan bahwa pengetahuan yang diperoleh
berdasarkan pengalaman dan penalaran yang benar dan tidak bertentangan dengan
kandungan al-Qur’an. Contohnya kasus Amr bin Ash mengimami pasukannya dalam
keadaan junub dan hanya bertayammum. Ia memahami mandi junub dalam cuaca amat
dingin berarti bunuh diri dan ini dilarang. 39 sebagaimana dalam QS.al-Nisa/4:29.Tafsir
ini ditaqrirkan oleh Rasulullah.

6. Teknik Interpretasi Logis.

Teknik ini adalah penggunaan prinsip-prinsip logika dalam usaha


mendapatkan kandungan sebuah preposisi Qur’ani. Contohnya penafsiran Ibnu Abbas
terhadap QS.al-Nasr 110/1 sebagai isyarat akan ajal Rasulullah SAW. Demikianlah
pergulatan pemikiran tafsir pada masa sahabat yang masih diwarnai corak penafsiran

37
Abd Rahman bin Jalal al-Din, Al-Durr al-Mansūr fi Tafsir al-Ma’sūr, jilid I, Beirut: Dar alFikr,
1403/1983.
38
Ibid, h. 423, Lihat juga Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan an ta’wil
ay al-Qur’an, Jilid II , h.121
39
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, al-Jāmi’ li Ahkam al-Qur’an , jilidV, Mishr : Dar alKātib
al-Arabi, 1967, h. 156-167.
tafsir bi al-Ma’tsur. Namun demikian, cukup menarik untuk diamati bahwa peran akal
juga cukup memiliki tempat yang layak pada penafsiran mereka dengan menggunakan
ijtihad dan menggali maknanya yang mendalam. Fenomena tersebut sesungguhnya
memberikan tempat yang sangat lapang terhadap ijtihad dan pergulatan persoalan
dizamannya.

4. Mufassir Di kalangan Sahabat


Dalam Mabāhis fi ulum al-Qur’an disebutkan bahwa para sahabat yang terkenal
dalam bidang tafsir dan ilmu tafsir adalah sebagai berikut : Khulafaurrasyidin, Abdullah
bin Mas’ud, Abdillah Ibn Abbas, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Zubair, Anas bin
Malik, Abdillah Ibn Umar, Jabir bin Abdullah, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ary,
Abdullah Ibn Umah Ibn Ash, dan Aisyah. 40

Seorang ahli tafsir bernama Ibnu ‘Athiyyah menyusun urutan nama para
ulama tafsir dari kalangan sahabat Nabi. Menurut dia ulama tafsir yang terkemuka yang
diakui oleh semua sahabat Nabi adalah Ali bin Abi Thalib ra. Diantara
Khulafaurasyidin, yang paling banyak menjadi sumber riwayat adalah Ali bin Abi
Thalib. Sementara tiga khalifah lainnya amat sedikit riwayat yang bersumber darinya.
Hal ini tiada lain disebabkan karena khalifah-khalifah tersebut lebih dahulu meninggal
dunia. 41 Berbeda dengan Ali bin Abi Thalib beliau hidup setelah ketiga khalifah, dan
dalam suasana perkembangan islam yang semakin meluas, saat banyak orang
berbondong-bondong masuk islam, begitu pula tumbuhnya generasi baru putra-putra
para sahabat. Mereka itu butuh pelajaran dan pemahaman terhadap rahasia-rahasia yang
terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.42 Penyebaran Al-Quran sekaligus makna yang
dikandungnya juga merupakan tugas yang diemban oleh Ali sebagai Khalifah.

Setelah Ali menyusul Abdullah bin Abbas pada urutan kedua. Ibnu Abbas
menafsirkan al-Qur’an dengan melengkapi makna serta pengertiannya. Tidak ada
seorang sahabat Nabi yang mendapat julukan Bahrul Ilm (lautan Ilmu) kecuali Ibnu
Abbas), dan sederetan predikat yang diberikan kepadanya seperti Habrul Ummah
(ulama ummat) dan turjumanul qur’an (juru tafsir al-Qur’an) .Ali pernah berkata bahwa

40
Manna’Al-Qathan, Mabahis Fi ulum al-Qur’an, Riyadh: Mansyuratul Ishril Hadis, 1973, h. 336.
41
Muhammad Ali Ash Shabuni, Al-Tibyan fi Ulum Qur’an, (Beirut:Dar al-Irsyad, 1970) h. 98
42
Muhammad Ali Ash Shabuni, Al-Tibyan…. h. 98
Ibnu Abbas seolah-olah melihat rahasia ghaib dari tirai yang tipis. Sementara Ibnu
Mas’ud menyatakan bahwa ia memang seorang penafsir al-Qur’an.43

Pada masa para khalifah, agama


Islam semakin tersebar, wilayahnya pun semakin bertambah luas,
sehingga para sahabat menyebar. ke berbagai penjuru seiring dengan
semakin bertambah meluasnya wilayah Islam. Maka pada masa itulah
berdiri madrasah-madrasah tafsir yang gurunya dari para sahabat dan
muridnya dari para tabi‘in, contohnya yang pertama yaitu Madrasah tafsir di Mekah
yang dipelopori oleh Ibnu ‘Abbās. Dia
menajarkan tafsir kepada tabi‘in dengan menjelaskan makna-
makna Al-Qur’an yang sulit. Ibnu ‘Abbas adalah putra paman
Nabi Muhammad saw, dia paling alim tentang tafsir Al-Qur’an,
dia memiliki kelebihan yang luar biasa sehingga ‘Umar bin
Khaţţāb memasukkannya ke dalam majelis syūrā bersama dengan
para tokoh Badar. Karena itu, para sahabat dan tabi‘in menetapkan
Ibnu ‘Abbas sebagai turjumān al-Qur’an (penafsir Al-Qur’an)
berkat doa Nabi Muhammad saw. untuknya. Yang kedua adalah Madrasah tafsir di Irak
yang dipelopori oleh Ibnu Mas‘ūd. Selain
dia terdapat pula sahabat yang mengajarkan tafsir di Irak, namun
dialah yang dianggap sebagai guru pertama karena popularitasnya
dan banyaknya riwayat darinya.Ibnu Mas‘ūd adalah salah seorang
sahabat yang sangat dekat hubungannya dengan Nabi muhammad
saw, dia pelayan yang mengurusi bepergian Nabi dan menjadi
pengawalnya. Karena itu, dia mendapatkan ilmu yang banyak dari
Nabi, sehingga para sahabat memandangnya sebagai salah seorang
sahabat yang paling mengetahui tentang Al-Qur’an, mengetahui
muhkamnya, mutasyabihnya, halalnya dan haramnya 44

43
Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an , (Cet. 3 Pustaka Firdaus, 1994). h. 75.
44
Amri. Tafsir Al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad Saw. Hingga Masa Kodifikasi. STAIN
Sultan Qaimuddin Kendari. Hal.31
Kesimpulan:

Tafsir sebagai ilmu untuk menyingkap makna dibalik lafadz Al-Qur’an dengan
tujuan memahami maksud yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an supaya bisa
dipahami oleh umat manusia karena Al-Qur’an merupakan sumber petunjuk.
Penafsiran juga terjadi dikalangan sahabat. Metode penafsiran al-Qur’an yang
ditempuh oleh sahabat tidak jauh berbeda dengan penafsiran yang diberikan oleh Nabi.
Pada umumnya bentuk tafsir yang diterapkan oleh para sahabat adalah al-Ma’tsur
(penafsiran yang lebih banyak didasarkan atas sumber yang diriwayatkan dari Nabi,
meski demikian bukan berarti tidak menggunakan ra’yu. Justru dalam kondisi tertentu
mereka menggunakan pemikiran /ijtihadi. Sementara metode tafsir yang digunakan
adalah tafsir ijmali (global).
Daftar Pustaka

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, al-Jāmi’ li Ahkam al-Qur’an , jilid V,


Mishr : Dar alKātib al-Arabi, 1967,

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Studi Aliran-Aliran Tafsir


Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, (Yogakarta,
Adab Press, 2012

Abdal-Rahman bn Nasir al-Sa’di, al-Qawa’id al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an (CD-


ROM al-Maktabah al-Syamilah).

Abd Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah penafsiran al-Qur’an. Cet.1


(Bandung:Mizan,1997),

Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an , (Cet. 3 Pustaka Firdaus, 1994).

Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taymiyah al-Harrani, Majmu' Fatâwâ Li Syaikh al-
Islam Ibn Taymiyah, Riyadh, Maktabah al-Ubaikan, jilid 4

Amri. Tafsir Al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad Saw Hingga Masa
Kodifikasi. STAIN Sultan Qaimuddin Kendari: Fakultas Tarbiyah

Anis, Ibrahim. al-Mu'jam al-Wasîth, Kairo: Dar al-Ma’arif, jilid 1

Hamzah, Amir. 2014. Kaidah Tafsir Pada Masa Nabi dan Sahabat.STAIN Palopo
: Jurnal AL QALAM vol.6 No.1.

Khalid ibnUsman. al-Sabt.Juz. I.

Manna’Al-Qathan, Mabahis Fi ulum al-Qur’an, Riyadh: Mansyuratul Ishril Hadis,


1973

Ma’shum bin ‘Ali, Al-Amtsilat Al-Tasrifiyyah (Litboyo: Lirboyo Press, 2016),


Miswar, Andi. 2016. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Pada Masa Sahabat. Jurnal
Rihlah Vol. 5 No. 2/2016.

Muhammad Abd Al-‘Adzhim Al-Zarqani, Manahil ‘Irfan Fi Ulum AlQur’an


(Mesir: Musthafa Al-Baby Al-Halabiy),

Muhammad Ali Ash Shabuni, Al-Tibyan fi Ulum Qur’an, (Beirut:Dar al-Irsyad,


1970)

Muhammad Husain al-Z|ahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz. I (CD ROM al-


Maktabah al-Syamilah)

Taimiyah, Taqiyuddin Ahmad ibn Abd Halim ibn. Majmu’al-Fatawa.Juz.VII. Cet.


III; t.t.: Da>r al-Wafa>’, 1426 H./2005 M.

Tim Pustaka Agung Harapan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Pustaka Agung
Harapan, tt).

Zarkashi (az). Al-Burhān fi ʻUlūm al-Qurʼān. Beirut: Dār Kutub, 1957.

You might also like